BADAI TELAH BERLALU (6)

BADAI TELAH BERLALU (6)

29 Jan 2024
1.478

Setelah memperoleh gelar sarjana kehutanan, keinginan untuk menjadi sinder kehutanan malahan sirna. Keberhasilan dalam usaha bimbingan belajar dan bimbingan masuk perguruan tinggi, mengilhamiku untuk berusaha dalam bidang permebelan dengan bahan baku kayu  jati. Permintaan mebel kayu  jati meningkat dengan pesat terutama pasar ekspor. Liku-liku pembelian kayu   jati melalui lelang di Tempat Pengumpulan Kayu   (TPK) sudah aku kuasai, yang penting bisa kerjasama dengan Kepala TPK. Kayu   jati dengan kualitas A dapat aku peroleh dengan harga kualitas B, tentu dengan upeti yang lumayan.  Kayu   jati terbaik dapat aku peroleh dari KPH Randubaltung, KPH Blora, KPH Cepu dan KPH Bojonegoro.  Agak jauh dari Yogya tapi kualitasnya nomor satu. Dengan tenaga terampil yang aku peroleh maka mebel yang aku hasilkan dapat memenuhi standar eksport. Aku semakin sibuk, sebagai pemilik bimbingan belajar, bimbingan masuk perguruan tinggi dan pengusaha permebelan. Pundi-pundi uang mengalir dengan cukup deras di buku tabungan.

Dalam waktu yang relatif singkat kehidupanku menjadi mapan. Rumah yang cukup bagus di daerah Pohung, kendaraan roda empat, Honda Civic    kuning selalu setia menemaniku. Simbok pun aku boyong ke Yogya. Selama satu minggu, Simbok agak kaget tinggal di rumah yang  sangat jauh berbeda dengan rumah yang di Cepiring. Meski demikian aku tetap memerlukan pembantu perempuan, Mbok Iyem namanya, untuk membersihkan rumah dan halaman serta  sekaligus menemani Simbok masak.

“Simbok, ini rumah Simbok. Kalau mau masak, tunggu tukang sayur yang lewat di depan rumah. Kalau ingin ke pasar minta ditemani Mbok Iyem.”

Hampir tiap minggu Simbok aku ajak jalan-jalan di sekitar Yogya. Di antara berbagai tempat di Yogya, Simbok paling senang kalau di ajak Pasar Beringharjo. Putri  lah yang sering menemaninya beli kain atau hanya sekedar  jalan – jalan saja.

Dua tahun kemudian, Putri  di wisuda sebagai sarjana akuntasi. Untuk acara ini aku menyewa juru foto profesional. Putri  berpakaian wisudawan putri, kebaya Jawa di bungkus baju wisudawan, topi dan slayer wisudawan serta  sepatu pantofel. Hari itu, aku perhatikan Putri  lebih cantik dari hari-hari biasanya. Ibu Sri dengan pakaian kebaya Jawa juga terlihat cantik, garis-garis kecantikan saat muda  masih terlihat. Pagi itu, aku sudah berada di rumah Putri  ditemani Honda Civic    kuning, bertiga berangkat menuju Balairung UGM.

Begitu gembiranya Putri  dan Ibu Sri, senyum  selalu ditebarkan kepada siapa saja. Seperti saat wisuda sarjana kehutanan, Putri  lah yang mengatur gaya dan tempat berfoto. Juru foto tinggal jepret apa keinginan Putri. Foto sendirian, bersama Ibu Sri,  bersama teman-teman sesama wisudawan akuntansi dan terutama berfoto bersamaku.

“Mas Juno, Putri  di bopong ya…”

“Mas Juno, Putri  di gedong ya…”

“Mas Juno, Putri  di tengah, Mas Juno di kiri dan Ibu di kanan.

“Mas Juno pegang bunga kemudian berikan pada Putri.”

Begitu manjanya Putri.

“Putri , bagaimana kalau Minggu besok kita rehat sejenak, jalan-jalan ke Kaliurang.”

 “Baik, Mas.”

Taman Wisata Kaliurang terletak di sisi selatan kaki Gunung Merapi pada ketinggian 900 m, berjarak kurang lebih 28 km dari kota Yogya, merupakan kawasan dataran tinggi dengan hawa dingin yang menyejukkan. Aku sudah tiga kali mengunjunginya saat menjadi asisten dosen Dendrologi. Pohon-pohonnya  sudah di inventarisasi, diberi nama lokal dan nama ilmiah. Praktek pembuatan herbarium juga dilakukan di Hutan Wisata Kaliurang.

Hari Minggu itu, aku berpakaian lebih rapi: celana jean, kaos putih berkerah yang pada sebelah kiri ada gambar hutan dengan tulisan forester, topi rimbawan dan sepatu olah raga. Sejak pagi kendaraan Honda Civic    kuning  sudah berada di rumah Putri .

“Mau jalan-jalan ya….” Ibu Putri  menyambutku dengan ramah.

“Iya…, Bu. Hanya ke Kaliurang.”

“Minum dulu tehnya dan dicicipi pisang gorengnya. Hati-hati di jalan.”

“Terima kasih Bu.”

Menunggu tidak berapa lama Putri  keluar dengan memakai  pakaian sportif  : celana jean, kaos warna putih motif bunga mawar , memakai  topi baseball cap dan sepatu kets. Aroma mawar  menempel di tubuhnya, aroma favoritku juga selain aroma melati.

Tidak sampai satu jam, Honda Civic    sudah memasuki taman wisata Kaliurang. Cuaca sangat bersahabat, langit biru hanya ditutupi sedikit awan, hawa sejuk menyambut dengan penuh keramahan. Pengunjung masih sedikit, mungkin sebentar lagi akan semakin banyak.  Dengan bergandengan tangan kami menyusuri jalan setapak, mencari tempat  untuk melihat mentari bangun dari tidurnya.

Berdua duduk berhimpitan di rerumputan,  Putri  menggandeng tanganku sambil kepalanya disenderkan ke bahuku. Untuk waktu yang agak lama hanya berdiam diri menunggu mentari pagi  menyembul dari balik Gunung Merapi. Sesuai janjinya, mentari itu pun menyembul dengan perlahan,  melukis langit dengan warna merah jambu dan memberi kehangatan kepada siapapun.

 “Mas Juno, duduk disini rasanya tenang dan damai. Putri  pengin duduk  lama-lama. Mas, dekap Putri , mentari pagi masih belum memberikan kehangatan pada Putri .”

Aku dekap Putri  dengan lebih erat.

“Putri, itulah sebabnya, mengapa Mas Juno memilih fakultas kehutanan. Hutan memberikan ketenangan dan kedamaian. Putri, ayo kita ke bawah lihat air terjun Tlogo Muncar.”

Putri  pun mengikuti dengan terpaksa ajakanku. Air terjun yang tidak terlalu tinggi, namun cukup indah untuk latar foto, percikan air terasa menambah rasa dingin. Tidak jauh darinya terdapat hutan wisata pinus dengan berbagai fasiltas untuk  arena outbond.

“Putri , kita lari balapan ya…siapa yang lebih dulu sampai di hutan pinus.”

 Kami pun berlari dengan tidak terlalu cepat menuju hutan pinus yang jaraknya hanya sekitar 25 meter. Tidak sampai 15 meter, Putri  sudah menyerah.

“Mas, Putri  menyerah,  capek. Putri  minta gendong.”

Dengan senang hati Putri  aku gendong ke hutan pinus yang jaraknya tinggal 10 meter.

“Mas. Putri  mau tiduran di pangkuan Mas Juno.”

Tidak menunggu persetujuannku, Putri  pun langsung tiduran dipangkuanku. Matanya tertuju pada cahaya mentari yang menembus sela-sela hutan pinus yang tidak terlalu lebat. Wajahnya memerah, butiran keringat membasahinya. Perlahan aku usap wajahnya dengan tissue yang selalu ada di saku celanaku.

“Mas Juno, hubungan kita sudah berapa tahun ya….?”

“Sudah lebih dari 5 tahun, emangnya kenapa?”

“Iya…, Ibu tanya kapan Mas Juno melamar Putri .”

Agak lama aku berdiam. Aku masih ragu-ragu apakah aku berani melamar Putri, bayangan Dewi masih mengikutiku.

“Putri …, ma’afkan Mas Juno. Jujur Mas Juno katakan, bayangan Dewi masih membayangi Mas Juno. Padahal Mas Juno tahu bahwa Dewi itu bukan jodohnya Mas Juno.”

“Mas Juno, bolehkah Putri  melihat foto Mbak Dewi?”

Dengan terpaksa, foto Dewi yang selalu setia berada di dompet, aku keluarkan. Foto seukuran KTP, satu-satunya yang aku miliki, foto berdua ketika lustrum SMA Cepiring, foto  hitam putih yang sudah kusam, warna kekuningan mengelilingi dibagian pinggirnya.

Putri  memandangnya cukup lama.

“Pantas Mas Juno tergila-gila sama Mbak Dewi. Cantik sekali, mirip Widyawati kala remaja.”

“Ya…, Putri . Bagaimana kalau Mas Juno melamar Putri  tapi bayangan Dewi masih mengikuti  Mas Juno?”

“Nggak apa-apa Mas. Putri  terima dengan ikhlas. Jika saat ini Putri  baru memperoleh raga Mas Juno, Putri  yakin seiring dengan perjalanan waktu jiwa Mas Juno juga akan memeluk jiwa Putri .”

“Putri  engkau baik sekali. Mas Juno kadang-kadang malu sama diri sendiri. Saat Mas Juno mengalami kesulitan finansial, ibu Putri  telah menyelamatkan Mas Juno. Putri  tahu, asa Mas Juno telah terwujud, memperoleh gelar sarjana kehutanan. Saat wisuda Putri  lihat sendiri begitu bahagianya Simbok. Mas Juno diciumnya berkali-kali. Simbok begitu bangganya, amanat dari bapak telah dijalankan oleh Simbok. Putri , secara finansial uang dari bimbingan belajar dan usaha permebelan sudah lebih dari cukup untuk berkeluarga. Putri  juga tahu kalau  Mas Juno sudah beli rumah di Pohung. Tapi,  masih ada ketakutan yang menyelimuti Mas Juno yang sebenarnya kurang beralasan, wajah Dewi masih setia membayangi Mas Juno.”

“Ya… Mas, Putri  mengerti ketakutan Mas Juno. Tadi kan Putri  sudah sampaikan, Putri  akan terima raga Mas Juno meski jiwa Mas Juno masih di Mbak Dewi. Apakah Mbak Dewi akan dicari? Kalau itu keinginan Mas Juno nanti Putri  temani, bagai mencari jarum di jerami, ya nggak apa-apa.”

“Bagaimana seandainya Mas Juno ketemu Dewi, dan Dewi mau bersanding dengan Mas Juno?”

“Ya…, nggak apa-apa. Putri  rela berbagi dengan Mbak Dewi, Putri  sudah bahagia kalau bersama Mas Juno.”

“Putri ….., terima kasih. Engkau baik sekali, engkau sangat mengerti kejiwaan Mas Juno.”

Aku pandang dan pandang lagi wajahnya. Tiba-tiba hatiku bergetar, jantungku berdetak melihat wajah  Putri  semakin cantik. Aku belai rambutnya, aku kecup keningnya, aku cium bibir dengan penuh perasaan. Putri  pun membalas ciumanku dengan mata terpejam. Aku pandang lagi, aku cium lagi. Beberapa kali aku cium dengan lembut. Hari itu, rasanya Putri  semakin cantik seperti Dewi.

“Iiiih…, Mas Juno…, nakal. Putri  dan Ibu menunggu lamaran dari Mas Juno dengan tidak sabar.”

Wisata berdua ke Kaliurang lebih membuka hatiku, kalau Putri  demikian mencintaiku, bahkan rela berbagi dengan Dewi.

Setelah lulus, Putri  melanjutkan usaha warung makan ibunya, namun dengan konsep yang berbeda.

“Mas Juno, Ibu sudah menyerahkan warung ini ke Putri , tapi Putri  akan mulai dengan warung murah meriah, untung sedikit tidak apa-apa. Putri  akan berbagi kebahagikan dengan orang-orang kecil. Putri  akan beri nama “Warung Makan Kejujuran.”

“Bagaimana konsepnya?”

“Nasi dan minuman gratis, mereka hanya bayar lauk pauknya saja. Di tempat pembayaran, disediakan daftar harga lauk pauknya, mereka sendiri yang menghitung dan membayarnya di tempat yang disediakan. Uang recehan kita sediakan di sebelahnya kalau uang yang dibayarkannya berlebih. Prinsipnya kejujuran, kalau mereka tidak bayar, Putri  ikhlaskan saja. Warung akan dibuka hanya pada pagi hari dari jam enam sampai jam delapan.”

“Putri , bagus sekali idenya, Mas Juno dukung penuh.”

Mungkin bagi sebagian besar masyarakat menganggap ide yang dikemukan Putri aneh, tapi bagiku itu ide cemerlang. Bukankah rezeki sudah ada yang mengaturnya?

Kala itu hari kelima, aku ingin menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat mengunjungi Warung Makan Kejujuran. Sebelum jam enam aku sudah berada di warung makan, berbaur dengan mereka yang akan mengisi perutnya. Beberapa becak dan sepeda motor telah di parkir tidak jauh dari warung. Jam enam tepat warung dibuka. Tiga pembantu Putri  keluar  sambil membawa tiga  tenggok berisi nasi putih yang masih mengepul, satu tempat kopi, satu tempat teh dan satu tempat air putih, serta beberapa tampah yang berisi lauk pauk : tempe goreng, tahu goreng, telur mata sapi, empal, gimbal, rempeyek teri, rempeyek kacang, sayur lodeh, sayur kangkung, sayur asam dan  tiga tempat kerupuk.

Dengan sedikit ketergesaan mereka mengambil piring, diisinya dengan nasi putih dan lauk yang diinginkan serta segelas minuman. Begitu lahapnya mereka makan, tidak berapa lama mengambil nasi putih lagi. Menjelang siang, pengunjung yang datang semakin banyak, tukang becak, tukang delman, pekerja bangunan, pelajar, mahasiswa dan bahkan ada juga  orang kantoran.

Sangat mengharukan melihat begitu banyaknya masyarakat yang berkunjung ke Warung Makan Kejujuran. Sepiring nasi putih sangat berarti, meski dengan lauk yang sangat sederhana. Ada beberapa orang yang hanya mengambil kerupuk saja, ada satu dua orang setelah makan dengan lauk pauk  dan minum terus meninggalkan warung, ada juga yang bawa rantang tempat nasi.

“Mbak, boleh nggak ambil nasi satu rantang untuk bekal bekerja.”

“Ya…, ya…., silahkan.”

Putri  menunggu di tempat pembayaran, memberitahu tata cara pembayannya. Sebagian besar sudah paham hanya membayar lauk yang dimakannya. Menurut Putri , itu semua sudah diperhitungkan, kalau bisa impas saja  itu sudah dianggap untung.

Sekitar jam tujuhan, tiga tenggok nasih putih sudah habis.

“Nasinya sudah habis, Mbak?”

“Iya….ma’af ya..,.”

Hari-hari berikutnya yang datang semakin banyak, malahan sampai mengantri. Nasi putih ditambah dari tiga tenggok menjadi lima tenggok dan dari lima tenggok menjadi tujuh tenggok. Waktu bukanya juga diperpanjang dari jam enam sampai dengan jam sembilan pagi.

Perkembangan yang tidak terduga para pengemis dan pemulung berdatangan. Tapi aku sungguh kagum sama Putri  yang melayaninya dengan tidak merasa risih. Mereka  diminta makan di belakang warung dan pulangnya masih di beri bungkusan nasi berikut lauk pauknya.

Menurut Putri , sejak hari ke sepuluh, selalu ada lembaran uang merah di tempat pembayaran. Bukan hanya satu lembar tetapi beberapa lembar. Ada juga yang mengirim beras satu karung. Mungkin orang tersebut ingin berbagi kebahagian mendermakan sebagian hartanya. Aku perhatikan Putri  menikmati pekerjaan barunya. Matanya berbinar ketika melayani pembeli, tapi aku lihat juga Putri  sepertinya kecapaian.

“Putri , apakah Warung Makan Kejujuran, masih tetap akan berlanjut.”

“Iya lah, sejak awal memang sudah niat Putri . Ngomong-ngomong bagaimana dengan persiapan seserahan? Tinggal satu minggu lho Mas.” (BERSAMBUNG)

————–

Bogor 21 Agustus  2021

Kebun Raya Residence Blok F-23 , Ciomas; BOGOR 16610

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI