Hujan yang Tak Lagi Sama
Hujan yang tak lagi sama

Hujan yang Tak Lagi Sama

“Sebelum kamu balik ke Medan, kita fitting baju dulu, ya, Mas!” Kartika menggamit manja lengan Dewa, calon suaminya, saat jalan-jalan di sebual mall.

“Iya, Sayang. Sekalian kita mencicil beli perlengkapan untuk seserahan,” ucap Dewa sembari membelai rambut indah Kartika.

Binar bahagia terlihat jelas dari kedua wajah sepasang kekasih yang akan segera melepas masa lajangnya itu.

Kartika mengenal Dewa semenjak acara OSPEK di kampusnya. Dewa merupakan kakak tingkat Kartika di salah satu universitas swasta ternama di Yogyakarta.

Esok siangnya ….

“Sayang, satu jam lagi aku jemput kamu. Siap-siap dulu, ya!” Dewa mengirimkan pesan pada Kartika melalui aplikasi Whatsapp.

“Oke, Mas!”

Gadis bermata bulat yang baru saja terbangun dari tidurnya itu lantas bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia sengaja mengajukan cuti kerja selama dua hari untuk menyambut kedatangan kekasihnya, sekaligus mempersiapkan acara besar yang akan digelar lima bulan ke depan.

Sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk buatan sang ibu, dilahap oleh Kartika dengan penuh semangat. Ia menyadari bahwa hari ini akan menjadi hari yang melelahkan baginya.

.

Mobil CRV hitam meluncur membelah jalanan Kota Gudeg yang cukup ramai. Sepanjang perjalanan, Kartika dan Dewa acapkali melihat seniman jalanan yang mengenakan baju adat Jawa. Dewa menoleh ke arah calon istrinya, lalu tersenyum.

“Jogja memang suka bikin kangen, ya. Apalagi separuh hatiku tertinggal di kota ini.”

“Makanya … coba ajukan mutasi ke Jogja aja, sih, Mas! Kalau pas mau pulang ke rumah Papa-Mama di Jakarta juga tak begitu jauh, kan?”

“Mauku juga begitu, Sayang. Tapi sudah terlanjur terikat kontrak kerja, agak susah.”

Kartika mengusap punggung tangan Dewa dengan lembut sembari berkata, “Semoga ada kesempatan suatu hari nanti, ya, Mas.”

Mobil berkapasitas 1500cc itu berbelok ke arah sebuah bangunan tiga lantai. Tampak dari kaca depan, berjajar empat manekin mengenakan pasangan baju pengantin. Mereka berdua turun dari mobil, lalu beriringan masuk ke dalam gedung tersebut untuk fitting baju pernikahan.

Selepas dari bridal boutique, mereka melanjutkan agenda ke Hyatt Regency Hotel untuk memberikan uang muka, sebagai tanda jadi tempat resepsi pernikahan. Calon pengantin itu memilih konsep garden party dengan harapan acara mereka akan menjadi lebih romantis dan penuh kenangan.

“Cincin pernikahan yang kita pesan, baru selesai dua bulan lagi, Mas. Nanti aku saja yang mengambilkan. Oh ya, Mas … undangannya mau dibikin versi cetak atau digital?” tanya Kartika.

“Mmm … menurutku sebagian dicetak buat tetangga di sekitar sini, sebagian lagi undangan digital buat teman-teman kita yang di luar kota,” jawab Dewa sembari menautkan alis matanya yang cukup tebal.

“Siap, Bos!” Kartika terkekeh kecil.

Setelah menuntaskan agenda satu per satu, Dewa dan Kartika mampir sejenak ke kedai bakmi jawa. Aroma bumbunya sangat gurih menusuk hidung, membuat cacing-cacing di perut mereka seketika meronta.

Tepat pukul 20:15 WIB, Kartika tiba di rumahnya. Setelah berbasa-basi sebentar dengan calon mertua, Dewa berpamitan untuk kembali ke hotel, tempatnya menginap beberapa hari selama di Jogja.

.

Pagi harinya, Dewa mengemasi barang-barang ke dalam koper sebelum check-out hari itu. Rencananya selepas asar, lelaki bertubuh jangkung itu akan kembali ke rumah orang tuanya di Jakarta satu hari, lalu berangkat ke Medan dengan menggunakan pesawat.

Kartika sepertinya masih enggan berpisah dengan kekasihnya yang tampan itu. Pagi itu, ia menelpon Dewa agar bersedia menemaninya ke Pantai Parangtritis, sebelum lelaki itu bertolak ke Jakarta.

Saat tiba di rumah sang kekasih, Dewa diminta oleh Kartika agar menggunakan sepeda motor milik Kartika yang terparkir di garasi. Menurut perempuan berambut sebahu itu, naik motor merupakan salah satu cara efektif untuk terhindar dari kemacetan dan juga agar terlihat lebih mesra.

“Dulu, kenapa kita tidak foto prewedding di sini saja, ya, Mas?” ujar Kartika seraya merapikan rambutnya saat tertiup angin ketika ia dan kekasihnya menginjakkan kaki di Pantai Parangtritis.

“Heem. Tapi, foto di tempat kemarin juga sudah bagus, kok, Sayang,” balas Dewa.

Sesekali mereka berdua bermain pasir, diiringi oleh suara debur ombak yang menenangkan. Tak terasa, waktu telah menunjukkan pukul setengah sebelas siang. Batas check-out hotel tempat Dewa menginap sebentar lagi habis. Mereka pun memutuskan untuk pulang.

Awan tebal menyelimuti langit, baru sekitar sepuluh menit motor melaju, hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya. Karena diburu waktu, mereka nekat menerobos hujan. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Kartika. Ia memeluk erat pinggang lelaki kesayangannya itu sambil sesekali tertawa bahagia. Mereka berdua larut menikmati dinginnya air hujan, sekaligus mengenang masa-masa kecil dulu.

Usai mengantarkan Kartika sampai di rumah, Dewa pun berpamitan kembali ke hotel untuk mengambil barang, lalu melanjutkan perjalanan pulang ke rumah orang tuanya.

“Hati-hati, ya, Mas. Kalau sudah sampai di Jakarta, kasih kabar, ya!”

“Oke, Sayang!”

Rinai gerimis masih setia turun membasahi bumi. Dewa memasuki mobilnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan rumah modern minimalis berwarna abu-abu muda itu.

.

Lima bulan kemudian ….

Dewa telah mengantongi izin cuti selama dua pekan untuk melangsungkan acara pernikahannya yang akan digelar beberapa hari lagi. Ia menelpon sang kekasih hati beberapa saat sebelum pesawat rute Medan-Jakarta diterbangkan.

“Aku sudah di airport, Sayang. Nanti kutelepon lagi setelah sampai di Jakarta, ya,” ucap Dewa melalui telepon.

“Iya, Mas. Take care, ya! I love you,” balas Kartika.

Pesawat yang ditumpangi Dewa berhasil mendarat dengan selamat di Bandara Soekarno-Hatta. Perjalanan yang memakan waktu sekitar 2,5 jam itu akhirnya terbayar setelah ia melihat papa-mamanya tersenyum bahagia.

“Dua hari ini, kamu istirahat di rumah saja, ya, Nak. Lusa, kita harus ke Jogja. Jangan sampai pas hari H kamu malah kelelahan,” ujar Bu Hesti, mamanya Dewa.

Dewa mengangguk, lalu merengkuh bahu dan mencium pipi wanita paruh baya yang sangat disayanginya itu.

.

Satu hari sebelum akad nikah, Dewa dan rombongan keluarganya menuju ke Yogyakarta dengan menggunakan mobil pribadi. Calon suami Kartika beserta keluarganya itu akan menginap di hotel yang sama dengan lokasi resepsi pernikahan digelar.

Mobil berjalan dengan kecepatan stabil melintasi Tol Cipali. Saat Dewa sekeluarga tengah asyik berbincang di dalam mobil, tiba-tiba sebuah truk tronton mengalami rem blong dan mendorong mobil yang sedang ditumpanginya, lalu melempar mobil tersebut beberapa meter dalam kondisi terbalik.

Sang sopir dan Dewa yang duduk di jok depan–sebelah pengemudi–mengembuskan napas terakhir di tempat kejadian, sementara mama dan papa Dewa mengalami luka berat dan dilarikan ke rumah sakit terdekat.

.

Hujan deras mengguyur kota Yogyakarta sore itu. Kartika dilanda gelisah karena pesan Whatsapp yang dikirimnya sejak pagi tak kunjung dibalas oleh lelaki yang akan menikahinya besok malam. Tatkala gadis berusia 25-an itu termenung menatap derai hujan dari balik jendela kamar, ponsel yang berada di genggamannya bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari nomor Dewa.

“Halo, Mas! Akhirnya kamu telpon juga. Aku khawatir sekali, perasaanku tidak enak sejak tadi,” cerocos Kartika tanpa mendengarkan pembicaraan dari seberang telepon terlebih dahulu.

Ternyata yang menghubungi Kartika adalah Om Hendra, adik dari mamanya Dewa. Om Hendra merupakan salah satu keluarga Dewa yang ikut datang ke Yogyakarta. Om Hendra dan keluarganya menggunakan mobil terpisah. Saat ini, semua keluarga Dewa yang ikut dalam rombongan sedang berada di rumah sakit di Kota Cirebon.

Kartika terhenyak setelah mendapat informasi dari Om Hendra, wajahnya memucat seputih kapas; lalu beberapa saat kemudian ia tak sadarkan diri. Sang ibu yang mendengar seperti suara benda jatuh di kamar Kartika, bergegas berlari menemui putri kesayangannya itu.

Beberapa saat setelah dipijat dan diberi minyak aroma terapi di sekitar hidung, leher, dan kening; Kartika siuman dan menceritakan kejadian yang dialami oleh Dewa dan keluarganya.

Bulir bening tak berhenti mengalir dari mata gadis bertubuh langsing itu. Ia mendekap erat tubuh sang ibu, berharap mendapat kekuatan. Sang ayah yang menyusul ke kamar Kartika, mengusap pelan pucuk kepala putri tunggalnya itu.

“Nduk … rezeki, jodoh, dan maut itu semua rahasia Allah. Manusia hanya bisa berencana, tetapi Allah yang menentukan segalanya. Ikhlas dan sabar, ya, Nduk! Ayah yakin kamu kuat.” Ayah Kartika memberikan nasihat pada putrinya dengan netra berkaca-kaca.

Kartika pasrah menerima takdir. Kekasih hati yang berencana akan meminangnya besok malam, tetapi nyatanya justru lelaki itu telah dipinang lebih dulu oleh Malaikat Maut.

.

Semarang, 5 Januari 2023

Ditulis oleh:

Alumni 1999

Alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Seorang wanita berzodiak Capricorn yang pernah bekerja sebagai Duty Leader di XL Center Semarang (XL Axiata) sampai akhir tahun 2016. Beberapa cerpen yang dibuat dari hobinya menulis, dapat dijumpai di grup Komunitas Literasi Patrick Kellan, Komunitas Bisa Menulis, KBM App, Wacaku, serta grup literasi lainnya. Selain itu, cerpen versi cetaknya dapat dijumpai pada buku antologi cerpen berjudul Tentang Seseorang-Jilid 3 (Penerbit Nahima Press) dan buku antologi cerpen berjudul Bangkit dari Keterpurukan (Detak Pustaka Publisher).

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI