
Sepenggal Catatan
Pada usia yang sudah menginjak senja, entah mengapa tiba-tiba aku kepengin menulis tentang diriku sendiri. Tidak panjang, hanya sepenggal catatan yang nantinya akan aku simpan dalam kumpulan surat wasiat untuk anakku.
Aku coba mengingat masa remaja, di SMP dan SMA Kendal. Kata orang, masa remaja merupakan masa paling indah. Mungkin benar tapi tidak sepenuhnya bagiku. Keindahannya hanya sempat aku nikmati sampai dengan pertengahan kelas dua SMA. Selebihnya, sungguh menyakitkan.
Oh…, ya…, nama lengkapku Dewi Sylvalestari, panggilannya Dewi. Kala remaja, kata teman-temanku, wajahku mirip Widyawati.
Cerita bermula dari kelas tiga SMP Negeri 1 Kendal, sekolah menengah pertama terbaik di kota Kendal. Gedungnya merupakan bangunan bersejarah, dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda, tahun 1868. Kokoh dan megah, berada tepat di jantung kota Kendal. Persis di depan sekolah menjadi tempat pemberhentian bis antar kota, Semarang – Pekalongan atau sebaliknya. Sekitar 25 meter darinya dijumpai alun-alun dan berbagai perkantoran, Kantor Bupati, Kantor DPR, dan berbagai kantor lainnya. Di sebelah kirinya terdapat gedung Sasana Budaya, sedangkan sebelah kanannya berdiri Masjid Agung Kendal.
Aku naksir Arjuno, teman satu kelas 3/1. Anaknya lumayan ngganteng, sedikit agak pemalu dan senang olah raga. Anak paling pandai di kelasku. Berbagai pelajaran sepertinya sangat mudah baginya, apalagi pelajaran yang memerlukan perhitungan seperti aljabar dan ilmu ukur sudut. Arjuno duduk sebangku dengan Dulkamdi, baris kedua dari depan di sebelah kiri, sedangkan aku duduk dekat Ayu, di depan juga di baris kedua sebelah kanan. Aku sering curi pandang kepadanya. Kalau pas lagi curi pandang, Arjuno melihatku, jantung terasa copot, berdetak dengan cepat, muncul kupu-kupu di perutku. Dheg….., Dheg….., Dheg…..
“Ada apa Dewi ?” Tanya Ayu.
“Nggak….., nggak ada apa-apa. Itu lho… Arjuno mencuri pandang kepadaku.” Jawabku berbohong.
Baru menatap saja aku sudah dheg dheg dhegan. Apalagi kalau Arjuno menggandengku, dan lebih-lebih kalau menciumku, mungkin aku pingsan atau mati berdiri.
“Dewi, tolong dong pinjamkan catatan aljabar yang barusan di terangkan Ibu Nunik kepada Arjuno.” Kata Ayu.
Entah mengapa Ayu tidak berani pinjam langsung kepadanya atau mungkin Ayu sengaja supaya aku mulai dekat dengannya.
“Juno, pinjam sebentar catatan aljabarnya.”
Ayu dengan cepat menyalinnya.
“Juno ini bukunya aku kembalikan, ada catatan kecil dariku, terima kasih ya…..”
Aku telah selipkan sobekan kertas di dalam bukunya.
“Juno nanti malam ke rumah ya…, Dewi kurang paham aljabar yang tadi diterangkan Ibu Nunik.”
Sebentar-sebentar aku lihat Arjuno untuk memastikan bukunya dibuka dan membaca kertas sobekan dariku. Olehnya, buku dibuka, melihatku sambil mengangguk. Aduuh….., senengnya bukan main, Arjuno akan datang pertama kali kerumahku.
Sorenya aku sibuk di dapur.
“Dewi, tumben di dapur, sibuk apa?” Tanya ibuku.
“Lagi goreng pisang Bu. Nanti malam Arjuno ke rumah mau ngajari aljabar pada Dewi.”
Ibuku tersenyum melihat pisang goreng hasil karyaku, beberapa diantaranya gosong.
Arjuno datang tepat waktu dengan membawa buku aljabar beserta catatannya. Arjuno memang pandai menerangkan. Pelajaran aljabar yang tadi siang susah, jadi gampang. Jantungku berdetak setiap Arjuno menatapku.
“Juno, terima kasih ya…., pelajaran aljabarnya, aku jadi ngerti. Juno, engkau cocok jadi pak guru menggantikan Ibu Nunik.”
Arjuno hanya tersenyum sambil makan pisang goreng. Nikmat sekali sepertinya. Besok pagi aku akan bawakan pisang goreng yang banyak untuknya.
Sejak itu, hampir setiap malam Minggu Arjuno datang ke rumahku. Ya…ngobrol apa saja, tentang sekolah, teman-teman, kadang-kadang jalan-jalan saja sambil bergandengan tangan, jajan di warung bakso Suryani atau nonton bioskop di Gedung Sasana Budaya. Malam Minggu, malam yang selalu aku nantikan kedatangannya. Ada satu malam Minggu menjadi kenangan ketika nonton film Pengantin Remaja.
“Dewi, mau nggak, malam Minggu nanti kita nonton film Pengantin Remaja, kita nonton jam pertama saja, supaya tidak terlalu malam.”
“Juno, kemana pun kamu ngajak, Dewi pasti mau. Emangnya, filmnya bagus?”
“Kata teman-teman yang sudah nonton, filmnya bagus. Tapi Juno kepengin lihat Widyawati yang wajahnya mirip Dewi.”
“Aah.. Juno, engkau itu ada-ada saja.” Hatiku pun mekar, dikatakan wajahku mirip Widyawati.
Jam 16.30 Arjuno sudah menjemputku. Film pertama jam 17.00 dimulainya. Berdua berjalan kaki menyusuri rel kereta api yang berada di depan rumah. Jarak dari rumah ke Sasana Budaya memang tidak terlalu jauh.
“Juno, kita jalan di atas rel ya…, aku di rel kiri, Juno di rel kanan. Jangan jatuh yaa.”
Bergandengan tangan, tangan kiriku memegang tangan kanannya sampai di bioskop Sasana Budoyo.
“Juno, kapan aku diajak nonton,” teriak Endang saat ketemu di jalan.
“Dewi, asyiik yaaa, diajak Juno nonton film,” teriak Bogel.
Meski sudah satu minggu film “Pengantin Remaja” selalu full house. Penonton masih berjubel. Arjuno terpaksa membeli dari calo dengan harga yang lebih mahal tentunya. Beruntung masih dapat tempat duduk. Ruang gedung bioskop sudah gelap suatu tanda bahwa film sebentar lagi akan diputar apalagi lagu Romi dan Yuli sudah diperdengarkan.
“Romi dan Yuli
Dua remaja saling menyinta
Berjanji sehidup semati
Kekal abadi
Oh Romi dan Yuli
Lambang kasih suci.”
Pengantin Remaja cerita tentang sepasang kekasih yang masih muda, Romi dan Juli. Romi yang diperankan Sophan Sophiaan mengalami kesulitan dalam percintaan dengan teman sekolahnya, Juli, diperankan Widyawati. Hubungan percintaannya tidak di restui oleh orang tua Juli. Namun Romi tidak bisa berpaling dari Juli. Ternyata Juli terkena penyakit kanker darah dan oleh dokter, hidupnya telah divonis tinggal satu bulan lagi. Perkawinan pun berlangsung meski hanya sebulan. Kematian Juli tak terelakkan.
“Juno, ceritanya sedih ya….?”
“Iya…, sangat sedih. Perkawinannya hanya berlangsung beberapa bulan.”
“Tapi, itu lho cintanya Romi begitu besar kepada Juli. Dewi pun berharap Juno seperti Romi.”
Aku berharap Arjuno akan menjawabnya. Ternyata harapanku meleset. Arjuno hanya diam dengan tetap menggendengku ketika pulang. Ketika mau pulang Arjuno memandangku dengan tajam.
“Dewi, selamat malam, engkau cantik seperti Widyawati.”
Arjuno pun dengan bergegas mencium pipiku. Aku sangat kaget, tapi senang. Kapan Arjuno kamu akan menciumku lagi.
Arjuno…., Arjuno….. Tapi ya…, sudahlah. Hal-hal yang mestinya romantis, berubah jadi ngeselin. Kalau sekarang nggak romantis ya sudah nggak apa-apa…, yang penting baik padaku. Nanti lama-lama kan bisa juga jadi romantis.
Pacaran sudah lebih dari sepuluh bulan. Sebentar lagi ujian, kelas 3 SMP akan berakhir. Aku selalu menanti kata-kata darinya “Dewi, aku cinta kamu.” Tapi kata-kata itu belum juga terucap. Apakah aku yang harus mengatakan terlebih dahulu “Juno, aku cinta kamu.” Rasanya kurang elok, masa gadis mengutarakan cintanya terlebih dahulu pada laki-laki.
Apakah ini yang disebut cinta monyet? Aku tidak tahu apa itu cinta monyet, yang jelas jika aku berdekatan dengannya ada rasa senang, rasa bahagia, jantungku dheg dheg dhegan dan hatiku ser ser seran Apakah cintaku bertepuk sebelah tangan? Apakah Arjuno juga mencintaiku tanpa kata-kata? Judeg memikirkannya, aku jadi stres, uring-uringan tanpa sebab.
Namun…, ada kenangan yang tidak terlupakan hingga kini, ya…., hingga kini. Kala itu habis ujian akhir SMP.
“Juno kita ikut rekreasi bersama teman-teman ke Kedung Pengilon ya……?”
Arjuno mengangguk.
“Nanti pakai sepedaku saja, aku mbonceng, Juno yang ngayuh ya….”
Kembali Arjuno mengangguk.
Hatiku mekar, berbunga. Baru kali ini aku akan rekreasi bersamanya. Aku siapkan bekal istimewa. Untuk makan siang : opor ayam, tahu dan tempe bacem serta kerupuk udang. Sementara untuk kudapannya pisang goreng dan jadah bakar. Semua makanan kesukaannya. Minumannya teh manis dan air putih biasa.
Berangkat bersama rombongan yang berjumlah lima belas orang. Dalam waktu relatif singkat, rombongan sudah jauh meninggalkannya. Sepertinya mereka sudah terbiasa naik sepeda. Kedung Pengilon sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 11 Km. Hanya saja, Arjuno ngayuh sepedanya pelan, ditambah beban aku memboncengnya.
“Juno kita istirahat dulu, minum dulu, makan pisang goreng ya….”
Aku dan Arjuno istirahat di bawah rimbunnya papringan di tepi Sungai Kendal. Aku keluarkan handuk kecil, aku usap keringat yang mengalir di wajahnya. Alangkah nggantengnya. Kapan Juno…, kapan…, kamu akan ngomong “Dewi aku cinta kamu.” Jika kamu tidak bilang, nanti di Kedung Pengilon, aku yang akan bilang “ Juno, aku cinta kamu.” Biarin dianggap nggak elok juga nggak apa-apa, kan yang tahu hanya Arjuno.
Sampai di Kedung Pengilon mentari sudah hampir sampai puncak. Kedung Pengilon sebenarnya hanya merupakan bendungan yang tidak terlalu besar, membendung beberapa sungai kecil sehingga terbentuk kedung. Di sekitarnya banyak pohon mente dan pada bagian belakang berupa hutan yang masih cukup rimbun. Pengunjungnya kebanyakan muda-mudi yang sedang memadu kasih. Teman-teman rombongan sudah tidak kelihatan, berpencar entah kemana.
Arjuno mengenggam tanganku dengan kuat, berjalan keliling Kedung Pengilon, sesekali berhenti di bawah pohon mente, makan buah mente, makan pisang goreng dan jadah bakar serta minum teh manis.
“Juno…, kita kesana yuuuk.” Kataku sambil menunjuk batu besar di tepi kedung.
Duduk berdekatan di atas batu besar sambil berpegangan tangan, melihat jernihnya air kedung dan ikan-ikan yang berseliweran. Bayanganku dan bayangannya terlihat dengan jelas, seperti melihat di cermin. Pantas saja di sebut Kedung Pengilon.
“Lihat Juno, kita bisa bercermin di sini.”
“Ya.., ya…., sayang kita tidak membawa kamera. Dewi lihat ikan-ikan berdatangan kemari.”
Aku keluarkan bekal makan siang : nasi putih, opor ayam, tahu dan tempe bacem serta kerupuk udang. Makan ditepi kedung, makan berdua dengan saling menyuap. Alangkah nikmatnya, alangkah senangnya.
Ikan-ikan itu sepertinya mengharap belas kasihan, minta sebagian dari bekal yang aku bawa. Aku lemparan sisa-sisa nasi dan lauk yang tidak termakan. Ikan-ikan pun ikut berebut makanan.
“Lihat Juno ikan-ikan berlari-lari berebut makanan.”
“Ya…, ya…, mereka ikut senang menikmati makanan dari kita. Terima kasih Dewi, makanannya enak sekali.”
Aku lihat wajahnya, Arjuno pun memandangku.
“Juno, apakah Juno cinta sama Dewi?”
Aku berharap Juno akan mengatakan “Dewi, aku cinta sama kamu.” Namun kata-kata yang aku harapkan tidak keluar.
“Dewi, apakah cinta harus dikatakan?”
Dengan keberanikan yang aku paksakan, aku keluarkan kata-kata yang selama ini aku pendam.
“Juno…, aku cinta kamu.” Kataku dengan bergetar.
Aku berharap Arjuno juga akan mengatakan “Dewi, aku juga cinta kamu.” Ternyata kata-kata itu tidak keluar dari Arjuno. Malahan, Arjuno menatap mataku. Tatapan yang menghujam. Panah asrama Arjuno menancap tepat di jantung hatiku. Wajahnya mendekat ke wajahku, bibirnya menempel di bibirku. Gigiku beradu dengan giginya.
Maklum aku dan Arjuno belum pernah berciuman. Setelah itu, Arjuno mengecup dengan lembutnya. Ah…. Arjuno…. Jantungku berdetak dengan kencang. Aliran listrik 5 watt menempel di tubuhku. Mataku terpejam, tubuhku bergetar, badanku lemas. Pingsan sejenak. Hatiku terbang tinggi menembus awan. Kecup lagi Arjuno, kecup lagi. Sejuta rasanya.
Sepasang angsa berenang mendekati. Sepertinya, mereka ingin melihat aku dan Arjuno sedang memadu kasih. Arjuno dan aku menggodanya, melemparnya dengan batu kerikil. Tiba-tiba datang petugas.
“Dik, tidak boleh melempar batu ke kedung, apalagi melempar kedua angsa yang sedang memadu kasih. Nanti hubungan kalian akan putus.”
Aku dan Arjuno berpandangan.
“Juno, apa salahku?” mataku lembab, habis menangis.
“Engkau tidak salah Dewi. Aku hanya ingin membuktikan kepada teman- teman bahwa aku bisa menggandeng Putri.”
“Juno, cintaku telah engkau jala, diriku terlanjur sayang kepadamu, tapi engkau tega menggandeng Putri di depan mataku.”
“Ma’afkan aku Dewi.”
Beberapa kali aku shock, bahkan sakit. Arjuno…, kamu kejam, aku benci kamu Arjuno…. aku BENCI……! Memang benar Putri itu cantik, tapi apakah cinta hanya diukur dari kecantikan saja? Bukankah aku mencintaimu sepenuh hati? Apakah ini karma karena aku dan Arjuno pernah melempar sepasang angsa yang sedang memadu kasih di Kedung Pengilon?
Beruntung Ayu dan beberapa temanku memberi semangat.
“Dewi, masa kamu kalah sama Arjuno, ayo balas Dewi.” Kata Ayu.
Aku pun membalas dengan melakukan hal yang sama. Menjalin kasih dengan Pandu, teman satu kelas yang sejak lama naksir aku. Wajah Arjuno akan aku singkirkan secepatnya.
“Dewi …, selamat ya…, sudah dapat pacar.” Katanya.
Aku diam saja. Arjuno….., kamu itu memang gila…… Tahukan kamu Arjuno, apa yang aku lakukan hanyalah rasa frustasiku. Aku benci melihatmu menggandeng Putri. Aku juga dapat berbuat hal sama dengan menggandeng Pandu di hadapanmu.
Malamnya aku menangis sendirian di kamar tanpa suara. Menangis ketika Arjuno menggandeng Putri, menangis ketika Pandu menggandengku. Hatiku tidak bisa dibohongi, aku mencintai Arjuno dengan sepenuh hati.
Waktu terus berjalan tanpa mengenal lelah, umur semakin bertambah. Orang tuaku memaksaku untuk segera nikah. Aku pun tidak bisa menolaknya. Aku menikah dengan suami yang sekarang ini atas pilihanku sendiri. Meski umur terpaut cukup jauh, tetapi yang penting dia sayang sama aku. Saat-saat awal perkawinan, aku sering selingkuh, membayangkan wajah Arjuno saat suamiku mencumbuku. Aku tahu itu dosa, tapi aku tidak bisa mengelaknya. Ketika lahir anakku yang pertama, laki-laki, aku beri nama Arjuno. Wajahnya mirip Arjuno. Memang sudah ada perjanjian antara aku dan suamiku, jika yang lahir laki-laki, aku yang akan memberi nama. Sebaliknya, jika yang lahir perempuan, suamiku yang akan memberi nama. Sempat suamiku tanya kepadaku.
“Ibu, kenapa namanya Arjuno?”
“Iya…., kan Arjuno itu, gagah, ngganteng seperti ayah.” Kataku berbohong.
Pernah ketika sedang shooping bersama Arjuno kecil di Mall Simpang Lima ketemu sama Ayu.
“Hai….., Ayu.”
“Hai……, Dewi .”
Ayu menatap Arjuno kecil agak lama.
“Wajahnya mirip Arjuno, siapa namanya.”
“Arjuno.”
Ayu menatapku dengan tajam. Entah apa yang ada di benak pikirannya.
Seiring berjalannya waktu, bayang-bayang Arjuno perlahan-lahan mulai buram, tergantikan oleh Arjuno kecil.
“Juno, kalau ketemu Dewi lupa sama kita-kita.” Kata Ayu.
Acara reuni perak sederhana tapi cukup menarik. Malam bernyanyi ria, berfoto ria, hiburan, dan siangnya acara bebas. Pagi, sehabis sarapan, aku dan Arjuno sudah jalan-jalan menikmati keindahan Taman Mini. Udaranya masih sejuk dan segar. Arjuno menggandengku dengan mesra bahkan sesekali merangkulku.
“Juno istirahat dulu ya…..Dewi capek.”
Arjuno membawaku ke bangku kosong yang di depannya terdapat kolam. Di tengah kolam terdapat tanaman teratai yang sedang berbunga. Terlihat sepasang angsa berenang dengan anggunnya mengintari kolam.
“Juno, lihat sepasang angsa putih mendekati kita.”
“Ya…, ya…., seperti sepasang angsa di Kedung Pengilon, kita tidak boleh mengusirnya, biarkan mereka melihat kita bermesraan.”
Aku dan Arjuno duduk berhimpitan, tangannya selalu menggemgan tanganku dengan kuatnya. Kami ngobrol apa saja, keluarganya masing-masing, ngobrol saat di SMP, saat di Kedung Pengilon.
“Dewi, aku minta ma’af telah berselingkuh dengan Putri saat di SMA. Rupanya Putri juga telah berselingkuh dengan lelaki lain. Ma’afkan aku Dewi.”
“Juno…., itu masa lalu yang sudah aku lupakan. Juno, lihat ini anakku.” Kataku sambil menyerahkan foto Arjuno kecil. Arjuno menatap foto tersebut cukup lama.
“Dewi, wajahnya mirip aku ya….”
“Juno, bukan hanya wajah, tapi namanya juga sama, Arjuno.”
Wajah mirip ini memang pernah aku tanyakan pada teman yang tahu tentang psikologi. Meski kurang ilmiah tapi masuk akal.
“Dewi, jika saat berhubungan badan yang ada di hatimu adalah orang yang engkau cintaimu, maka wajah anak yang akan lahir akan mirip dengannya.” Kata teman yang tidak mau disebutkan namanya.
Arjuno juga mengeluarkan foto anaknya, perempuan.
“Dewi, ini anakku yang pertama perempuan, aku beri nama Dewi Sylvalestari.”
Aku lihat anak Arjuno yang seusia dengan anakku, wajahnya seperti wajahku kala kecil.
Jadi……, jadi……, Arjuno itu… selama ini mencintaiku. Mencintai tanpa kata-kata cinta.
Duduk di bawah pohon dihembus angin lembut, ditambah perjalanan semalam yang cukup melelahkan, membuatku sedikit mengantuk. Aku pun merebahkan badanku ke pangkuan Arjuno.
“Dewi, bolehkah aku menciummu?”
Aku diam saja. Aku selalu tak kuasa menolak permintaannya. Arjuno mencium keningku dengan lembut dan menjalar ke bibirku. Badanku bergetar, jantung berdebar dengan cepat, persis sama seperti saat Arjuno menciumku di Kedung Pengilon. Padahal aku bukan gadis lagi, bukan anak SMP, aku sudah jadi ibu.
“Peluk aku Arjuno…., peluk aku yang kuat.”
Aku tak peduli kalau ada orang yang melihatku, aku juga tidak peduli ketika Ayu mengajakku pulang.
“Dewi …, waktunya pulang. Teman-teman sudah menunggu di bis.”
Tuhan… berilah aku kesempatan sekali lagi untuk bertemu 25 tahun yang akan datang, saat reuni emas, tahun 2021 di Kendal. Aku akan minta ma’af pada kedua angsa di Kedung Pengilon. Aku juga ingin Arjuno mencium dan memelukku sekali lagi. Tidak lebih.
Aku tidur dalam dekapan Arjuno, orang yang aku cintai tanpa aku miliki, orang yang mencintaiku tanpa memilikku…….
——————-
Bogor 15 Juni 2020
Kebun Raya Residence Blok F-23, Ciomas; BOGOR 16610