CINTA YANG TERTUNDA (1)

CINTA YANG TERTUNDA (1)

29 Apr 2023
1.329

Kala itu tahun 1970 an.

Sehabis sholat subuh, seperti biasa aku bergegas menuju stasiun kereta api Weleri.  Sekitar jam 05.30 kereta api  ekonomi “Bintang Malam” dari Jakarta memasuki stasiun. Surprise, kereta api tepat waktu, biasanya selalu terlambat dari beberapa menit sampai pernah lebih dari dua jam. Lokomotive yang menyeret 10 gerbong penumpang dengan entengnya itu  perlahan-lahan memperlambat laju larinya. Berhenti tepat di tengah stasiun. Sebagian penumpang turun dan pada saat bersamaan  penumpang yang sudah menunggu berebut naik. Para pedagang asongan pun  berebut ikut naik untuk menjajagan dagangannya.  “Telur rebus …., nasi pincuk….., kopi panas, teh panas…, kopi susu…..” Suara riuh pedagang asongan berlomba menjajakan makanannya. Mereka berharap penumpang membeli jajanannya untuk sekedar dapat  bertahan hidup ala kadarnya.

Wajah lokomotive cukup menakutkan bagi anak kecil. Warnanya  hitam legam,  hidungnya menghadap atas dan selalu mengeluarkan asap putih tiada henti sedangkan bagian bawah mengeluarkan uap panas.  Lokomotive melepaskan diri dari gerbong-gerbong yang digandengnya menuju tempat khusus yang telah disediakan,  istirahat sejenak setelah berlari cukup jauh. Dahaga dan lapar sangat  dirasakan, puluhan liter air diteguknya dan puluhan potongan  bonggolan kayu  jati ditelannya sebagai tambahan tenaga untuk menuju stasiun akhir, Semarang.

Tepat Jam 06.00. Priiiit……,  Deg…, dug…, deg…, dug…, deg…, dug….. Terdengar suara roda-roda kereta mulai berputar tiada hentinya, berjalan pelan, berlari pelan, semakin lama semakin cepat. Tiang –  tiang listrik, pohon – pohon di kiri dan kanan ikut berlarian menuju arah yang berlawanan.

Seperti biasa aku naik di gerbong nomor 3 dengan tempat duduk 5A, tempat duduk yang telah aku pesan selama 6 bulan  ke depan dengan cara abudemen. Perjalanan rutin, nglaju Weleri-Semarang dan sebaliknya untuk mengikuti kuliah di Semarang.    Pagi dari Weleri menuju Semarang,  sore atau malam dari Semarang menuju Weleri. Di Kaliwungu ada yang naik, di gerbong nomor 3 juga, satu gerbong denganku, duduk disebelahku. Gadis berseragam SMA, baju putih dengan rok bawah warna  abu – abu. Wajahnya  mirip  Widyawati kala remaja, bintang film favoriku. Hatiku bergetar dan jantung berdetak cukup keras, baru kali ini aku merasakannya. Ketika getaran hati dan detak jantungku sudah normal, aku memberanikan diri untuk berkenalan dan ngobrol dengannya.

“Juno,  Arjuno. ” Aku  mengulurkan tangan, memperkenalkan diri.

“Dewi , Dewi Lestari. ” Jawabnya sambil  menunduk dan mengulurkan tangannya.

Mulanya,  obrolannya kaku, namun lama-lama semakin lancar. Dewi  lebih banyak diam,  aku lah yang lebih sering bercerita.  Itu bisa di mengerti,  aku laki-laki dan juga lebih dewasa. Dewi  murid kelas 1 SMA N 1 Semarang, tinggal di Kaliwungu, nglaju seperti halnya aku.   

“Mas Juno itu kuliah dimana?”

“Di UNDIP,  Fakultas Tehnik, jurusan Arsitektur.”

“Emangnya kalau sudah lulus jadi apa.”

“Ya…, jadi arsitek. Itu lho yang kerjanya nggambar gedung-gedung.”

“Terus …., kalau Dewi   mau kuliah di  jurusan arsitektur bagaimana caranya?

“Ya…., lulus SMA dulu dari jurusan PASPAL.”

Itulah perkenalan awal dengan Dewi. Kini, setiap pagi, setiap hari kuliah, setiap hari sekolah, aku dan Dewi selalu bertemu di gerbong tiga kereta api “Bintang Malam”. Perjalanan kuliah yang menyenangkan, duduk berdekatan, nomor 5A dan 5B. Pernah Dewi   tiga hari berturut –  turut tidak naik kereta api. Betapa bingungnya aku. Hari Minggunya, aku memberanikan diri datang ke rumahnya yang terletak di  Desa Sumberejo, Gang Jati Emas nomor 23 Kaliwungu. Jarak Weleri – Kaliwungu tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 25 Km,  setengah jam dengan sepeda motor.

“Assalammualaikum.”

“Waalaikumsalam.” Terdengar jawaban suara laki laki dari dalam, disusul langkah kaki menuju pintu depan.

“Saya, Juno , teman Dewi   di kereta api.”

“Oh…, Nak Juno .”

“Betul.., saya Juno. Kami, sama-sama nglaju, satu gerbong. Sudah tiga hari, Dewi tidak naik kereta api, apakah Dewi sakit?”

“Oh…, ya…, Dewi   juga cerita, kalau punya teman seperjalanan dari Kaliwungu ke Semarang.”

“Dewi   …..!” panggil ayahnya.

Dewi   keluar dengan wajah masih pucat.

“Dewi   ngrepoti Mas Juno  ya…..,  jauh-jauh dari Weleri untuk melihat Dewi  .”

“Lha iya…., tiga hari nggak ketemu, nggak ngobrol di kereta, seperti ada yang hilang. Sakit apa Dewi ?”

“Ya…, biasa lah Mas, masuk angin, capek.”

Saat itulah keluarga Dewi  mengenalku.

———————

“ Dewi, bagaimana kalau minggu depan kita rekreasi ke Candi Gedong Songo di lereng Pegunungan Ungaran?” Minggu itu adalah hari istimewa Dewi, ulang tahun yang ke 17.  Memang aku sengaja mengajaknya ke Candi Songo untuk merayakan ulang tahunnya tanpa sepengetahuannya. Aku telah mempersiapkan hadiah istimewa untuknya.

Minggu yang kunanti datang tanpa ingkar janji.  Dewi   memakai celana jean, kaos warna putih motif bunga melati, pakai topi dan sepatu kets. Aroma melati  menempel di tubuhnya, parfum kesukaannya, aroma favoriteku juga. Dewi bagai bunga yang sedang mekar dan aku kumbang  yang beruntung.  

Pagi nan cerah, mentari menyembul dari balik gunung memberi kehangatan, langit biru,  awan yang biasanya menutupi seperti tahu diri, pergi entah kemana. Kami berjalan bergandengan, menikmati keindahan Pegunungan Ungaran dan kemegahan candi kejayaan Wangsa Syailendra. Ada sembilan candi yang jarak satu dengan lainnya lumayan jauh, sekitar 200 meteran. Setelah melewati tiga candi, kami beristirahat di bawah pohon mahoni yang cukup besar dan rindang. Dewi   langsung duduk melepaskan penatnya. Aku ambil pisau kecil yang selalu aku bawa, aku ukir gambar hati dengan tulisan Juno  + Dewi .

“Dewi lihat gambar dan tulisan Juno + Dewi, nanti sepuluh tahun lagi kita kesini lagi untuk melihatnya. Semoga pohonnya tidak ditebang, sekarang, tutup matanya.”

Dewi    menutup matanya, aku kalungkan seuntai kalung yang pada bagian ujung bermotif hati dengan tulisan Juno + Dewi .

“Dewi , selamat ulang tahun yang ke tujuh belas, semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.”

Aku kecup dahinya. Aku pandang wajahnya, aku kecup bibirnya dengan lembut. Dewi   membalas ciumanku dengan mata terpejam. Hampir saja Dewi jatuh kalau tidak segera pegang pinggangnya.

“Mas Juno nakal…, terima kasih hadiahnya.” Air mata Dewi    mengalir di pipinya, air mata bahagia.  

“Mas Juno tahu nggak, baru kali ini ada yang merayakan ulang tahun Dewi,” katanya sambil menyenderkan kepalanya di bahuku.

Betapa bahagianya Dewi. Seharian di Candi Gedong Songo. Aku ? Jangan tanya sangat bahagia sekali.

“Dewi,  ini hari istimewa. Mas Juno akan memberikan hadiah lagi,  pintalah tiga permintaan, nanti Mas Juno kabulkan. Permintaan pertama Senin besok, di kereta api.”

———————

PoV

Dewi   menjelang tidur.

Pulang dari Candi Gedong Songo, aku tidak bisa tidur. Bayang bayang di Candi Gedong Songo menari-nari didepanku. Pertama kali aku dicium sama lelaki, Mas Juno, cinta pertamaku. Badanku bergetar, jantungku  berdetak dengan kencang, bagai kena setrum  5 watt, aku pingsan sesaat, lemas. Hatiku melayang, terbang tinggi jauh ke angkasa, menembus gulungan awan putih nan hangat. Ciuman yang menggetarkan, sejuta rasanya. Mas Juno itu rupanya nakal tapi juga romantis. Ulang tahun ke tujuh belas yang tidak terlupakan. Tidak ada orang yang ingat, kecuali Mas Juno. Aku pandangi kalung hadiah dari Mas Juno. Kalung yang bergambar hati dengan tulisan Juno + Dewi. Aku dekap dan aku cium. Mas Juno, nanti permintaanku ke Candi Gedong Songo lagi.

Dewi tertidur sambil  terseyum.

———————

Senin di kereta api.

“Dewi, Mas Juno sudah berjanji akan mengabulkan tiga permintaan lagi. Sekarang sebutkan permintaan yang pertamanya.”

“Ke Candi Gedong Songo lagi.”

“Kan kemarin sudah ke sana.”

“Iya….., Dewi    kepengin ke sana lagi.” Katanya dengan suara agak keras.

“Kepengin apanya……?”

“Iiiih…., Mas Juno   itu bawel.” Katanya sambil mencubit tanganku dengan lembut.  

Minggu berikutnya aku dan Dewi    ke Candi Gedong Songo lagi. Acaranya sama. Bergandengan tangan, petak umpet, berkejaran, makan bakso, minum ronde hangat.  Permintaan kedua dan ketiga tetap sama, ke Candi Gedong Songo. Wisata yang memberikan kebahagiaan luar biasa bagi Dewi dan juga bagiku.

———————

Selepas lulus dari UNDIP, aku kerja di BUMN yang bergerak dalam bidang infrastruktur di kota Semarang. Hubunganku dengan Dewi   tambah lancar. Namun dua tahun berikutnya aku dipindahkan ke Batam. Kepindahan yang tidak aku harapkan.

“Dewi, aku dipromosikan sebagai Direktur Cabang  di Batam.”

“Mas Juno, aku takut…., takut kehilangan Mas Juno.” Jawabnya disertai dengan isak tangis.

Tugas yang tidak bisa aku tolak, untuk karierku dan juga untuk masa depan bersama Dewi .  Aku percaya cintaku dan cintanya tidak akan luntur  meski jarak yang cukup jauh memisahkannya. Hubunganku dengan Dewi   hanya mengandalkan surat dan  kebaikan pegawai  Kantor Pos. Perlu waktu tujuh hari surat baru sampai. Sampai bulan keempat  surat masih lancar, namun menginjak bulan kelima surat  mulai tersendat, bulan ke tujuh surat yang aku kirim kembali lagi ke alamatku. Sangat aneh, pasti ada sesuatu peristiwa yang luar biasa diluar nalar. Bukankan hubungaku dengan Dewi   sudah direstui oleh keluarganya?  Ayah dan ibu Dewi  juga merestui tugas yang aku emban saat aku pamit.

Ketika ada kesempatan untuk cuti, aku pulang ke Weleri dan sekaligus ke Kaliwungu, mencari keberadaan Dewi. Perjalananan yang melelahkan, perlu waktu empat  hari tiga malam. Bis antar pulau menerabas hutan, menyeberang laut. Jalan sebagian masih berupa tanah, jalan hutan bekas Hak Pengusahaan Hutan.  Pesawat terbang mungkin baru lima tahun lagi tersedia.  Ketika sampai di Kaliwungu, ternyata pemilik rumahnya sudah berbeda. Mereka tidak mengetahui secara pasti alamatnya, hanya memberikan informasi kalau keluarga Dewi   sudah pindah ke Jakarta. Aku lemas, tidak tahu kemana harus mencarinya. Hilang jejak. (bersambung).

———————

Kebun Raya Residence BOGOR 15 Juni 2020

—————–

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI