
BADAI TELAH BERLALU (2)
Hari-hari menyenangkan menyertaiku. Berangkat sekolah pagi hari setelah Simbok berangkat kerja sebagai pembantu. Aku hampir tidak pernah sarapan, hanya minum beberapa teguk air kendi atau paling-paling makan dua ruas tebu. Di dapur memang tersedia tumpukan tebu yang aku ambil dari kebun milik pabrik. Menurut Simbok makan tebu itu baik untuk menguatkan gigi dan menahan lapar.
Jarak rumah ke sekolah tidak terlalu jauh, kira-kira tiga km. Dengan mengendarai sepeda laki-laki peninggalan bapak sekitar setengah jam sudah sampai sekolah. Sering, pintu pagar masih tertutup. Membersihkan kelas itulah yang pertama aku lakukan : menyapu, mengelap meja serta mempersiapakan peralatan dan bahan mengajar : kapur, penghapus, penggaris, dan sebagainya. Pekerjaan ini seharusnya dilakukan oleh petugas piket yang namanya terpasang di dinding, tapi aku tidak mempermasalahkannya. Ketika teman-teman masuk, kelas sudah dalam keadaan bersih. Karena kerajinanku, saat pemilihan ketua kelas aku dipilihnya. Aku menolaknya, tetapi teman-teman memaksanya. Ketua kelas itu dekat – dekat dengan pesuruh, bukan hanya dari teman-teman tetapi juga dari bapak guru yang malas mengajar.
“Juno, tolong dicatat di papan tulis dari halaman satu 5-15, bapak guru ada rapat.”
“Baik Pak.”
Apa perintah Pak Guru tentu aku laksanakan, padahal ada petugas piket. Malamnya aku menyalin dari catatan Dewi, tulisannya bagus dan rapi.
“Dewi, aku pinjam catatannya ya…”
Untung Dewi baik padaku. Pernah suatu ketika, menjelang istirahat pertama, perutku berbunyi lumayan keras.
“ Ngruyuk….., ngruyuk….., ngruyuk……”
Dewi menengok ke belakang melihatku. Aku menunduk, malu. Tapi ya… bagaimana itu kan di luar kontrol.
“Juno…, yuuk ke kantin dulu, temani Dewi.” Dewi sepertinya tahu akan kondisiku.
“Juno…., ayo …, ambil yang kamu suka.”
Cukup banyak kudapan yang ada di atas meja: endog geluduk, nasi bungkus, ketan bakar, pisang goreng, kacang bawang, singkong goreng, singkong rebus, jagung rebus, donat, roti sobek dan beberapa kudapan lainnya yang aku kurang hafal, sedangkan minuman yang tersedia teh panas manis, teh dingin manis, kopi dan air bening. Aku ambil ndog geludug, jajanan dari singkong yang bentuknya bulat, setelah dikukus ditumbuk tidak terlalu halus, dicampur dengan gula kemudian di goreng. Jajanan yang bikin kenyang. Kadang kepengin ambil donat atau roti sobek, tapi keinginan itu selalu aku tahan. Aku tahu diri. Harga donat dan roti sobek tiga kali lipat dibandingkan dengan harga ndog geludug. Dengan dua ndog geludug ditambah minum teh panas manis cukup kenyang sampai pulang sekolah.
Kejadian lain yang agak memalukan juga ketika aku sendawa cukup keras.
“Hoohk…..!”
Bapak Guru yang sedang mengajar dan teman-teman satu kelas memandangku dengan tersenyum. Saat istirahat Dewi tanya padaku.
“Juno tadi sarapan?”
“Ya…”
“Lauknya apa?”
“Opor iwak pitik.”
Dewi tersenyum. Kemarin sore Simbok bawa nasi dan opor iwak pitik. Sengaja aku sisakan sedikit opornya yang berisi ceker dan kepala ayam untuk sarapan. Enak sekali rasanya, sarapan sampai kekeyangan. Simbok cerita habis dari Ndoro Sinder Waluyo.
Kenangan yang indah ketika awal tahun sekolah merayakan lustrum pertama, ulang tahunnya yang kelima. Aku dan di Dewi dijadikan seksi dekorasi.
“Juno Minggu pagi kita cari kembang tebu ya…, jemput aku di rumah jam sembilan pagi.”
“Ya…”
Sebenarnya aku agak takut masuk kompleks pabrik. Di pintu gerbang Pak Hansip menjaga dengan sorot mata penuh kecurigaan. Siapapun yang masuk kompleks akan ditanya secara detail apa keperluannya.
“Dik, mau kemana?”
“Mau ke teman saya, Dewi putrinya Pak Sinder Waluyo.”
“Untuk apa?’
“Mempersiapkan acara lustrum SMA.”
Rumah Pak Sinder Waluyo cukup besar, berjejer dengan rumah-rumah lain yang besar dengan model sama. Halamannya cukup luas dengan berbagai tanaman yang tertata dengan rapi.
Dewi rupanya sudah siap, berdiri di depan rumah sambil membawa tas yang lumayan besar. Dengan berbocengan sepeda, aku menuju kebun tebu yang telah berbunga. Tidak terlalu jauh, dari pabrik menuju ke arah rumahku, mungkin sekitar dua km. Dari jalan desa yang masih berupa tanah, terlihat hamparan tanaman tebu yang sangat luas. Batang kembang tebu setinggi sekitar satu meter menjulang di atas batang tebu, dihiasi warna putih seperti kapas. Angin lembut memberi kesempatan kembang tebu memamerkan tariannya, bergoyang ke kiri dan ke kanan. Batang kembang tebu dapat aku peroleh dengan mudah, tinggal mengambil dalam jumlah yang aku inginkan. Simbok sering menyuruhku mengambil kembang tebu yang masih muda untuk dibuat sayur. Enak rasanya menurut lidahku.
“Juno, ayo kita istirahat dulu di gubuk tebu.”
Gubuk tebu tidak terlalu besar, cukup untuk istirahat empat orang, biasa dipakai Pak Waker untuk istirahat setelah keliling kebun tebu yang dipercayakan kepadanya. Memang anak-anak sering mengambil satu-dua batang tebu seperti halnya yang aku lakukan. Aku bawa dua ikat kembang tebu untuk keperluan dekorasi.
“Juno biasa ya ngambil kembang tebu.”
“Ya…, untuk prakarya kala SD dan SMP. Bisa dibuat mobil-mobilan, kereta api, pigura, dan masih banyak lagi.”
“Nanti kita berdua yang ditugaskan untuk menghias panggung, Juno kan sudah biasa membuat prakarya dari kembang tebu tentu bisa buat dekorasi kan?”
“Ya…., bisa saja. Nanti Dewi yang membuat desainnya ya….”
“Yuuk…, kita makan dulu. Dewi bawa bekal makan siang, Dewi yang masak, makan yang banyak ya…, seneng kalau Juno makan banyak.”
Aku lihat bekal yang dibawa Dewi memang banyak. Nasi putih dengan lauk opor iwak pitik, tempe bacem, tahu bacem dan rempeyek teri. Selain itu, Dewi juga membawa pisang dan singkong goreng serta dua botol coca-cola.
Dewi hanya makan sedikit dan selebihnya memperhatikanku bagaimana aku makan dengan lahap tanpa rasa malu. Itu makan yang paling enak yang pernah aku rasakan. Apalagi minuman coca-colanya, dingin dan segar. Enak sekali, baru kali itu aku merasakannya.
“Dewi…, engkau baik sekali. Terima kasih makan siangnya, enak sekali.”
——————————
Para kakak kelas itu menurutku keterlaluan. Pada semester pertama, mereka mengadakan sayembara secara diam-diam, secara bisik-bisik, dari mulut ke mulut. Lomba ditujukan kepada para jejaka kelas dua dan tiga , para jejaka yang masuk kategori play boy untuk memperebutkan Dewi. Tidak dipungkiri bahwa Dewi adalah gadis tercantik di kelas satu . Siapa yang bisa ngajak nonton film Cintaku Di Kampus Biru di bioskop Sasono Budaya Kendal, maka dialah pemenangnya. Waktu yang ditentukan satu bulan. Anak kelas satu tidak boleh ikut. Gadis kelas satu jatahnya kakak kelas dua atau kelas tiga . Ini sudah menjadi tradisi di SMA.
Edan tenan, Dewi kaya piala aja. Pemenangnya akan dinobatkan sebagai pacar Dewi dan makan bakso gratis selama satu bulan dari uang yang dikumpulkan peserta lomba. Tentu saja para gadis SMA nggak ada yang ngerti akan lomba ini. Aku tahunya dari kakak kelas yang satu kampung denganku. Aku sebagai murid kelas satu hanya sebagai penonton dari lomba konyol. Sejak lomba di umumkan, bergantian kakak kelas dari jurusan IPA, Sosial dan Budaya sering ke kelas, ngajak kenalan sama Dewi.
“Hallo Dewi, saya Gunawan dari kelas tiga IPA.”
“Hallo Dewi, saya Iskandar dari kelas dua Sosial.”
“Hallo Dewi, saya Budiman dari kelas tiga Budaya.”
“Hallo Dewi, saya Bima dari kelas dua IPA .”
Selama satu bulan, setiap jam istirahat pasti kakak kelas ramai-ramai ke kelasku, ketemu Dewi. Ngajak kenalan, ngajak ke kantin, ngajak belajar bersama, ngajak nonton bioskop. Entah ngajak apa lagi.
“Juno, ada apa ya…., kakak kelas koq ramai ngajak kenalan sama aku.”
“Yang jelas Dewi cantik. Para kumbang tentu mendatangi bunga yang sedang mekar.”
“Bisa aja kamu.”
“Juno, pasti ada sesuatu. Kenapa mereka hanya kenalan denganku, mengapa dengan Yuni, Endang dan teman lainnya nggak mau kenalan?”
“Ya…, aku nggak tahu.”
Begitu genjarnya serangan yang dilakukan para jejaka yang jumlahnya hanya sebelas orang. Akhirnya Bima dari kelas dua IPA bisa ngajak Dewi nonton film Pengantin Remaja di Sasono Budaya Kendal. Entah bagaimana strateginya. Bima dinyatakan sebagai pemenang dan dinyatakan sebagai pacarnya Dewi. Memang Bima orangnya gagah, tinggi besar seperti tokoh Bima dalam pewayangan. Kalau sekolah naik sepeda motor honda. Bima dan Dewi memang pasangan serasi, yang satu ngganteng dan yang satu cantik. Cocok sekali. Sering jam istirahat Bima datang ke kelasku, nyamperin Dewi, ngajak ngobrol, ngajak ke kantin. Aku sangat iri, hanya sebagai penonton setia saja. Aku sebenarnya ya…. naksir sama Dewi. Tapi ya sebatas itu, tidak lebih. Bagai pungguk merindukan bulan. Aku tahu diri siapa diriku. Meski begitu separoh jiwaku hilang kala lihat Bima dan Dewi jalan bersama, apalagi bergandengan tangan.
“Dewi nanti mau ambil jurusan apa?”
“Kepenginnya siih IPA tapi bagaimana ya…. Nilai aljabarnya tidak begitu menggembirakan.”
Memang sejak pacaran sama Bima, Dewi jarang belajar bersama denganku. Bima jelas lebih pandai dariku. Anehnya prestasi pelajaran Dewi malahan menurun drastis.
“Juno, kita belajar bersama lagi ya…belajar aljabar, nanti datang ke rumah ya……”
Malamnya aku ke rumah Dewi dengan sepeda tua yang setia padaku. Sinar rembulan berbelas kasih padaku, membantu menerangi jalan desa menuju ke pabrik.
“Kemana Dik?” tanya Pak Hansip
“Ke rumah Dewi Pak, belajar bersama.”
Sampai di rumah Dewi, aku disambut anjingnya.
“Guk…, guk…..guk…..”
Anjing penjaga rumah itu menakutkan, badannya sangat besar untuk ukuran anjing biasa, mungkin itu yang disebut anjing herder, gonggongannya keras, giginya yang tajam. Dewi datang membuka pintu, anjing itupun tahu diri, kembali ke kandangnya.
“Hai Juno, mari masuk.”
Di meja sudah disediakan ndog geludug, pisang goreng, teh manis juga beberapa botol minuman : sprite dan coca-cola. Aku sungguh takjub melihat perabotnya. Berbagai lukisan indah tertempel di dinding. Juga, terpajang foto keluarga Dewi. Hanya bertiga, jadi Dewi merupakan anak tunggal. Berbagai keramik dari China menghiasi di sudut-sudut ruangan. Ternyata benar, Dewi tertinggal cukup jauh pelajaran aljabarnya.
“Terima kasih Juno, engkau baik sekali. Ayo dimakan ndog geludugnya, pisang gorengnya, ayo diminum coca-colanya.”
Aku ambil ndog geludugnya, aku minum coca-colanya. Pulangnya, aku masih diberi bungkusan ndog geludug dan pisang goreng yang belum termakan.
“Terima kasih Dewi.”
Esok pagi Simbok sarapan ndog geludug. Aku senang kalau pagi Simbok bisa sarapan, tidak hanya minum beberapa teguk air kendi.
Ketika kenaikan kelas, aku masih tetap satu kelas dengan Dewi, di kelas dua IPA. Dewi naik dengan nilai yang pas-pasan untuk beberapa pelajaran : aljabar, ilmu ukur sudur dan ilmu ukur ruang. Tidak terlalu banyak murid yang masuk IPA dibandingkan jurusan Sosial dan Budaya. Satu kelas IPA hanya dihuni 19 murid, tujuh perempuan dan 21 laki-laki yang merupakan gabungan dari kelas 1/A, 1/B dan 1/C. Dari kelas 1 /A murid perempuan yang masuk kelas dua IPA, tiga orang : Dewi, Mawar dan Citra, sementara yang laki-laki ada empat orang : aku, Dulkamdi, Toni, dan Joni. Sementara dari kelas 1/B dan 1 /C yang perempuan : Ida, Indah, Wiwik dan Wiwit, sedangkan yang laki-laki : Parto, Edy, Yanto, Yapto, Agus, Harso, Harto dan Budi.
Pelajarannya tentu lebih focus pada pelajaran yang berhubungan ilmu pengetahuan alam: kimia, aljabar, biologi, fisika, ilmu ukur sudut, ilmu ukur ruang, mekanika dan geografi. Beruntung aku mempunyai buku-buku pegangan yang cukup lengkap sehingga dapat belajar dengan lebih baik. Banyak teman-temanku yang mengalami kesulitan karena hanya mengandalkan catatan.
Hubungan Dewi dan Bima hanya berlansung selama satu tahun. Ketika ada murid baru, ketika ada gadis cantik kelas satu, diadakan tradisi sayembara seperti halnya tahun sebelumnya. Pemenangnya? Bima lagi. Ya…. Bima pacar Dewi, betul-betul pejantan unggul. Untuk suatu kebanggaan, Bima tega mengorbankan Dewi. Kasihan Dewi yang jadi korban sayembara edan. Dewi sangat terpukul mengetahui bahwa dia hanya dijadikan piala. Selama satu minggu Dewi tidak masuk sekolah, sakit atau mungkin juga malu.
Hari itu, pulang lebih awal, ada tiga jam kosong di pelajaran akhir, satu bapak guru yang seharusnya mengajar sakit dan tidak meninggalkan catatan atau tugas, sementara bapak guru yang satu tidak diketahui penyebabnya.
“Juno, kita ke gubuk tebu ya..”
Aku manut saja. Pasti ada sesuatu yang ingin disampaikan Dewi. Gubuk tebu sudah merupakan tempat kalau Dewi ingin curhat. Kami berboncengan, tidak seperti biasanya selama perjalanan itu Dewi diam saja. Pasti ada sesuatu yang tidak mengenakan hatinya. Beruntung gubuk tebu kosong, namun ada sabit, dan beberapa potong tebu. Mungkin Pak Waker atau seseorang menyimpannya.
“Juno, kamu pasti sudah tahu ada sayembara itu kan? Aku dijadikan piala oleh kakak kelas. Kenapa kamu diam saja? Kamu jahat Juno. Aku benci…., benci sekali dengan Bima. Sepertinya, Dewi merasa terhina kala Bima menggandeng Maya, gadis kelas satu yang cukup cantik juga.
Aku diam saja, malahan bersyukur, Dewi terbebas dari cengkeraman play boy. Aku biarkan Dewi menangis di sandaran bahuku. Cukup lama Dewi menangis sesunggukan sampai tertidur dipangkuanku.
Dewi yang malang, pacar dalam khayalanku. (BERSAMBUNG)
———————-
Bogor 21 Agustus 2021