
Hilangnya Orientasi Sosial Dunia Pendidikan Kita
Apa yang sering dikerjakan oleh dunia pendidikan kita? Dibendungnya aliran sungai yang bebas berkelok-kelok.
Henry David Thoreau (1850)
Ungkapan salah satu tokoh aliran anarkisme pendidikan yang hidup pada 1817-1862 ini mungkin perlu kita renungi kembali jika kita bicara soal pendidikan saat ini. Apalagi jika pembicaraan kita dibingkai dalam perspektif kritis terkait keringnya dimensi sosial dalam dunia pendidikan kita.
Dalam perspektif kritis, dunia pendidikan tak ubahnya ‘penjajahan‘ bagi manusia. Ketika manusia dikenalkan dengan lingkungan barunya melalui institusi pendidikan, saat itu pula ia potensial dijajah secara kognitif. Persinggungan kita di ruang-ruang kelas tiap hari hanyalah dengan teks-teks yang tak selalu aktual, seperangkat alat uji yang tak mencerdaskan, dan hegemoni wibawa guru yang seringkali dipaksakan. Bahkan, salah satu kesalahan terbesar pendidikan adalah, ditariknya kita dalam dunia asing yang terpisah dari problematika dan dinamika masyarakat sesungguhnya.
Mari kita bayangkan, seberapa banyak waktu yang kita sediakan di ruang kelas untuk berfikir tentang berbagai masalah aktual: Kekerasan politik, kenakalan remaja, masyarakat yang terbelah, teriakkan merdeka kawan-kawan kita di Papua, buruknya kualitas anggota parlemen di daerah, dan sederet fenomena sosial lainnya? Nothing. Potret-potret sosial itu –sungguhpun teramat mengesankan, tak sempat kita amati dan kita diskusikan di dalam kelas. Padahal, kita mungkin adalah siswa-siswa yang pintar menghafal teori-teori sosial lengkap dengan siapa tokoh pengusungnya. Maka lengkaplah kita, dalam istilah WS Rendra, menjadi generasi ‘gagu’ di tengah-tengah masyarakat: ada, tetapi tak kuasa mengeja gejala-gejala sosial yang sedang terjadi.
Sebenarnya, lembaga pendidikan adalah sarana sosialisasi kedua sesudah keluarga. Sekolah seharusnya banyak mengadopsi metodologi sosial yang menjamin fungsi sosialisasi itu terpenuhi secara optimal: bagaimana individu-individu warga belajar tak sekedar saling kenal dan bergaul antar mereka sendiri, tetapi juga harus melibatkan lingkungan sekitar. Secara makro, sekolah seyogianya menumbuhkan keterkaitan psikologis dan intelektual siswa dengan kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. Artinya, dinamika sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tengah terjadi patut menjadi referensi penting dalam daur belajar kita. Kalau tidak, benarlah sekolah itu akan menjadi ‘menara gading’ yang menjadikan warga belajarnya cenderung asosial dan pragmatis; tidak memiliki orientasi sosial yang kuat.
Terjadinya disorientasi sosial dan pragmatisme pendidikan kita, setidaknya disulut oleh beberapa sebab. Pertama, adanya mind-set yang salah pada benak sebagian besar masyarakat kita tentang dunia pendidikan. Pendidikan menjadi ukuran kesuksesan karier, profesi tertentu, dan tingkat sosial. Kita menjadikan pendidikan, meminjam istilah Naomi (1997), sebagai “jimat peramal”, dimana orang membuat rute pasti tentang tahapan masa depan secara mekanistis dan terstruktur. Sayangnya, karena tuntutan kesuksesan, kita cenderung mengabaikan berbagai tuntutan sosial yang ada di luar jalur formal pendidikan yang kita jalani. Tak sedikit orang tua khawatir sekolahnya anaknya akan ‘terganggu’ jika turut memikirkan hal-hal sosial di luar sekolah. Akibatnya, aktivisme tidak laku, karena dipandang sebagai penghambat, bukan sebagai faktor yang dapat menunjang karir masa depan.
Kedua, berkaitan dengan penggunaan kurikulum pendidikan, terdapat kecenderungan dimana kurikulum sekolah tidak orientatif dengan dinamika sosial yang berkembang. Belum lagi pergantian kurikulum pendidikan seringkali terjadi namun tidak serta-merta diikuti dengan kreativitas guru untuk menambah bahan-bahan baru sebagai referensi aktual. Pada sekolah-sekolah kejuruan, kecenderungan asosial dan pragmatik ini bahkan sangat kentara karena kurikulum yang diberikan sangat spesifik; jauh dari orientasi sosial. Hal ini sejalan dengan studi tentang kurikulum pada sekolah khusus yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan tertentu di Amerika Serikat, hasilnya menunjukkan bahwa kurikulum yang dipakai oleh sekolah-sekolah tersebut merefleksikan kepentingan industri yang berlebihan. Sehingga tipis kiranya kesempatan untuk mengakomodir kebutuhan-kebutuhan sosial warga belajar, karena tidak sejalan dengan kepentingan industri (Stephen Dobbs, 1972). Selain itu, kurikulum memberikan beban yang terkadang berlebih kepada warga belajar untuk mengerjakan PR, tugas-tugas teknis, dan kewajiban les tambahan, yang tidak selalu berkaitan dengan aktivitas penumbuhan sensitivitas sosial (social sense). Beban tersebut bahkan cenderung mengurangi waktu anak didik untuk bergabung dengan lingkungan sosialnya yang lain seperti pergaulan sebaya, permainan, aktivitas organisasi, membaca sumber-sumber informasi alternatif, dan sebagainya.
Ketiga, berhubungan dengan metoda pengajaran, seringkali ada kecenderungan pola hubungan sub-ordinasi yang tegas antara murid dan guru. Stigma ketidaksejajaran guru dengan murid: dimana guru selalu benar sementara murid sangat mugkin salah, guru pintar dan murid selalu tidak lebih pintar dari gurunya; sangat tidak menguntungkan secara psikologis. Hal ini dapat berakibat munculnya ketergantungan dan identifikasi yang berlebihan terhadap figur guru di satu sisi, atau sebaliknya, apatisme yang besar dan potensi munculnya perlawanan terhadap hegemoni guru karena anak didik tidak nyaman berada dalam bingkai bayang-bayang guru. Hal lain, dominannya komunikasi satu arah (one way traffic of communication) dari guru terhadap murid, dalam banyak kesempatan berpeluang menutup partisipasi sosial anak didik untuk terlibat dalam proses belajar dan merumuskan peran-peran sosial mereka secara optimal.
Secara umum, kecenderungan model pendidikan sebagaimana ciri di atas, sebangun dengan model pendidikan tradisional yang dibayangkan oleh Vernon Smith (1979). Menurutnya, pendidikan tradisional yang cenderung banyak dipakai oleh berbagi negara di dunia –termasuk Amerika Serikat pada awal-awalnya; adalah pendidikan yang memuat asumsi-asumsi: (1) adanya suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; (2) tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah di sekolah formal; 3) cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka.
Kita melihat, betapa mudah asumsi itu dibangun untuk sebuah model pendidikan yang bersifat tradisional itu. Kategorisasi-kategorisasi yang dipakai adalah kategori baku yang bersifat given in fact, tanpa harus bersusah payah melakukan studi penakaran kebutuhan (need assessment study) lebih jauh tentang minat-bakat atau potensi mereka sebagai anak didik; serta orientasi sosial manakah yang harus mereka pahami sejak dini. Misalnya orientasi tentang idealisme figur teladan yang diharapkan masyarakat –misalnya figur yang demokratis, memiliki komitmen kemasyarakatan yang tinggi, dan religius; sehingga arah pendidikan dapat kita dorong ke pembinaan sikap mental mengarah ke figur ideal yang demikian.
Penting juga kita mengajak siswa di kelas untuk membayangkan ‘imajinasi’ mereka terhadap perannya sebagai agen perubahan menuju masyarakat yang lebih baik ke depan. Selain itu, seyogianya mereka juga perlu diajak untuk menyeimbangkan aspek iman, ilmu, dan amal dalam konteks sosial yang relevan; sehingga memiliki kesadaran untuk mengimplentasikannya.
Kebutuhan tentang orientasi sosial di atas dapat dibentuk melalui rekonstruksi berbagai perangkat pendidikan, antara lain dengan: pertama, pembenahan orientasi pendidikan melalui sosialisasi secara benar fungsi-fungsi institusi pendidikan dengan menekankan pada nilai-nilai/idealisme sosial, bukannya pada sisi pragmatisme semata-mata. Kedua, penyesuaian dan peninjauan kurikulum pendidikan yang relevan dengan tuntutan masyarakat, serta menjadikan masyarakat sebagai objek terdekat dari dunia pendidikan itu sendiri melalui pengayaan studi kasus (case study) tentang dinamika masyarakat aktual dan untuk kebutuhan futuristik (masa depan). Ketiga, penyempurnaan metoda pengajaran dengan lebih menjadikan anak didik sebagai subjek, penghapusan sub-ordinasi guru-murid secara psikologis dan intelektual untuk menjamin peran-peran anak didik secara kritis dan optimal. Keempat, penyediaan buku-buku referensi dan alat atau bahan belajar yang sesuai dengan dinamika masyarakat, dengan harga yang relatif terjangkau.
Selain itu, perlu juga diintensifkan daur belajar secara lengkap yang melibatkan dua lingkar proses pembinaan yang lain di luar sekolah, yakni keluarga sebagai lingkar pertama, dan organisasi-organisasi sosial yang terdapat di masyarakat sebagai lingkar pembinaan ketiga, sesudah sekolah. Dengan dioptimalkannya peran-peran lembaga masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis kelompok berdasarkan minat dan bakat, kesamaan fungsi, ideologi dan sebagainya ini, bisa dipastikan wawasan sosial anak didik akan semakin terasah. Sebab, lembaga-lembaga sosial ini memang ‘biangnya’ pembentukan sikap mental social, politis dan ideologis. Dengan demikian dimensi sosial pendidikan akan semakin lengkap karenanya.