KEMBARAN

KEMBARAN

30 Jan 2024
1.855

Satu langkah lagi. Ya….., satu langkah lagi, gelar sarjana kehutanan yang didambakan itu akan diraihnya. Sudah lebih tiga setengah tahun Juno menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB. Selama itu pula ia tinggal di asrama Kehutanan Sylva Lestari.  Sebagai mahasiswa tingkat akhir ia diberi privilege  menempati kamar single. Ia menempati  kamar nomor 13 di lantai tiga yang berada di paling pojok sebelah kanan asrama. Di depan kamarnya, terdapat hutan pinus yang masih cukup lebat. Saat  angin bertiup cukup kencang, aroma pinus  terasa sampai kamarnya. Ia sangat berterima kasih dapat  tinggal di asrama, tempat bernaungnya yang memberikan ketenangan dan kenyamanan. Berbagai fasiltas yang disediakan lebih dari cukup tanpa mengeluarkan biaya satu sen pun.

Layaknya mahasiswa tingkat akhir, ia harus melakukan penelitian sebagai salah satu syarat kelulusan. Proposal penelitian yang disusunnya dengan judul “Persepsi Masyarakat Terhadap Hutan Wisata Pinus Di Cikole ” telah mendapat persetujuan dosen pembimbingnya.

“Juno, sebaiknya kamu tinggal di lapangan. Syukur-syukur Pak Sinder Cikole menyediakan tempat. Nanti kamu akan mengetahui secara riil bagaimana masyarakat sekitar hutan memandang hutan.” Kata dosen pembimbingnya.

“Baik Pak.”

Beruntung Pak Sinder Cikole menerimanya dengan tangan terbuka. Memang kekeluargaan di kalangan rimbawan sangat erat. Itu salah satu alasan kenapa ia memilih kuliah di Fakultas Kehutanan.

“Dik  Juno, selama penelitian tinggal disini saja. Bapak  sudah siapkan kamarnya. Anggap saja ini rumahnya sendiri. ” Kata Pak Sinder Cikole.

“Terima kasih Bapak.”

“Dik  Juno, dulu Bapak juga pernah tinggal di asrama Silva Lestari, kala itu mengikuti pelatihan “Pengelolaan Hutan Wisata.” Makanya,  anak  perempuan saya,  saya beri nama Dewi  Silva Lestari. “

Dewi …, Dewi …!” panggil Pak Sinder.

Jantungnya  berdetak cukup  keras kala melihat  gadis remaja muncul dari kamar. Bukan itu saja, ia mendengar suara ser…., ser…, ser… dari hatinya. Baru kali ini setelah hampir lima tahun lebih jantung dan hatinya bersuara.

“Juno…, Arjuno.”

“Dewi …., Dewi  Silva Lestari.”

Ia gemgam erat tangan mungilnya serta ditatapnya matapnya. Wajahnya mirip Rossa, penyanyi asal Sumedang yang terkenal dengan lagunya : Nada Nada Cinta,  Ayat Ayat Cinta dan beberapa lagu lainnya. Kecantikannya  tidak kalah dengan  gadis yang pernah ia gandeng kala di SMA, yang tega selingkuh dengan mahasiswa dari perguruan tinggi ternama di Semarang.

Mereka cepat akrab, obrolan sering dilakukan oleh keduanya baik di rumah atau di tempat lainnya.

“Dewi , sekarang kan lagi libur panjang sehabis ujian akhir SMA, mau nggak belajar penelitian.”

“Mau dong.”

“Mau bantu Mas Juno melakukan penelitian?”

“Mau…., mau…! Bagaimana caranya?”

“ Ya…, nanti Mas Juno terangkan.”

“Ngomong-ngomong Dewi  akan melanjutkan kemana?”

“Belum tahu Mas, mungkin kuliah di UNPAD, mau ambil jurusan lingkungan.”

“Waaah…, bagus tuuh,  enggak ke Bogor saja, di IPB juga ada jurusan lingkungan, atau ambil kehutanan, nanti  Mas Juno bisa ngajari kalau Dewi  ngalami kesulitan.”

Ia sangat gembira, Dewi akan membantu surveinya. Dapat dipastikan akan diperoleh responden yang lebih banyak dengan waktu yang lebih cepat. Pekerjaan di lapangan sangat sederhana, hanya membagikan kuisioner yang telah disusunnya dan mengumpulkan kembali setelah dijawab. Dewi memperhatikan kuisionernya  yang berisi berbagai pertanyan yang sudah ada pilihan jawabannya.

 “ Dewi,  kuisioner  ini diberikan saat pengunjung masuk Hutan Wisata . Mereka diminta memilih jawaban yang ada di kuisioner dan diminta kembali saat keluar. Gampang kan?”

Lokasi Hutan Wisata Pinus tidak terlalu jauh dari rumah Pak Sinder, hanya sekitar setengah  kilometer lewat jalan pintas melalui pekuburan. Hari  libur, Sabtu dan hari Minggu, pengunjung cukup  ramai yang didominasi para remaja. Saat ini paling tepat membagikan kuisioner.

 “Dewi, tunggu sebentar ya…, Mas Juno mau cari kembang kamboja.”

“Iiih.., ada-ada saja Mas Juno, untuk apa? Cepat ya…, Dewi takut.”

Entah mengapa tiba-tiba ia teringat masa kecil. Ada kepercayaan kalau menemukan bunga kamboja dengan empat  kelopak bunga dan disimpannya didalam buku akan menjadi pandai.

“Bagaimana Mas, sudah ketemu bunganya?”

“Ya…, sudah.”

Ia tunjukkan bunganya, Dewi tertegum melihatnya, sepertinya tidak percaya kalau ada bunga kamboja dengan empat kelopak bunga.

“Terus mau diapakan Mas?”

“Ya…, disimpan dalam buku, supaya cepat lulus.”

“Iiiih…, Mas Juno, itu namanya tahayul. Kalau ingin cepat lulus yang belajar.”

Saat-saat luang digunakan untuk menjelajahi hutan pinus yang berada di Cikole, jalan-jalan ke Lembang menikmati susu segar hangat atau tempat tempat lain yang menarik.

“Mas Juno, kejar Dewi……”

Dewi berlari di sela-sela pohon pinus dan rimbunnya semak belukar. Dalam hitungan detik, bayangan Dewi sudah tidak terlihat. Untuk sejenak, ia agak bingung mencarinya. Sebagai rimbawan yang telah mengikuti berbagai petualangan di hutan, ia pun segera mengetahui keberadaannya. Di endapnya dari belakang.

“Ketangkap!”

Ditatapnya wajahnya, diciumnya dahinya. Perlahan lahan ciumannya beralih ke bibir. Mata Dewi terpejam, tubuhnya bergetar hampir saja terjatuh.

“Iiiih Mas Juno itu nakal.”

Dewi melepaskan diri dari pelukan Juno dan kembali berlari turun ke bawah. Ternyata di bawah ada pondok kecil untuk tempat istirahat, disamping sebelah kanan terdapat sungai kecil,  airnya jernih dan alirannya  cukup deras.  Suara gemericik air sungai terdengar cukup jelas yang menandakan kesunyian hutan. Disamping sebelah kanan ada gundukan kecil menyerupai kuburan.

“Mas Juno, Rasanya Dewi betah duduk disini lama-lama. Suara gemericik air sungai dan suara burung serta hemhusan angin hutan rasanya damai sekali.”

“Iya …, nanti kita akan sering kesini.”

Dua bulan pengambilan data rasanya begitu cepat, ia masih  kepengin lama-lama bersama Dewi. Benih benih cinta dirasakan sudah mulai tumbuh. Ia pun yakin kalau Dewi mempunyai rasa seperti yang ia rasakan. Kembali ke Kampus Darmaga dengan kesibukan berbeda, mengolah dan  menganalis data menjadi skripsi.

Jam duduk di depannya sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi. Dilihatnya  kalender di depannya, malam Jum’at  Kliwon. Didahului hawa dingin, tercium aroma pinus yang cukup tajam. Antara sadar dan tidak melalui jendela tanpa gorden, ia melihat wanita bergaun putih menatapnya dengan tersenyum. Bergegas di buka pintu kamarnya, ternyata tidak ada apa-apa. Ia yakin melihat wanita tersebut, tetapi  apakah mungkin? Kamarnya  berada di lantai tiga, bagaimana dia bisa berada teras lantai tiga? Wajahnya, ya wajahnya sangat familiar baginya.

Paginya, ia  lihat di bawah jendela dijumpai cukup banyak daun pinus. Pikiran rasionalnya  mengatakan bahwa daun pinus terbawa angin yang cukup kencang. Memang tadi malam hujan yang lumayan lebat disertai angin kencang.

Malam Jum’at  Kliwon berikutnya kejadian serupa muncul lagi. Kali ini di dahului dengan aroma bunga kamboja. Wajahnya lebih jelas. Ya…, ya…, itu wajah Dewi. Bergegas, ia  buka pintu kamar.  Namun, seperti kejadian sebelumnya tidak ada apa-apa. Ia lihat  di bawah jendela dijumpai bunga kamboja. Ia masih mencoba berpikir rasional, mungkin tadi siang bibi Yuyun  membawa bunga kamboja untuk persiapan ke pekuburan dan lupa membawanya.

Hampir setiap malam  ia melanjutkan pengolahan data. Ia tidak ingat kalau malam itu malam Jum’at  Kliwon. Hawa dingin disertai aroma wangi begitu dekatnya. Antara sadar dan tidak ia sudah berada di hutan Cikole.

 “Juno, kita jalan ke bawah, disana ada sungai kecil,  airnya sangat jernih dan juga ada pondok untuk istirahat.”

Dewi pun berlari dengan langkah kecil-kecil.

“Juno…! Kejar Dewi.”

Ia mencoba mengejarnya, tapi Dewi lebih cepat larinya. Ketika ia sampai di pondok, Dewi sudah duduk bersender di pondok.

“Juno duduk di pondok ini suasananya tenang, gemericik air sungai kedengaran, hembusan angin demikian lembutnya. Rasanya Dewi tidak ingin meninggalkan tempat ini.”

“Juno itu payah! Ngejar Dewi saja tidak bisa.” Katanya lebih lanjut.

“Ya…, ya…, Mas Juno kalah. Nanti pulangnya kita balapan lagi ya…, siapa yang paling cepat sampai rumah.”

“Ah…., nggak mau. Kecuali kalau Juno mau gendong Dewi.”

“Okey.”

Mereka pun mulai berlari menuju rumah yang jarak sebenarnya tidak terlalu jauh.

“Juno, Dewi capek, nggak kuat, minta gendong saja.”

“Ayo…, Mas Juno gendong di belakang.”

Menggendong Dewi dirasakan semakin berat membuat keseimbangannya kurang terjaga. Kakinya  tersandung  batu,  mereka berdua jatuh di semak.

“Dewi, kamu nggak apa-apa kan?”

Ia periksa Dewi tidak mengalami luka, malahan tersenyum menatapnya.  Jantungnya berdetak keras. Tiba-tiba  Dewi menciumnya dengan penuh nafsu.

“Dook….., dook……, dook…”

Juno tersentak mendengar suara pintu diketok dengan cukup keras.

“Neeng…, neeng…, neeng…, sudah siang.”

Ia tengok jendela, sinar mentari menerobos jendelanya. Kejadiannya begitu nyata. Di  tangannya masih ada bercak darah segar yang   terkena duri lantana. Beberapa daun lantana dan daun pinus menempel di bajunya. Ia terpekur memikirkan hal yang tidak masuk akal. Ia  coba mengingat-ingatnya. Dewi yang tadi malam wajahnya nyaris sama, namun tidak ada tembong kecil di pipinya dan  rambutnya sedikit lebih panjang. Keanehan lainnya Dewi sangat agresif dan memanggilnya hanya Juno saja tanpa embel-embel Mas. Kalau demikian siapa sebenarnya Dewi itu?

Kejadian berulang Malam Jum”at berikutnya.

“Dewi, sudah berapa lama kita berkenalan?”

“Juno, kamu masih muda tapi sudah pelupa. Kita berkenalan kan sudah tiga bulan. Juno sendiri yang ngajak kenalan sama aku.”

“Juno, kamu masih ingat ketika mengambil bunga kamboja dengan empat kelopak bunga?”

“ Ya…, tentu saja aku ingat. Bahkan bunga itu masih aku simpan dalam salah satu bukuku.”

“ Itu artinya, kamu sendiri yang mengundangku berkenalan. Aku senang sekali, aku selalu berharap dekat denganmu.  Juno aku iri dengan Dewi putrinya Pak Sinder. Makanya wajahku aku rubah mirip dengannya. Namaku pun aku buat mirip,  Dewi Sylva Sari.”

 “Juno, lihat itu sepasang muda-mudi, mereka sedang bercumbu. Ayo Juno, aku ingin engkau mencumbuku seperti engkau mencumbu Dewi putrinya Pak Sinder.”

“Dook….., dook……, dook…”

Ia terbangun mendengar kedoran suara pintu, jam wekernya menunjukkan jam 09.45. Bangun dengan rasa malas. Kini, rangkaian mimpi semakin jelas. Ada dua Dewi, satu putrinya Pak Sinder yang bernama Dewi Sylva Lestari dan satunya Dewi Sylva Sari, makhluk astral.

———

PoV

Sudah tujuh hari  bibi Yuyun  mengetuk pintu kamar Juno tetapi tidak ada balasan. Ia pun lapor kepada ketua asrama. Disaksikan ketua asrama dan beberapa pengurus arsama, pintu kamar Juno dibuka. Kamarnya bersih dan rapi, di mejanya terpasang foto Dewi Sylva Lestari, disampingnya bunga kamboja dengan empat kelopak bunga.

TAMAT

————

Kebun Raya Residence F-23 CIOMAS – BOGOR , 27 Januari 2024

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI