BADAI TELAH BERLALU (1)

BADAI TELAH BERLALU (1)

“Hai Juno, mana pendampingmu?”

“Hai Mawar, aku datang sendiri.”

“Hai Juno, mana istrimu.”

“Hai Dul, aku datang sendiri.”

“Hai Juno, mana Dewi?”

“Hai Citra.”

Kala itu, reuni perak SMA Cepiring diselenggarkan di Candi Gedong Songo. Cukup banyak yang datang, acaranya pun sebenarnya cukup meriah. Tapi aku hanya duduk saja melihat berbagai acara tanpa ikut dalam suasana gembira. Aku datang hanya sekedar memenuhi undangan untuk mempererat silahturahim saja, tidak lebih. Ada sesuatu yang kosong dihatiku. Bayang-bayang Dewi masih menyertaiku kemanapun aku pergi. Sepertinya, teman-teman belum ter up date perkembangan terakhir dari Dewi.

Paginya, aku  check out lebih awal. Aku hampiri nissan juke yang selalu setia membawa kemanapun aku pergi untuk keliling Cepiring.   Perjalanan relatif lancar, beberapa ruas jalan tol sudah tersedia, namun aku lebih memilih jalan biasa, sekedar mengetahui perkembangan kota-kota kecamatan yang dilaluinya.  Mangkang, tambah ramai, kiri dan kanan jalan  bermunculan berbagai pabrik. Sepanjang jalan Semarang-Mangkang didominasi sepeda motor dan kendaraan besar yang membawa berbagai barang. Kaliwungu juga tambah ramai, informasi yang aku peroleh, Kaliwungu akan dijadikan pusat industri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kendal. Sementara, kiri-kanan jalan dari Brangsong – Kendal – Patebon sampai Cepering tidak banyak mengalami perubahan.

Acara pertama, nyekar Bapak dan Simbok. Sudah lama aku tidak nyekar namun doa setiap hari selalu aku panjatkan kepada Gusti Allah, semoga kedua orangtuaku diberi tempat disisiNya.

“Bapak dan Simbok, ini Juno, semoga Bapak dan Simbok sudah tenang di akherat.” Aku bacakan surat Alfatekah sebanyak 7 kali dan mohon kepada Allah Swt, kiranya menyayangi Simbok dan Bapak seperti mereka menyanyangi aku serta  amal ibadah semasa hidupnya di terima dan dosa-dosanya diampuniNya.

Lokasi pekuburan masih tetap yang terdahulu. Bedanya,  kalau dulu dikelililingi sawah dan kebun sekarang disekitarnya sudah menjadi pemukiman, termasuk rumah yang dulu aku tempati. Tanaman tebu tidak terlihat  lagi, berganti dengan tanaman semusim atau padi. Di tengah persawahan berdiri dengan megah Sekolah SMA Negeri Cepering. Juga, di Cepiring terdapat SMK Bhakti Kencana, yang berbasis Kesehatan dan Keuangan dengan jurusan : Farmasi, Keperawatan dan Akuntansi. Perkembangan yang sangat menggembirakan dalam dunia pendidikan yang memperbanyak sekolah vokasi untuk mencetak tenaga menengah yang profesional.

Kala menunju kompleks Pabrik Gula Cepiring (PG Cepiring), pintu  gerbangnya ditutup,  seorang satpam menjaganya. Setelah aku sampaikan tujuanku, aku  diizinkan  untuk melihat kompleks. Aku sedikit berbohong bahwa aku dulu pernah tinggal di kompleks pabrik. Mobil keliling dengan gigi satu, sangat pelan. Kompleks PG Cepiring sepi tanpa kehidupan. Rumah-rumah tanpa penghuni, dibiarkan terbengkelai. Banyak rumah yang atapnya sudah roboh, rumput dan ilalang tumbuh dengan suburnya di halamannya.  Berhenti agak lama  di depan dirumah Dewi yang keadaannya sama dengan rumah lainnya. Aku ambil foto Dewi dari dompet yang selalu menyertaiku. Foto hitam putih yang warnanya telah kusam. Foto berdua saat  lustrum SMA Cepiring, foto satu-satunya yang aku miliki. Alangkah cantiknya. Air mataku menggenang, mengingat saat belajar bersama, saat mencari kembang tebu, saat Dewi curhat, saat di undang ayah dan ibu Dewi untuk menikahinya, saat ijab qobul dan saat-saat lainnya.

Keliling Cepiring tidak perlu waktu lama, hanya perlu waktu tidak lebih dari setengah  jam. Cepiring memang sudah berubah, meski tidak secepat  kota –  kota besar. Menjelang tengah hari, aku berhenti di warung kopi yang berada tidak jauh  depan PG Cepering.  Aku lihat kudapan yang ada :   pisang goreng, ketan bakar dan ndog geludug. Adanya kudapan ndog geludug, cukup mengherankan, kudapan yang ada sejak aku masih SD, kudapan  yang mengingatkan akan masa lalu. Secangkir kopi pahit menghilangkan rasa kantuk yang sudah mulai menjalar ke mataku. Dari warung kopi, terlihat dengan jelas  deretan lori-lori pengangkut tebu yang  berbaris berdesakan berebut tempat  dengan rumput ilalang yang tingginya lebih dari setengah meter. Warna cat hitam yang membungkusnya sudah memudar dan malahan   banyak yang mengelupas.  Wajah aslinya diperlihatkannya dengan terpaksa. Cerobong asap pabrik yang menjulang tinggi masih tegap berdiri dengan angkuhnya tanpa merasa malu. Uap  putih yang biasanya keluar dari cerobong nampaknya lebih tahu diri. Bangunan pabrik begitu kusamnya,  beberapa bagian sudah terlihat batu batanya. Lalu-lalang mobil masuk-keluar pabrik sudah tidak ada. Sepertinya, PG Cepiring sudah lama  tidak melakukan aktivitasnya. PG Cepiring yang dahulu gagah perkasa, kini tinggal kenangan. Rasa manis gulanya pernah  dirasakan bukan hanya oleh  masyarakat sekitarnya, bukan hanya masyarakat Kendal  tetapi  juga sampai kota-kota besar di Jawa Tengah. Kembali air mataku menggenang tanpa ada yang memerintah.  Kehidupan, sepertinya mengikuti roda berputar, sesekali di atas, sesekali di bawah, sesekali di tengah dan pada suatu saat roda itu pun akan tenggelam menuju dasar samudra.

Aku putar mesin waktu yang ada di memoriku, tahun 1970 an dan tahun 1980 an. Bagai melihat film masa  remajaku, demikian jelasnya. Kata orang, masa remaja merupakan masa paling indah. Tapi tidak bagiku, masa penuh keprihatinan. Goresan-goresan sembilu telah menyayat hatiku. Balutan yang mencoba membungkusnya sering terbuka, luka lama terkuak kembali.

————————–

Lulus SMP sebenarnya aku sudah tidak kepengin sekolah. Semenjak bapak meninggal, kehidupanku berubah dari prihatin menjadi lebih prihatin. Bapaklah tulang punggung keluarga. Kini, ibu, aku memanggilnya Simbok, menggantikannya dengan banyak keterbatasan. Sepetak sawah  yang tidak seberapa luas dijualnya.  Pada musim tanam, Simbok ikut jadi buruh tandur, musim panen ikut nderep, pulangnya dapat bawon, seperlima dari hasil panen yang dibawanya. Esoknya, Simbok menumbuknya dengan wajah berbinar. Setidaknya, untuk beberapa hari tersedia beras. Sepertinya, Simbok merasakan bahwa kehidupan sebagai buruh tani tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Upah yang diterimanya tidak mencukupi makan sehari-hari. Lagi pula pekerjaannya   tidak setiap hari.  Pada akhirnya,  Simbok lebih senang memilih sebagai pembantu rumah tangga harian di perumahan PG Cepiring. Paling tidak, Simbok dapat sedikit uang dan sedikit nasi berikut lauk pauknya pada hari itu.  Ada tga keluarga di  PG Cepiring yang menggunakan  jasa Simbok,  keluarga Bapak Budiman, Bapak Dermawan dan Bapak Waluyo. Pekerjaan Simbok seperti yang dilakukan pembantu pada umumnya :  cuci pakaian, setrika, nyapu, cuci piring, ngepel, masak dan pekerjaan lain yang diperintahkannya. Aku sebenarnya tidak tega sama Simbok yang bekerja seharian mencari uang hanya untuk membiayai sekolahku.

“Mbok, Juno berhenti sekolah saja ya…, cari kerja, mbantu Simbok.”

“Tidak boleh! Tidak boleh, Juno. Simbok akan kerja apa saja, kamu sekolah yang pinter. Ingat pesan bapakmu sebelum meninggal. Juno…, kamu belajar baik-baik, nanti kamu jadi tukang insinyur. Masih ingat kan? Kalau  rezeki sudah ada yang ngatur, yang di atas sana.” Simbok menujuk jarinya ke atas.

Tentu saja aku ingat betul pesan bapak. Tapi apa mungkin. Untuk kehidupan sehari-hari saja susah, apalagi untuk sekolah. Bukankah sekolah perlu biaya? Bukankah sekolah perlu pakaian seragam? Bukankah sekolah perlu buku-buku? Masih banyak pertanyaan yang ada di otakku. Tapi, Simbok sangat yakin Gusti Allah pasti sudah mengatur rezekinya.

Aku masuk SMA tahun kelima sejak sekolah dibuka. Saat itu, sekolahnya masih menempati sebuah rumah tua yang lumayan besar. Muridnya juga belum terlalu banyak. Beruntung sebelum masuk sekolah Simbok menerima baju lungsuran.

“Juno, Simbok bawakan pakain lungsuran Den Budi putranya Ndoro Sinder Budiman. Den Budi kan sudah kuliah di Semarang.”

Setumpuk pakain lunsuran, celana, baju, kaos dan bahkan sampai sepatu. Aku coba celana dan bajunya, ternyata banyak yang kegedean, tapi yaaa… tidak apa-apa, yang penting ada pakaian seragam SMA,  celana abu-abu dan baju putih dan pakaian seragam pramuka, celana coklat tua dan baju coklat muda.

Lain waktu, Simbok membawakan tumpukan buku pelajaran SMA.

“Juno, Simbok bawakan buku-buku lunsuran  dari Den Eko putranya Ndoro Sinder Dermawan. Den Eko sudah kuliah di Yogya.”

Cukup banyak bukunya, aku lihat satu persatu ada  Ilmu Aldjabar Jilid I, II dan III karangan CJ Alders, Ilmu Ukur Ruang karangan Drs. Rawuh,  Kimia karangan Schermerhorn,  Ilmu Ukur Segitiga karangan C.J Alders. Ada juga buku-buku novel   Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis,  Lajar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana,  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka,  Belenggu karya Armijn Pane,  Dari Ave Maria ke Jalan lain ke Roma karya Idrus. Juga, buku-buku catatan ketika sekolah di SMA Cepiring. Aku buka sepintas buku catatannya, sepertinya catatan pelajaran IPA, ada : aljabar,  Ilmu Ukur Ruang,  Kimia,  Ilmu Ukur Segitiga dan catatan lainnya.

Betul keyakinan Simbok, rezeki itu sudah yang mengaturnya. Baju dan buku lunsuran itu buktinya.

—————

Seperti biasa masuk sekolah pertama diawali dengan masa perkenalan, menyenangkan bagi kakak kelas tapi menyebalkan bagi anak baru.  Kalau hanya sekedar nyanyi sebagai syarat perkenalan itu sudah wajar. Tapi kadang-kadang para senior itu ngerjainnya agak keterlaluan, terutama pada gadis yang dianggap cantik.

“Hai, kamu siapa namamu.”  Lima senior mengelilingiku dan gadis di sebelahku.

“Nama saya Arjuno, Kak.”

“Haa…., haa…, haa.” Para kakak  tertawa serentak mendengar namaku.

“Nggak salah dengar? Terus panggilannya apa?”

“Juno.”

“Ya…, itu nama bagus jangan pakai nama Arjuno ya…, pakai nama Juno saja.  Mau kenalan? Nyanyi dulu dong.”

“Siap Kak, Balonku ada lima……”

“Stop…, stop…, ganti lainnya.”

“Bintang kecil…..”

“Stop….., stop…., apa nggak ada lagu lainnya? Ganti push up saja, 10 kali.

“Siap.” Push up, jangankan 10 kali, 100 kali pun aku sanggup melakukannya. Itu latihan sehari-hari kala latihan bela diri.

“Ini, gadis cantik mau kenalan juga. Siapa namanya?”

“Dewi, Kak.”

“Nah…, kalau ini nama sesuai dengan orangnya.”

“Coba Dewi, bilang cinta sama kakak.”

Dewi diam saja, menunduk. Kalau kakak kelas keterlaluan sekali Dewi nangis.

Di kelas satu, aku dan Dewi satu kelas,  kelas 1/A. Dewi duduk dekat Mawar nomor dua dari depan di lajur paling kanan, sementara  aku duduk dekat Dulkamdi, persis di belakang Dewi. Aku hitung murid,  jumlahnya ada 30, 11 perempuan : Dewi, Mawar, Melati, Nina, Nunik, Yati, Ani, Endang, Titik, Yuni dan  Citra, dan 19 laki-laki : aku, Dulkamdi, Pardi, Jono, Parno, Paidi, Samin, Dulsalam, Salim, Agus, Joko, Budi, Tono, Toto, Toni, Dahlan, Karno, Toro dan Joni.

Murid perempuannya hanya dua yang berasal dari PG Cepiring, Dewi dan Citra demikian pula  murid laki-laki hanya dua, Toni dan Joni.  Penampilan mereka pun berbeda,  pakaian selalu rapi,   bersih dan disetrika, rambut selalu disisir, sepatu selalu dikenakan, berangkat ke sekolah selalu diantar dengan mobil pabrik. Sangat berbeda dengan murid lainnya,  pakaiannya sudah lusuh tanpa disetrika, sekolah pun masih banyak yang nyeker, tanpa memakai sepatu.

“Hai…, Juno.”

“Hai…, Dewi. ”

Ya…., itulah perkenalan pertamaku dengannya. 

Rupanya, Dewi anak tunggal dari Sinder Perkebunan, Bapak  Waluyodikarto. Rumahnya di dalam  kompleks PG. Cepiring, kompleks perumahan terbaik yang berada di Cepiring. (BERSAMBUNG)

————————

Bogor 21 Agustus  2021

Kebun Raya Residence Blok F-23 , Ciomas; BOGOR 16610

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI