BADAI TELAH BERLALU (4)

BADAI TELAH BERLALU (4)

29 Jan 2024
1.254

Esok malamnya, aku dan Simbok diundang ayah Dewi. Simbok kaget dipangggilnya karena datangnya harus bersamaku. Aku hanya mengira-ngira pasti ini ada hubungannya dengan Dewi.

“Ada apa ya …., Ndoro Sinder ngundang Simbok sama kamu.”

“Juno ya… nggak tahu.”

Malamnya, aku bersama Simbok ke PG Cepiring dengan berboncengan sepeda.

“Simbok, Juno, mari masuk.” Kata ibu Dewi.

Di ruang tamu sudah ada Ayah Dewi, Ibu Dewi dan Dewi.

“Oh….., Simbok ini ibunya Juno ya….” Kata ibu Dewi membuka percakapan.

Setelah basa basi akhirnya Ayah Dewi mengutarakan keinginannya.

“Simbok, Dewi kena musibah. Dewi hamil, lelakinya tidak bertanggung jawab.”

Simbok diam, begitu pun aku.

“Simbok…., saya mohon bantuannya. Minggu depan kalau bisa Juno nikah sama Dewi. Kalau Dewi sudah melahirkan, nanti terserah apakah akan dilanjutkan atau berpisah.” Kata Ibu Dewi.

Simbok memandangku sebentar.

“Ndoro, saya serahkan sepenuhnya kepada Juno. Hanya keinginan bapaknya sebelum meninggal, Juno jadi tukang insinyur.”

“Yo…., ndak apa-apa. Nanti setelah lulus SMA, melanjutkan ke perguruan tinggi. Saya yang membiayainya. Nanti lulus jadi tukang insinyur, yang penting Juno mau menikahi Dewi.”

Dewi menunduk, sekali-kali memandangku, berharap belas kasihan dariku.

“Juno, bukankah engkau sudah berjanji,  suatu saat nanti akan jadi malaikat Dewi? Kini saatnya, kini saatnya Juno. ” Hati kananku bersuara.

“Baik, Bapak, Ibu dan Simbok. Juno bersedia menjadi ayah dari janin yang di kandung Dewi. Hanya seperti yang dikatakan Simbok, Juno akan melanjutkan sekolah dulu sampai menjadi tukang insinyur.”

 “Terima kasih Juno, terima kasih Simbok.” Ibu Dewi sambil menangis.

Dewi mendekatiku. “Terima kasih Juno, engkau telah jadi malaikatku.”

———————-

Tiga hari sebelum ijab qobul Dewi membelikan satu stel pakain, baju baru lengan panjang warna putih, celana hitam dan sepatu  serta peci hitam.

Ijab qobul itu datang sesuai dengan janjinya, hari yang sebenarnya tidak aku harapkan. Hatiku masih goncang dengan pernikahan yang sangat mendadak. Dalam beberapa bulan ke depan aku akan menjadi ayah dari benih yang tidak aku tabur, usia yang masih terlalu muda bagiku. Ijab qobul dilakukan di rumah Dewi secara sederhana, hanya dihadiri Bapak dan Ibu Dewi, Adik Bapak Dewi sebagai saksi, Simbok dan Bapak Penghulu.

“Apakah Nak Juno sudah siap melaksanakan ijab qobul? Saya mewakili Bapak Waluyodikarto untuk menikahan anaknda Dewi Yuliani dengan Nak Juno.”

“Ya…Pak.”

Latihan dulu ya…. Saya akan ucapkan ijabnya “Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Arjuno bin Partodiwiryo dengan anak saya yang bernama Dewi Yuliani binti Waluyodikarto dengan mas kawinnya berupa mas kawin seperangkat alat sholat, tunai. Setelah selesai saya katakan ijabnya, maka Nak Juno segera menjawabnya segera dengan suara yang jelas.” Kata bapak penghulu.

“Saya terima nikahnya dan kawinnya Dewi Yuliani binti Waluyodikarto dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tunai.” Kata bapak penghulu lebih lanjut.

“ Baik Bapak Penghulu.”

Mudah-mudahan aku dapat menjawab dengan benar dan lancar. Sepertinya sederhana, tapi suasana hatiku masih tidak tenang.

“Baik kita mulai acara ijab qobulnya.” Bapak Penghulu mengulurkan tangannya, minta aku untuk bersalaman.

“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ananda Arjuno bin Partodiwiryo dengan anak saya yang bernama Dewi Yuliani binti Waluyodikarto dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, di bayar tunai.”

 “Saya terima nikahnya dan kawinnya Dewi Yuliani binti Waluyodikarto dengan mas kawin seperangkat alat sholat, di bayar tunai.”

“Bagaimana saudara saksi?”

“Syah.”

Ya…, itu ijab dan qobul yang ketiga, yang pertama dan kedua dinyatakan tidak syah. Aku menjawabnya tidak segera dan juga tidak jelas. Baru jawaban yang ketiga dinyatakan syah.

“Alhamdulillah, sejak ijab qobul ini, maka Mbak Dewi secara resmi sudah menjadi istrinya Mas Juno. Mas Juno mempunyai kewajiban menggauli Mbak Dewi secara baik – baik, dan Mbak Dewi mempunyai kewajiban untuk melayani Mas Juno  secara baik – baik pula. Mas Juno  dan Mbak Dewi jelas ya…., kewajibannya masing – masing.”

Namun, apa yang dikatakan Bapak Penghulu bertolak belakang dengan apa yang dikatakan Ayah Dewi.

“Juno, engkau menjadi suami Dewi sampai Dewi melahirkan. Kehidupan Juno dan kehidupan Dewi seperti sediakala. Dewi tinggal di sini, Juno tinggal di rumah Juno. Dewi akan beristirahat satu tahun dan akan pindah sekolah ke SMA Semarang. Nanti kalau Juno kuliah semua biaya Bapak yang menanggungnya. Pernikahan ini tidak boleh ada yang tahu. Hanya diantara  kita saja. Paham ya…”

“Paham, Pak.”

Aku sangat memahami siapa diriku, anak pembantu. Untuk dapat bertahan hidup saja harus minta belas kasihan dari ndoro sinder PG Cepiring. Satu-satunya asa yang masih melekat hanya  memberikan kebahagiaan pada Simbok dan bapak yang sudah di surga, aku harus jadi tukang insinyur.

———————-

Lulus SMA, aku ingin melanjutkan kuliah di Yogya. Cita-citaku sangat sederhana ingin jadi tukang insiyur sesuai amanah bapak almarhum. Aku kepengin jadi sinder kebun seperti ayahnya Dewi. Namun, saran kakak kelas semasa SMA, Mas Joko yang sudah selesai kuliah dari Fakultas Ekonomi, lebih baik pilih Fakultas Kehutanan dari pada Sekolah Tinggi Perkebunan. Alasannya, sangat masuk akal, Perhutani masih perlu banyak sarjana kehutanan dan hutan di Indonesia masih luas. Mas Joko  juga menginformasikan bahwa Fakultas Kehutanan hanya terdapat di Yogya dan di IPB Bogor. Akhirnya aku putuskan di Yogya saja. Pertimbangannya sederhana,  Yogya relatif dekat, budayanya aku sudah mengenal dan setiap akhir semester aku dapat pulang.

Alhamdulillah, setelah melalui serangkaian test, aku diterima   di Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM),  universitas terbesar dan tertua serta  terbaik di Indonesia.

“Simbok, Juno berangkat ke Yogya untuk jadi tukang insiyur. Doa Simbok selalu Juno nantikan.”

“Juno, tiap malam Simbok sujud minta sama Gusti Allah, supaya Juno jadi tukang insinyur. Belajar yang baik yaa… Nanti kalau sudah jadi tukang insinyur perkawinan dengan Dewi tetap berlanjut.”

“Ya….Mbok, nanti Simbok sendirian nggak apa-apa?”

“Sudah jangan pikir Simbok. Simbok bisa jaga diri.”

Aku sungkem sama Simbok. Simbok menciumku berkali-kali, sambil mengeluarkan air mata. Mungkin Simbok khawatir bagaimana aku dapat hidup sendiri di Yogya, maklum selama ini aku selalu bersama Simbok. Aku pandang Simbok cukup lama, Simbok yang semakin renta. Kalau sudah jadi sarjana kehutanan, Simbok akan aku boyong ke tempatku, tidak boleh kerja lagi. Cukup momong cucu atau kegiatan apa saja yang menyenangkan hatinya.

Sesuai undangan yang aku terima,  untuk penyelesaian administrasi, dilakukan Balairung, gedung utama UGM. Bangunannya sungguh kokoh dan megah, gaya eropa dengan  pilar-pilarnya yang besar dan tinggi seperti bangunan zaman romawi.

Mas Joko yang juga sebagai ketua paguyuban mahasiswa wong Kendal sangat aktif mendata  mahasiswa baru dari Kendal. Mereka diberi informasi tempat kos-kosan, tempat jual buku-buku bekas, warung makan yang sesuai dengan kantong mahasiswa dan informasi lainnya.  

“Juno, sudah dapat kos-kosan?”

“Belum, Mas.”

“Kalau ambil Fakultas Kehutanan, ada tiga pilihan. Pilihan pertama Jalan Kaliurang mulai dari KM lima sampai sepuluh.  Berbagai warung makanan, kebutuhan sehari-hari, kebutuhan anak kos, toko oleh-oleh dan kebutuhan lainnya tersedia bagi mahasiswa. Pilihan lainnya, Karanggayam dan Karangwuni yang berlokasi di sebelah utara Fakultas Kehutanan UGM. Kos-kosannya relatif murah dengan berbagai fasilitas yang lumayan. Jadi Juno tinggal pilih, namun saya rekomendasikan Karanggayam atau Karangwuni.

“Terima kasih Mas, besok akan survei.”

 “Juno, ngomong-ngomong  kenapa kamu mau saja menikahi Dewi yang sudah hamil duluan dan tidak diketahui siapa ayahnya?”

“Iya…, Mas. Dewi itu malaikatku. Karena Dewi lah, aku dapat lulus sampai SMA. Karena Dewi lah aku dapat kuliah di UGM. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjadi malaikat Dewi suatu saat. Itulah alasanku kenapa aku menikahi Dewi, lagi pula aku sangat mencintainya.”

Entah mengapa orang senang menanyakan masalah pribadiku. Apakah karena aku anak pembantu nikah dengan anaknya sinder perkebunan yang sudah hamil dulu? Pernikahan yang dirahasikan itu pun memang telah menjadi rahasia umum bagi wong Kendal, terutama murid-murid SMA Cepiring. Memang betul kata pepatah sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat akan jatuh jua.  Tapi apa masalahnya? Bukankah itu kehidupanku? Kenapa mereka usil? Kalau mereka  berpikir bahwa aku telah mengorban harga diriku ya… nggak apa-apa, karena aku sendiri tidak paham akan harga diri.

Akhirnya, aku kos di Karangwuni bersama teman baruku Parno, asal  Weleri  yang mengambil Fakultas Pertanian. Aku dan Parno sepakat untuk makan di luar. Namun di kamar harus tersedia kopi, gula, teh, mie dan telur ayam kalau sewaktu-waktu diperlukan. Pagi, aku hanya minum teh manis panas, siang makan di warung dekat kampus dan malam  makan di warung makan Ibu Sri yang letaknya hanya beberapa rumah dari tempat kos. Warungnya cukup terkenal dikalangan mahasiswa yang kos di Karangwuni karena harganya yang murah meriah serta warungnya bersih. Biaya kos,  biaya kuliah dan biaya hidup tercukupi dari uang yang dikirim Dewi setiap bulannya. Bahkan, aku masih bisa kirim sedikit uang untuk Simbok.

Tahun pertama, semester satu dan dua berjalan normal. Mata kuliah yang diberikan lebih banyak mengulang pelajaran di SMA yang dikenal dengan istilah matrikulasi : matematika, fisika, kimia, biologi, bahasa Inggris, bahasa Indonesia dan beberapa mata kuliah pengantar yang berhubungan dengan kehutanan : Taksonomi Tumbuhan,  Pengantar Kehutanan, Pengenalan Jenis Pohon dan Silvikulture. Sementara, Dewi mengulang di kelas tiga SMA Semarang. Anaknya, laki-laki, yang diberi nama Topan diurus sama eyangnya. Oleh ayah Dewi aku tidak boleh melihat Topan, sepertinya tidak rela kalau aku jadi ayahnya Topan.

Semester tiga, empat dan lima, juga berjalan normal, kuliah lancar, nilai yang aku peroleh sangat memuaskan,   banyak nilai A nya. Memang sudah tekadku aku ke Yogya hanya belajar dan belajar. Bahkan aku dijadikan asisten mata kuliah Dendrologi, ilmu yang mempelajari tentang pohon dan  tumbuhan berkayu  lainnya, seperti liana dan semak.  Mata kuliah ini relatif sulit, diperlukan ketekunan dan hafalan yang cukup kuat untuk mengetahui  suatu jenis pohon berdasarkan ciri-cirinya, apakah daun, getah, kulit kayu, buah, biji atau ciri lainnya.

“Ada yang ditanyakan tentang Dendrologi?” kala itu aku mengajar praktikum yang pertama bagi  mahasiswa semester empat.

“Ada Mas,  bagaimana cara menghafal nama-nama pohon?” tanya Desy, mahasiswi  yang cukup aktif dalam kuliah hanya orangnya agak centil.

“Pertanyaan bagus dari Desy. Mata kuliah  Taksonomi dan Pengenalan Pohon pada semester sebelumnya tolong dibuka kembali terutama tentang morfologi, anatomi dan fisiologi pohon. Selanjutnya, untuk mempercepat pengenalan jenis pohon masing-masing mahasiswa membuat dua herbarium. Pilih dua pohon, beri nama lokal dan nama latinnya, serta deskripsinya. Mas Juno hitung ada lima belas mahasiswa, maka minggu depan akan terkumpul tiga puluh herbarium yang berbeda jenis pohonnya.

“Tapi Mas, bagaimana tahunya kalau herbarium yang kita buat tidak sama.” Kembali Desy bertanya.

“Sekarang tulis dua pohon, jika sudah selesai segera serahkan kepada saya, siapa yang cepat itu menjadi miliknya untuk dijadikan herbarium, paham? Saya tunggu lima belas menit.”

Mereka berlomba hanya untuk menulis dua nama pohon. Nomor satu yang menyerahkan Desy dengan menulis pohon jati dan pohon pinus. Berikutkan Kamto, dengan menulis pohon bungur dan mahoni. Selanjutnya Jono, menulis pohon jati dan agathis.

“Jono, pohon jati sudah dipilih sama Desy, ganti yang lainnya.”

Mahasiswa yang terlambat menulis dua jenis pohon semakin mengalami kesulitan dalam memilih pohon yang akan dijadikan herbarium.

“Ada yang belum mengumpulkan, angkat tangannya.” Aku hitung masih ada tujuh mahasiswa.

“Bagi yang belum, silahkan baca buku Jenis Pohon di Indonesia, nanti pilih dua diantaranya. Ada ratusan jenis pohon yang ada di Yogya. Untuk pengambilan sampel herbarium pohon dapat diambil dimana saja, bisa di Kampus UGM, bisa di Hutan Pendidikan Wanagama, bisa di hutan Perhutani atau bisa juga di Hutan Wisata Kaliurang. Jelas ya…., masih ada pertanyaan?”

“Masih Mas. Apakah pembuatan herbarium ini ada nilainya?” Kembali Desy yang bertanya.

“Ya…, tentu saja. Herbarium yang bagus akan menambah nilai praktikum mata kuliah Dendrologi.”

Ya…., itu sekelumit saat aku menjadi asisten dosen mata kuliah Dendrologi. Dari lima  mahasiswi yang memilih Fakultas Kehutanan, hanya Desy yang aktif  dan semangat setiap mengikuti praktikum Dendrologi. Malahan kadang-kadang menanyakan hal yang tidak terduga.

“Mas Juno, ma’af sebelumnya ya… Desy dengar Mas Juno sudah nikah ya?”

“Desy tahu dari mana? Emangnya Mas Juno kelihatan ya… kalau sudah beristri?”

“Desy hanya dengar saja dari teman-teman.”

“Terus, apa lagi yang di dengar Desy?”

“Aaah…, enggak.”

Berita kalau aku sudah beristri begitu cepatnya menjalar. Mahasiswa dari Kendal sudah tahu semua. Kini, menjalar ke mahasiswa Fakultas Kehutanan.

Awal semester enam, aku dikejutkan adanya surat dari Dewi. Surat sangat pendek dengan bahasa yang formal.

“Juno, Minggu nanti  kita ketemu di Semarang, ada yang ingin aku sampaikan. Kita ketemu  di Pasar Johar sekitar jam sebelasan. Kalau Juno datang lebih dahulu, ada  Warung Sederhana tidak jauh dari masjid, kecil tapi bersih.  ”

Pagi itu, sebelum berangkat, aku merasakan beberapa kali kedutan bagian kelopak mata kiri.  Pernah aku baca dalam primbon Jawa apabila kedutan mata sebelah kiri menandakan sesuatu peristiwa yang tidak diharapkan akan menimpanya,   seperti perpisahan yang tak diinginkan, peristiwa yang membuat hati terluka,  rasa kehilangan yang menyebabkan sakit hati. Sungguh menakutkan. Semoga saja hal ini tidak terjadi padaku.

Sekitar jam 6.30 aku sudah berada di stasiun bis Umbulharjo Yogya. Terminalnya sudah dipenuhi dengan berbagai bis yang akan mengantar penumpang ke berbagai kota tujuan. Demikian pula calon penumpang sudah mulai memadati terminal mencari bis yang diinginkan. Para kenek berebut mencari penumpang.

“Kemana Mas?”

“Semarang.”

“Mari Mas, saya antar. Bis Sendiko yang duluan akan berangkat.”

Dengan diantar kenek, aku naik bis Sendiko yang akan berangkat jam tujuh. Beruntung masih ada beberapa kursi yang kosong. Perjalanan Yogya – Semarang, lumayan jauh melewati  beberapa kota yang cukup besar : Muntilan, Magelang dan Ambarawa. Di ketiga kota ini bis berhenti  agak lama  menurunkan dan menunggu  penumpang. Kira-kira tiga jam perjalanan baru sampai di Semarang, kota terbesar di Jawa Tengah serta sekaligus sebagai ibu kotanya.  Masih ada waktu istirahat di Warung Sederhana untuk sarapan dan menikmati pisang goreng serta minum secangkir kopi. Dewi sangat tahu akan kebiasaan, datang lebih awal, kalau makan cari warung makan yang murah.

Dewi datang tepat waktu. Aku perhatikan, matanya merah, seperti habis menangis,  wajahnya  menunjukkan kesedihan dan  badannya tampak lebih kurus.

“Juno sudah sarapan?”

“Sudah, barusan sambil nunggu Dewi.”

“Juno kita ngobrol di taman dekat hotel saja ya….”

Aku manut saja. Lokasinya memang  tidak jauh, tamannya memang bagus dan bersih. Dari taman itu, Dewi memesan kudapan dan minuman dari hotel tersebut. Aku masih menduga-duga apa yang sebenarnya akan dibicarakannya.

“Juno, bagaimana kuliahnya? Lancar kan? Bagaimana nilai-nilai ujiannya?”

“Alhamdulillah, kuliah lancar demikian pula nilai-nilai yang aku peroleh sangat bagus. Terima kasih Dewi atas kiriman uangnya. Bagaimana Topan, apakah sudah bisa berjalan dan berbicara?”

“Ya…., perkembangan Topan sangat bagus. Sudah berjalan tapi bicaranya agak terlambat, bicara masih cadel.”

“Dewi, engkau tampak kurus, sakit?”

“Ya…, kemarin flu sebentar.”

“Dewi,  sepertinya ada sesuatu yang sangat penting.”

“Juno…, ma’afkan Dewi.  Dewi harus menyampaikan ke Juno, makin cepat tentu makin baik. Juno…, Dewi ini milik ayah, milik ibu,   Dewi tidak punya kuasa untuk menetukan jalan hidup Dewi sendiri. Ayah dan ibu sudah memutuskan kalau kita harus segera bercerai.”

Ucapan Dewi bagai palu godam menghatam jantungku demikian kerasnya,  sampai-sampai jantungku berhenti berdetak sesaat, disusul sayatan sembilu yang sangat dalam. Angan-anganku untuk menjalin kasih dengan Dewi buyar, disapu badai besar. Aku sadar bahwa perkawinanku dengan Dewi tidak dikehendaki ayah dan ibu Dewi. Tapi aku masih berharap  kala sarjana kehutanan bisa kugapai,  pikiran ayah dan ibu Dewi akan berubah.

Mata kosongku menerawang entah kemana.

“Juno…, Juno…., apakah engkau mendengarkan apa yang aku katakan?”

Dewi menggoyang-goyangkan tangaku.

“Ya…, ya…, Dewi aku mendengar. Aku memang tidak pantas mendampingimu. Aku juga sadar aku hanyalah anak pembantu, sementara engkau dari keluarga terhormat.”

“Juno, ini sudah takdir.”

“Dewi, bukankah takdir bisa dirubah? Dewi, aku ingin menyampaikan perasaanku yang terpendam selama ini. Aku bernafas untukmu, ketika engkau terluka, aku pun merasakan betapa pedihnya luka itu. Aku tidak ingin engkau terluka untuk kedua kalinya. Aku ingin kau sadar, cintamu bukanlah dia, akulah cintamu, aku tak kan pernah berhenti mencintaimu. Sukmaku selalu  memanggil namamu, ketika kuliah, ketika belajar, ketika ujian. Dewi, aku tidak akan pernah lelah mencintaimu, berilah aku kesempatan.”

“Juno, engkau salah paham. Selama ini aku hanya menganggap dirimu sahabat, tidak lebih. Aku tidak mencintaimu, cintaku ada pada orang yang menaburkan benih padaku. Juno, ma’afkan.”

“Tapi…., tapi…., dia telah tega meninggalkanmu.”

“Biarlah Juno, nanti takdir yang akan mempertemukanku dengan dia. Juno masih ada lagi yang harus aku sampaikan, mulai bulan depan ayah sudah tidak mengirim biaya hidup dan biaya kuliah lagi. Sekali lagi, ma’afkan aku, ma’afkan ayahku dan ma’afkan ibuku. Terima kasih engkau telah menjadi ayah dari bayi yang aku kandung. Sepertinya itu sudah takdir Juno.”

Untuk kedua kali palu godam menghantam jantungku dan irisan  sembilu menyayat hatiku meski tidak sekejam yang pertama.

“Ya…, Dewi. Itu takdir yang harus aku terima. Terima kasih aku sudah bisa kuliah di Yogya. Entah selesai atau tidak, biarlah waktu yang menentukan. Dewi, asal engkau bahagia, aku juga akan bahagia meski dengan sayatan yang sangat dalam  di hatiku.”

“Ma’afkan aku, Juno.”

“Dewi, aku berjanji, seandainya aku sudah memperoleh gelar sarjana kehutanan, aku akan mencarimu. Ya…., aku mencarimu sampai ketemu. Dewi, sebelum berpisah, bolehkan aku memelukmu?”

Dewi mengangguk, di matanya terlihat air menggenang.

Aku memeluk Dewi, memeluk untuk pertama kali  dan sekaligus memeluk untuk  terakhir kalinya. Suatu perpisahan yang sudah ditakdirkan. Dewi, semoga engkau bahagia dengan pilihan hidup dari kedua orang tuamu. Aku jadi ingat Syair dari Lagu Pergilah Kasih yang dinyanyikan Chriye sama persis seperti yang menimpaku.

“Pergilah kasih, kejarlah keinginanmu

Selagi masih ada waktu (Pergilah kasih)

Jangan hiraukan diriku

Aku rela berpisah demi untuk dirimu

Semoga tercapai segala keinginanmu.”

Ternyata firasat kedutan bagian kelopak mata kiri benar adanya. Suatu perpisahan yang tidak aku harapkan yang membuat hati terluka demikian dalamnya. Entah, apakah ada obat yang dapat menutup luka hatiku, entah pula apakah aku masih bisa jumpa denganya setelah hari itu. (BERSAMBUNG)

———————-

 

Bogor 21 Agustus  2021

Kebun Raya Residence Blok F-23 , Ciomas; BOGOR 16610

 

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI