
DIA
Aku tengok jaket coklat yang aku kenakan saat reuni emas masih tergantung di pintu kamar. Sudah lebih ½ bulan aku tidak mencucinya. Aku masih ingin menikmati aroma bunga melati yang melekat di jaket. Aroma parfum yang aku sukai, aroma itu melekat dengan sendirinya saat aku dan DIA berpelukan dipintu masuk hotel. Pelukan kerinduan sesama teman yang sudah lama tidak berjumpa. Banyak kenangan yang menempel di memoriku, meski waktu pertemuannya hanya sebentar, tidak lebih dari ¼ malam dan juga tidak lebih dari ¾ hari.
Reuni Emas diselenggarkan di salah satu hotel bintang tiga di kota terbesar Jawa Tengah. Layaknya hotel bintang tiga, fasiltas yang ditawarkan sesuai dengan standard bintang tiga : ruang pertemuan, lapangan untuk olahraga, kolam renang dan restoran serta tempat parkir kendaraan. Bagiku, yang penting jumlah kamar double mencukupi untuk sekitar 75 alumni yang akan hadir, mempunyai ruang pertemuan dengan kapasitas 100 orang dan mempunyai lapangan untuk olah raga. Sebagai konsekuensinya, biaya hotel cukup mahal untuk ukuran pensiunan. Untuk menekan biaya hotel waktu yang dipilih bukan malam Sabtu atau malam Minggu atau waktu liburan. Beruntung beberapa teman yang mempunyai kelebihan rezeki memberi bantuan.
Sebagai Ketua Panitia aku datang lebih awal bersama beberapa panitia, mempersiapan berbagai hal untuk acara nanti malam. Mengontrol sejenak di ruang pertemuan, selanjutnya pindah ke ruang depan untuk menyambut para alumni bersama Bima. Di sampingnya, duduk istrinya yang masih menggunakan kursi khusus. Cerita Bima, istrinya satu bulan yang lalu terpeleset di kamar mandi. Aku salut kepada mereka berdua atas kehadirannya, meski dengan kondisi tidak terlalu sehat.
Setelah jam 14.00, teman-teman mulai berdatangan. Aku mencoba mengenalinya satu per satu, ternyata tidak gampang. Postur tubuh dan wajahnya sudah berubah. Selain itu, masker anti covid19 masih setia menutupi wajahnya. Ya…., meski covid 19 sudah reda, tetapi prokes tetap dijalankan. Teman-teman yang dari jauh: Pekanbaru, Makassar, Banjarmasin, Bali dan Medan malahan sudah berdatangan : Pandu, Krisna, Pardi, Haryono, Nuril dan lainnya.
“Hai Pandu.”
“Hai Juno”
Kami berpelukan sesaat. Pandu merupakan salah satu teman dekatku saat di SMA, teman belajar, bermain dan berpetualangan saat libur. Aku tahu siapa pacarnya, dia pun tahu siapa pacarku. Ia langsung duduk di sebelahku. Berdua kami ngobrol yang sangat biasa, apalagi kalau bukan obrolan tentang cucu, anak, pekerjaan, masa sekolah di SMA dan obrolan ringan lainnya.
Sebentar-sebentar aku tengok pintu masuk hotel. Terlihat seorang peserta wanita memasuki hotel, wajahnya tertutup masker, tangan kanannya memegang bungkusan lumayan besar. Sepertinya, DIA mengenalku. Memang fotoku yang memakai jaket coklat plus topi Pak Tino Sidin aku unggah di WA saat berangkat dari Bogor. Harapannya sederhana, teman-teman dapat mengenaliku.
“Juno…!” teriaknya.
Setengah berlari, DIA menghampiriku. Aku pun segera mengenalnya dari suara dan postur tubuhnya. Aku berdiri secara otomatis, berjalan setengah berlari menyambutnya. DIA merentangkan kedua tangannya, aku pun merentangkannya pula. Kami berpelukan. DIA memelukku cukup erat. Aku pun memeluknya tidak kalah eratnya.
Darahku mengalir lebih cepat. Ada kehangatan di tubuhku. Jantungku berdegup cukup keras, dheg…., dheg…., dheg…. Hatiku pun menambah ramai suasananya, ser…, ser…., ser… Padahal, sudah puluhan tahun keduanya tidak pernah memperdengarkan suaranya. Apakah suara itu juga ada padanya? Aku tidak tahu, tapi DIA mendengar suara degup jantungku.
“Juno, jantungmu bergetar cukup keras.” DIA menatap mataku.
“Juno, detak jantungmu menular ke jantungku.”
Aku diam saja. Sebenarnya agak malu juga. Tapi ya…., sudahlah. Keduanya, jantung dan hatiku sudah tidak bisa terkontrol oleh otakku. Setelah agak reda getaran jantungku, aku pegang tangan mungilnya, aku gandeng menuju tempat duduk di sebelah Pandu yang jaraknya tidak lebih dari sembilan langkah.
Bertiga, kami ngobrol sesaat, sebelum DIA menuju ruang pertemuan.
“Juno, aku bantu panitia disik yo?”
“Nanti kita duet dan joget bersama ya….”
“Okey.”
Hampir bersamaan kami berdiri, DIA berjalan menuju ruang pertemuan, sementara aku bersiap menuju kamar. Aku cium sejenak jaketku. Aroma wangi melati. Ya…, aroma melati darinya.
“Yes…, yes…., yes…!”
Kepalan tangan kananku bergerak ke atas dan ke bawah. Pandu berdiri sambil tanganya memegang dahiku.
“Juno, Aku khawatir sampeyan kena Covid-19.”
“We lha dalah. Aku iku sehat 100%.”
Kulihat jam sudah menunjukkan pukul 15.30. Saatnya istirahat sejenak. Berjalan menuju kamar 113 dengan wajah tersenyum. DIA mau nyanyi duet dan joget bersamaku.
“Yes…, Yes…., Yes…..!”
Kembali aku teriak sebelum masuk kamar. Senengnya bukan main.
———–
Acara dimulai dengan makan malam bersama diiringi lantunan suara Mbak Dini, penyanyi lokal. Orangnya cantik dan suaranya cukup merdu. MC dipercayakan kepada Mbak Dian dan Mas Joko, keduanya penyiar radio swasta lokal juga. Mereka pasangan serasi dalam mengatur ritme suasana malam reuni. Acara yang sifatnya formal dan acara yang sifatnya hiburan, di selang-seling sehingga tidak membosankan.
Saat Dini menyanyi, DIA menarikku ke depan mengajak menari bersamanya. Aku dipandunya, bagaimana harus menari, berputar kekiri atau ke kanan. Ya…, DIA bak putri raja yang sedang menari. Sungguh tidak menyangka DIA pandai menari dan juga pandai dansa. Aku sangat meninkmatinya, lupa bahwa usiaku sudah menginjak kepala enam.
Rasanya waktu tidak berpihak kepadaku, berjalan demikian cepatnya.Pukul 10.15, waktu berakhirnya acara bagaikan kedipan mata. Sebelum acara ditutup foto bersama dan diakhiri dengan nyanyi bersama. Para alumni membuat lingkaran, bergandengan tangan melantunkan lagu “Kemesraan”. Malam syahdu penuh kenangan.
“Juno kenapa lagu “Kemesraan” selalu dinyanyikan pada acara reuni?”
“Aku tidak tahu, tapi lagu itu syairnya indah sekali.”
“Oh ya….?”
“Coba dengar lirik terakhir : Jiwa ku tentram bersamamu.”
“Ya…, ya.., ya…, mulai nyerepet-nyerepet. Sudah dulu, aku mau istirahat, besok masih ada acara yang tidak kalah menariknya.”
“Jangan lupa sebelum tidur sebut namaku tiga kali, kalau tidak jangan salahkan aku kalau ada apa-apa.”
“Juno, kamu itu memang pinter ngombal.”
Esoknya, dengan memakai seragam kaos alumni warna kuning telur busuk aku ke lapangan. Sudah banyak teman – teman berkumpul dengan memakai kaos seperti apa yang aku kenakan. Lapangan yang tidak seberapa luas dipenuhi warna kuning, bagai tanaman bunga matahari yang sedang mekar.
DIA belum kelihatan. Agak aneh. Biasanya DIA selalu rajin datang lebih dahulu dalam setiap acara. Pasti ada sesuatu yang menyebabkannya. Aku bermaksud menjemputnya, namun di tengah jalan bertemu dengannya. Kulihat matanya sembab. Apa habis menangis? atau tidak tidur. Ada apa ya…? DIA langsung menggadengku ke tempat yang agak sepi. Mbak Novi, teman satu kamanya mengikutinya dari belakang.
“Juno, benar katamu. Tadi malam ada hantu dikamarku”
“Serius?”
“Lha iya lah, masa aku bohong. Coba tanyakan pada Mbak Novi .”
Mbak Novi hanya mengangguk. Aneh juga. Ada hantu di kamar hotel bintang tiga.
“Bagaimana ceritanya?”
“Tapi jangan ketawa ya…?”
“Ya…, nggak lah.”
————–
PoV
Sesudah acara selesai, sekitar jam 22.30, aku dan Mbak Novi menuju kamar 313. Mataku sebelah kiri kedutan beberapa kali. Suatu firasat yang memberitahu akan terjadi sesuatu yang kurang menyenangkan. Di kamar ada lukisan kepala kuda dengan rambut warna coklat kemerahan. Di dekatnya, terpasang jam dinding, angkanya masih menggunakan angka romawi. Pada tembok sebelah kanan terpasang lukisan wanita cantik dengan memakai baju putih.
Saat itu, aku sedang sholat malam dilanjutkan dengan berdoa dan dzikir.
“Teng…!”
Dentingan jam dinding satu kali mengagetkanku karena aku tidak mendengar dentingan sebelumnya apakah dentingan sebelas kali atau dua belas kali. Aku yang sedang berdoa melirik ke lukisan kuda yang berada dihadapanku. Matanya memancarkan sinar merah menatapku. Kucoba berpindah tempat, namun mata itu mengikutinya. Tiba-tiba lampu kamar mati diikuti angin dingin cukup kencang dari belakang. Bulu kudukku berdiri demikian pula bulu-bulu ditanganku. Aku yakin jendela kamar sudah ditutup. Aku mau menengok ke belakang tidak berani. Rasa takut menyelimutiku. Mbak Novi yang sedang berada di kamar mandi berteriak-teriak.
“Dik…! Dik….! Tolong buka pintunya!”
Di tengah kegelapan, aku meraba-raba dinding di depan kamar mandi mencari saklar lampunya. Aneh nggak ketemu. Mau buka pintu kamar hotel tidak bisa-bisa juga. Kembali, angin dingin menerpaku. Kali ini dari samping kanan. Aku memberanikan diri menengoknya.
“Astagfirullah!”
Terlihat wanita dengan baju putih menatapku dengan tajam. Wajahnya seperti lukisan wanita yang di dinding. Nafasku tersengal sengal, aku berteriak sekuatnya.
“Tolong !…… Tolong……! Tolong……!”
“Dik…., Dik…., cepat buka pintunya.”
Dari dalam kamar mandi terdengar pintu “dikotrak-kotrak”. Aku coba buka pintu dari luar, nggak bisa. Aneh.
“Astagfirullah….., Astagfirullah….., Astagfirullah…..,”
“Allahu Akbar…, Allahu Akbar…., Allahu Akbar .”
Tiada henti aku berdoa dengan rasa takut. Akhirnya Mbak Novi dapat keluar dari kamar mandi. Kembali aku coba membuka pintu kamar.
“Coba Dik, aku yang buka pintunya.”
Aku pun mundur sedikit, memberikan kesempatan kepada Mbak Novi untuk membukanya. Tidak bisa juga. Kembali, angin dingin menerpa dibagian belakang kepalaku. Aku teriak lagi sekerasnya.
“Tolong !…… Tolong……! Tolong……!”
Keringat dingin membasahi bajuku. Bukan hanya itu, celana panjang yang aku kenakan juga basah karena aku pipis di celana.
“Astagfirullah…., Astagfirullah…., Astagfirullah….”
“Ya Allah…., Selamatkan hambamu….”
Alhamdulillah, akhirnya pintu dapat terbuka. Berdua kami lari dalam kegelapan menuju tempat lift. Nafasku dan juga nafas Mbak Novi tersengal-sengal. Di keheningan malam, aku merasakan hembusan angin yang demikian dekatnya. Kucoba melihat dengan ekor mataku. Sepasang mata menatap tajam ke arahku dan sekelabat terlihat bayangan pakaian putih seperti yang dikenakan wanita dalam gambar. Kembali aku dan Mbak Novi panik dan berteriak.
“Tolong !…… Tolong……! Tolong……!”
Beruntung lampu nyala dan tidak berapa lama petugas hotel datang. Olehnya, kami diantar ke ruang depan.
“Ibu duduk sebentar ya…., silahkan diminum,” sambil memberikan air bening.
“Ada apa Ibu?”
“Kami mau pindah kamar, ada hantu di kamar.”
Kami dipindahkan ke kamar nomor 211. .
————
PoV
Aku tatap wajahnya, aku gemgam tangannya untuk memberikan rasa tenang.
“Juno, aku masih takut.”
“Lupakan hantu tersebut. Hari ini kita tour satu hari dan tidak kembali ke hotel.”
“Teman-teman ayo kita siap-siap senam lansia!”
Mbak Desy dengan suaranya yang keras memberitahu dimulainya senam. Aku dan DIA izin sebentar untuk konsultasi dengan manajer hotel.
“Bapak manajer, tolong dijelaskan mengapa di kamar 313 ada hantunya?”
“Pertama saya mohon ma’af kepada Ibu atas ketidak nyamanannya. Memang itu ke kekhilafan saya, tadi malam itu rupanya malam Selasa Kliwon”
“Apa hubungannya?” Tanyaku.
“Ceritanya agak panjang, saya akan cerita secara singkat. Sekitar setahun yang lalu, di kamar tersebut menginap sepasang pengantin baru. Saya kurang tahu penyebabnya pengantin wanitanya dibunuh oleh pasangannya. Sejak itu setiap tamu yang menginap di kamar tersebut selalu diganggunya.
“Apakah gambar wanita di kamar 313 tersebut pengantin wanitanya?”
“Ya…, betul. Kami minta bantuan “orang pintar” agar tidak diganggunya. Melalui “orang pintar”, hantu wanita tersebut minta persyaratan gambarnya di pasang di kamar dan kamar tersebut tidak boleh digunakan pada malam Selasa Kliwon.”
“Itulah sebabnya, tadi malam Ibu diganggu oleh hantu tersebut. Sekali lagi saya mohon ma’af. Saya mohon Ibu tidak menyebarluaskan peristiwa ini.”
Sungguh tidak menyangka masih ada hantu yang menginap di hotel pada malam Selasa Kliwon. Bergegas aku bersamanya ke lapangan, ternyata senam sudah selesai. Beberapa teman mendekatiku.
“Mas Juno, ini tape ketan khusus untuk dibawa ke Bogor.” Kata Dul Kamdi.
“Juno, ini carang madu, bawa ya…” Kata Nuril.
“Mas Juno , ini pilus dan telur asin dari Brebes.” Kata Ida.
Dan, masih banyak lagi teman-teman yang menawarkan oleh-oleh kepadaku. Terharu rasanya atas kebaikan teman-teman. Aku dekati DIA yang sibuk membagikan cemilan kepada teman-teman.
“Juno, ini intip khas Semarang. Bawa ya…, untuk diperjalanan dan cemilan di rumah. Sangat cocok kalau sore hari atau malam hari nonton TV ditemani kopi panas dan intip goreng.”
“Terima kasih. Mengingatkanku saat kecil. Jika ibu memasak nasi liwet pasti ada intipnya. Oleh ibu, aku diminta untuk menjemurnya di atas genting dan setelah kering digoreng. Gurih.”
Waktu berjalan tiada mengenal lelah. Teman-teman sudah banyak yang pulang. Aku pun bermaksud untuk pulang juga, perjalananan masih memerlukan lebih dari tujuh jam.
Aku dekati DIA, aku tatap wajahnya. DIA pun menatapku. Aku dekap DIA cukup lama. Kembali jantung dan hatiku bersuara dengan iramanya masing-masing. Entah kapan aku dapat mendekapnya lagi. Reuni Emas bersama DIA memberikan kenangan yang akan aku tuangkan dalam sebuah cerita yang tidak lekang oleh waktu.
Kala malam tiba, kala kesunyian tiada suara, kala kerinduan menjemput, kala itu pula aku buka foto – foto bersamanya, bidadari tanpa sayap beraroma melati yang diturunkan bukan untukku.
DIA, yang tidak boleh kesebutkan namanya.
——————-
BIOGRAFI
BAMBANG WINARTO (Mbang Win) dilahirkan di Magelang 15 Juni 1954. Setelah lulus dari SMA Kendal, mengikuti pendidikan di Fakultas Kehutanan – Institut Pertanian Bogor (1974-1978). Bekerja di Kementerian Kehutanan 1979-2010. Memperoleh gelar Magister Manjemen (MM) bidang studi Agribisnis dari Universitas Gajah Mada tahun 1993, dengan predikat lulusan terbaik.
Bambang Winarto aktif menulis berbagai artikel tentang kehutanan di majalah kehutanan. KAMUS KEHUTANAN (KAMUS RIMBAWAN) merupakan karya yang fenomenal yang jadi pegangan para rimbawan.
Saat ini sedang menekuni penulisan Cerita Pendek. Cerpen cerpen yang diunggah di Web CERPENMU selalu masuk nominansi terbaik pada bulan yang bersangkutan.
Alamat : Kebun Raya Residence F-23 Ciomas, BOGOR, Telp/Fax : 0251- 8632147 ; HP 081316747515; Email : bambang.winarto54@gmail.com;
Kebun Raya Residence , Ciomas BOGOR, 23 Januari 2024