
Sumbodro Larung
Kliiing. Aku lihat satu pesan WA masuk di HP ku.
“Juno, ini reuni emas. Kamu harus hadir. Nanti ada acara Sumbodro Larung, seperti ulang tahun ke sepuluh tahun 1971,” kata Ninuk.
“Dewi diundang juga kan?”
“Lha iya…., nanti Sumbodro Larung ditampilkan lagi.”
Sepertinya, acara lima puluh tahun yang lalu membekas dalam ingatan Ninuk. Saat itu tahun 1971, SMA N KENDAL merayakan ulang tahun yang kesepuluh sejak memisahkan diri dari salah satu SMA N Semarang. Ninuk dipercaya sebagai seksi acara. Dia tahu kalau aku pandai menari tradional.
“Juno, beberapa kali aku melihat kamu menari bersama DEWI. Saat ulang tahun SMA N KENDAL nanti, kamu dan Dewi mengisi salah satu acara ya…?”
“Nari apa ya…? Kalau tarian andalanku bersama Dewi, ya… “Sumbodro Larung.”
“Ya…, itu maksud saya. Tarian itu sangat bagus. Aku pernah melihatnya.”
Sejak kelas satu SMA aku sudah menggandeng tangan mungil Dewi yang kala itu dia masih kelas tiga SMP Negeri 1 Kendal. Siapa pun tak kubiarkan menyentuhnya, apalagi menggandengnya. Berdua, aku dan Dewi, ikut kegiatan kokurikuler yang sama. Kepramukaan, kerawitan, dan tarian Wayang Wong. Aku, memerankan Arjuno dan Dewi, memerankan Sumbodro. Berdua, juga ikut latihan berbagai tarian tradisional di salah satu Sanggar Tari Kendal.
Menjelang berakhirnya kelas dua, secarik kertas diantarkan Ninuk kepadaku. Segera aku buka dan baca.
“Juno, kita putus hubungan. Jangan tanyakan kenapa!”
Bagai terkena pukulan Muhammad Ali yang secara telak mengenai wajahku. Aku bukan hanya sempoyongan, tapi benar-benar KO. Beberapa hari aku tidak masuk sekolah. Puspa dan Putri, yang pernah aku tolak cintanya tertawa. Sungguh menyakitkan.
“Juno, Aku siap menggantikan Dewi,” kata Putri.
“Aduuh, kacian deeeh, diceraikan Dewi,” ejek Puspa.
Egoku tidak bisa menerima. Aku lah lelananging SMA Kendal. Lelaki yang menggandeng Dewi pasti jauh lebih lelaki dariku. Sayang, tidak berani menampakan diri. Bersembunyi diketiak Dewi.
—————
Aku dapat tempat duduk nomor 3A di bis Lorena Ekspres. Sengaja aku naik bis yang dapat turun persis di depan rumah, di jalan Soekarno-Hatta Kendal. Lagi pula, bisnya keren : ada AC, ada TV. Tempat duduknya dapat diatur. Mau tegak atau miring, terserah. Bantal dan selimut tersedia di masing-masing kursi. Di depannya, terdapat satu botol aqua dan satu kotak kudapan. Juga tersedia toilet bagi penumpang yang sering pipis. Sangat nyaman. Apalagi, adanya jalan tol yang mempercepat lajunya kendaraan.
Album kenangan warna hitam putih yang sudah lusuh aku buka satu persatu. Sinar lampu di atas bis cukup menerangi wajah cantiknya. Puluhan tahun, album itu aku sembunyikan di plafon rumah untuk menghindari incaran mata elang istriku. Saat wajah Dewi terbayang, saat istriku pergi, saat itu pula album kubuka. Kumpulan foto hitam putih kekuningan, fotoku bersamanya.
—————–
Tenda besar yang mampu menampung ratusan alumni dan undangan terpasang di halaman depan gedung SMA N KENDAL. Didepannya, spanduk bertuliskan “Guyub Rukun Saklawaye, Reuni Emas SMA Negeri Kendal 1971 – 2021.” Gedungnya, merupakan bangunan tua, semi permanen. Bagian bawah berdinding tembok, bagian atas berupa papan yang di cat putih. Genting tua tidak pernah digantinya. Dulu tempat untuk mendidik siswa, sekarang tempat “mendidik” burung walet. “Terlalu!” kata Rhoma Irama.
Dari jauh aku lihat Dewi setengah berlari, menyongsongku. Aku pun setengah berlari menyambutnya.
“Juno.” Dewi memelukku dengan erat.
“Dewi.” Aku cium keningya. Kembali Dewi memelukku dengan erat.
“Juno, nanti malam, Sumbodro Larung, yaa…,” kata Ninuk mengingatkan. Aku dan Dewi saling berpandangan.
Bapak dan ibu guru duduk didepan. Aku datangi aku cium tangannya. Beliaulah yang telah mendidikku. Aku putar kembali ingatanku. Beberapa bapak dan ibu guru masih terekam dengan jelas.
“Guten Morgen,” sapa Bapak Soeprato, bapak kepala sekolah sekaligus guru Bahasa Jerman.
“Good morning,” ucap Ibu Sularmi, guru paling cantik yang mengajar Bahasa Inggris.
“Ada yang sulit?” tanya Bapak Hartoyo, guru favoritku, mengajar goniometri dan streometri.
Teman-teman sudah mulai berdatangan. Masing-masing sibuk. Berpelukan sama teman-temannya, sama mantan pacarnya. Belum sempat bersalaman dengan semua bapak dan ibu guru, Dewi sudah menarik tanganku.
“Juno, kita kesana,” jari telunjuknya, menunjuk ke arah belakang. Kami memisahkan diri. Dewi menggandengku, keliling SMA. Di kantin belakang, di belakang gedung, di bawah pohon pisang dan juga di perpustakaan. Tempat-tempat tersembunyi yang penuh kenangan, saat berdua bertatapan mata, saat saling mengutarakan perasaannya. Wangi shampo di rambutnya, aroma sabun yang menempel di badannya, aroma parfum melati, masih dapat aku rasakan.
Akhirnya, kami duduk di rerumputan, di bawah pohon kelapa, menghadap Kali Kendal, sungai yang membelah kota Kendal. Kali yang warna airnya semakin coklat, mengalir pelan. Lima puluh tahun yang lalu, kami berdua selalu duduk di sini saat jam istirahat. Maklum beda kelas, di kelas satu sedangkan aku kelas dua IPA. Tangan Dewi memegang lenganku, kepalanya disenderkan ke bahuku. Sesekali aku dan Dewi melemparkan batu kerikil.
“Juno tunggu sebentar yaa,” Dewi setengah berlari menuju kantin Jack Mun. Kantin yang hanya menyediakan pisang goreng, singkong rebus, singkong goreng dan ndog geluduk. Makanan yang bikin kenyang. Minumannya, teh manis panas dan teh manis dingin. Entah berapa banyak utangku. Sudah bukan rahasia, makan dua ngaku satu. Berdua, kami makan gorengan sambil melihat album kenangan.
“Dewi, lihat foto kita.” Dewi memandangnya cukup lama. Foto berdua, berjalan di atas rel kereta api.
——————-
“Ayoo, Juno, aku di rel kiri, Juno di rel kanan. Jangan jatuh yaa.” Bergandengan tangan, tangan kiriku memegang tangan kanannya. Berjalan sampai di bioskop Sasono Budoyo. Sudah dua minggu film “Pengantin Remaja” selalu full house. Beruntung masih dapat tempat duduk. Beli dari calo dengan harga yang lebih mahal tentunya.
“Juno, kapan aku diajak nonton,” teriak Endang saat ketemu di jalan.
“Dewi, asyiik yaaa, diajak Juno,” teriak Bogel.
Lagu Romi dan Yuli, terdengar ketika memasuki gedung.
“Romi dan Yuli
Dua remaja saling menyinta
Berjanji sehidup semati
Kekal abadi
Oh Romi dan Yuli
Lambang kasih suci.”
Yaa…, itu pertama kali aku ngajak Dewi nonton film. Filmnya sangat bagus, romantis sekaligus menyedihkan. Perkawinan Romi yang diperankan Roy Marten dan Juli yang diperankan Christine Hakim. Perkawinan hanya satu bulan. Sakit kanker telah menggeroti Juli. Akhinya, Juli, meninggal dengan tenang dalam dekapan Romi. Sangat menyedihkan. Adegan-adegan romantis menempel di kepalaku, terutama saat Romi dan Juli, “telanjang berdua di tengah padang rumput”.
Pulangnya, kembali berjalan menyusuri rel kereta api yang sama. Tangan Dewi yang mungil aku gengam dengan erat. Sesekali aku merangkulnya.
“Dewi, sedih yaa filmnya?”
“Iyaa, sangat menyedihkan. Aku tidak mau seperti Juli.”
“Iyaa, perkawinan hanya satu bulan.”
Aku pegang kedua bahu Dewi. Aku tatap matanya. Dewi menundukkan kepalanya. Aku cium keningnya. Adegan Romi mencium Juli melintas di kepalaku. Dengan keberanian yang kupaksakan dan dengan ketergesaan aku cium bibirnya. Gigiku beradu dengan giginya. Sama-sama ciuman pertama. Jantung berdegup dengan kencang. Kakiku gemetar. Sejuta rasa. Aku catat dalam buku harianku. Hari dan tanggalnya aku selalu ingat.
——————-
Malamnya, halaman depan SMA penuh, bukan hanya dihadiri teman-teman alumni dari berbagai angkatan, bapak dan ibu guru, juga siswa dan alumni SMA yang tinggal diluar kota Kendal. Ninuk, memang pinter membuat acara. Sangat menarik, tidak membosankan dengan menempatkan “Sumbodro Larung” sebagai acara puncaknya.
Aku tatap Dewi yang sudah berpakai sebagai Sumbodro. Alangkah cantiknya. Bidadari tanpa sayap yang diturunkan bukan kepadaku.
“Dewi, engkau cantik sekali, bagai bidadari turun dari kayangan.”
“Juno, dari dulu engkau selalu pandai merayu.”
Sumbodro Larung menceritakan tentang Burisrowo yang tergila-gila kepada Sumbodro. Meski sudah bersuami Arjuno, Burisrowo tidak peduli. Dengan bantuan Batari Durga, Burisrowo dapat menghilang dan membawa lari Sumbodro. Sumbodro melawan, namun terkena keris Burisrowo secara tidak sengaja. Sumbodro mati. Jasadnya dilarungkan di sungai Bengawan Solo. Arjuno sangat marah, panah diluncurkan. Burisrowo kena, terjungkal, mati. Arjuno berlari menyusuri Bengawan Solo. Jasad Sumbodro diketemukan, wajahnya ditetesi air kehidupan. Sumbodro hidup kembali. Mereka berpelukan.
Penonton berdiri memberikan standing applause.
“Arjuno! Sumbodro! Arjuno! Sumbodro!” teriak penonton.
Dengan rasa bangga aku gandeng Dewi turun dari panggung. Di bawah panggung ada lelaki yang menunggunya. Lelaki gagah, pakai seragam coklat muda dan coklat tua, mirip seragam pramuka. Di lengan bajunya ada pangkat, dua strip. Lelaki tersebut mengulurkan tangannya kepada Dewi, menggemgam tangannya meninggalkan SMA. Aku tidak mengenalnya. Mulutku terkunci, tertegun. Memandangnya tanpa berkedip, sampai hilang dari pandanganku. Entah kemana tujuannya.
“DEWI…! SUMBODRO….!” teriakku.
——————-
“Ayah, Ayah, bangun, ” terdengar suara istriku.
Tangan istriku memegang keningku. “Alhamdulillah, panasnya sudah turun.”
“Ayah ngigau yaa. Siapa itu Dewi, siapa itu Sumbodro?”
Aku tidak menanggapinya. Dengan kesadaranku yang masih belum pulih aku bangun. Di meja terlihat sisa obat tidur. Disebelahnya, tergeletak tiket bis Lorena Ekspres dan di bawahnya rangsel yang berisi pakaian yang akan kubawa.
“Kemarin, Ibu berikan pil tidur dengan dosis tinggi. Ayah kan perlu istirahat.”
Kriiing…………..
“Ayah, ada telepon dari Kendal.”
“Juno, kenapa tidak datang? Dewi menunggumu,” suara Ninuk.
Tarian Sumbodro Larung telah menguak misteri terpendam selama lima puluh tahun. Selingkuhan Dewi, ternyata mahasiswa Akademi Militer Nasional tingkat dua yang sekarang dikenal dengan AKABRI . Waktu yang sangat lama untuk dapat mengetahui siapa yang membuat lelaning SMA Kendal, KO.
——————-
Kebun Raya Residence BOGOR 15 Agustus 2021