CINTA YANG TERTUNDA (2)

CINTA YANG TERTUNDA (2)

29 Apr 2023
1.298

Pembangunan di Batam dilakukan secara besar-besaran sesuai arahan dari Bapak BJ, Habibie. Batam akan dijadikan seperti Singapura, kota industri, perdagangan dan sekaligus wisata. Konsep yang dikembangkan Pak Habibie sebenarnya sangat sederhana, menerima limpahan investasi dari Singapura. Jarak Singapura dengan Batam demikian dekatnya, bahkan Batam mempunyai banyak kelebihan.

Sebagai pimpinan cabang, segala pikiran, tenaga  dan waktu, aku curahkan sepenuhnya segaligus  ingin melupakan  bayang-bayang Dewi yang selalu setia menyertaiku.

Ketika sedang sibuk rapat dengan para staf,  penerima tamu, tergopoh gopoh memberitahu.

“ Pak Juno, ada telpon dari Weleri penting katanya.”

Rapat aku tinggalkan, bergegas menuju ruang kerjaku untuk menerima  telpon.

“Mas Juno, ini Yuni, Ibu gerah, Mas Juno diminta untuk pulang.”

Telpon yang sangat pendek, tanpa basa-basi, isinya memberi perintah.  Yuni, adikku yang   telah berkeluarga memang aku tugaskan untuk  sering ke rumah, melihat kondisi ibu. Sejak ayah meninggal dua tahun yang lalu, kesehatan ibu menurun dan gampang depresi.

Perlu waktu dua hari satu malam untuk sampai di rumah. Suatu kemajuan dalam pembangunan jalan darat dibandingkan ketika aku pulang pertama kali, perlu waktu empat hari tiga malam.

Ibu berbaring lemah di ranjang, badannya kurus, matanya setengah terpejam. Aku pandang wajahnya, aku cium keningnya.

“Ibu…, ini Juno.” Aku berbisik di telinganya. Ibu membuka matanya, memandangku agak lama.

“Juno…ya.” Ibu bangkit dari tidur dan duduk di ranjang, matanya berbinar. Ibu memeluk dan menciumku dengan penuh kerinduan.

 “Juno, ibu sudah kangen nggendong anakmu. Ibu Endang, tetangga sebelah, kepengin besanan sama Ibu. Anaknya cantik, Namanya Putri. Ibu kepengin Juno nikah dengannya.  Putri sering ke rumah, ngirim makanan, kadang membantu ibu masak, bahkan ngerokin ibu kalau ibu masuk angin. Nanti, kamu lama-lama akan cinta sama Putri, witing tresno jalaran soko kulino.”

Besok, kamu melamar Putri.

“Baik Bu…..” aku tidak berani membantah permintaan ibu. Aku sebenarnya juga tahu siapa Putri, ketika aku mulai kuliah di UNDIP, dia masih kelas tiga SMP, usianya ya…., kira-kira sama dengan Dewi. Wajahnya, sedang-sedang saja, tidak secantik Dewi.

Pernikahan dilakukan secara sederhana, hanya dihadiri keluargaku dan keluarga Putri serta tetangga terdekat.

“Juno.., Mbok Iyem ikut ke Batam nanti akan ngajari Putri memasak dan mengurus rumah tangga.” Mbok Iyem itu pembantu  ibu yang setia, sudah puluhan tahun ikut ibu.

Putri  langsung aku boyong ke Batam, bulan madu nanti saja dipikirkan setelah sampai di Batam. Perlu satu minggu untuk mengatur perabotan rumah tangga. Semuanya, aku serahkan pada Putri. Setelah itu, selama tiga bulan, setiap Sabtu dan Minggu, kami berdua bulan madu ke Singapura dan keliling ke berbagai pulau di sekitar Batam. Putri sangat senang sekali setiap ke Singapura, menikwati berbagai wisata yang di tawarkan dan lebih lebih-lebih berbelanja ke berbagai mall.

Seperti kata ibu, Putri  memang istri yang sempurna, pandai melayani  suami. Makanan kesukaanku : bubur ayam, opor ayamnya, jangan (sayur) bronchos, jangan lodeh, gudeg, tahu bacem, tempe goreng, ayam goreng, empal, udang goreng dan krupuk udang selalu bergantian ada di atas meja. Belum lagi  kudapan : pisang kepok kuning goreng, jadah bakar ditemani kopi hitam pahit selalu  dihidangkan pada sore atau malam mari. Malam menjelang tidur, Putri selalu memijatku dengan lembut, penuh kasih. Jamu sehat lelaki dicampur dengan telur kampung selalu disediakan.

“Mas Juno, jamunya sudah diminum? Apakah malam ini  kita akan ke Taman Firdaus?”

Namun, pada awal-awal perkawinan, aku sering berselingkuh tanpa sepengetahuannya. Saat aku mencumbunya, wajah Dewi  selalu muncul di wajahku. Sungguh aku sangat berdosa. Beruntung waktu berputar tanpa mengenal lelah. Kasih Putri yang dicurahkan setiap hari lama-lama  mengusir bayang-bayang Dewi, wajahnya   semakin buram dan akhirnya hilang. Betul kata ibu, witing tresno jalaran soko kulino. ” Cintaku telah tumbuh dan bersemi, aku benar-benar sudah jatuh cinta sama Putri. Bagai  tanaman, benih-benih cinta selalu aku rawat dengan kasih,  aku siram, aku pupuk, aku cabut tumbuhan pengganggunya, apalagi Putri kini  sudah mengandung.

“Mas Juno, Putri sudah mengandung tiga bulan.”

Aku begitu gembiranya, setiap malam, perut Putri selalu aku usap. Kadang-kadang telingaku aku tempelkan diperutnya untuk mendengarkan detak jantung bayi  yang masih setia tidur  di  rahimnya. Meski masih lama, aku dan Putri  sudah mulai merancang apa saja keperluan bayi. Sayangnya waktu tidak mau diajak kompromi mempercapat jalannya, aku ingin segera menggendong bayi yang akan dilahirkan,  laki atau perempuan bagiku sama-sama. Saat hari kelahiran, dari rahim Putri, lahir anak lelaki, kelahiran yang membawa kebahagiaan sekaligus membawa petaka bagiku. Bagai disambar petir disiang hari ketika dokter memberitahu kalau Putri meninggal saat melahirkan. Dokter menerangkan panjang lebar sebab kematiannya, namun aku tidak mengerti apa yang disampaikannya. Pikiranku buntu, takdir telah menentukan jalan hidup Putri.

Hatiku tergoncang cukup lama. Bayi itu, aku beri nama Bayu Prakoso. Aku berharap nantinya menjadi lelaki yang kuat. Sungguh, aku tidak tahu bagaimana membesarkan Bayu. Sempat berpikir untuk aku serahkan kepada  ibu di Weleri, tapi ibu sudah terlalu sepuh, aku tidak tega.  Untuk memberi ASI, atas saran dokter, aku diminta mencari ibu yang sedang menyusui, berbagi ASI dengan Bayu. Beruntung ada yang mau, Ginah namanya. Orangnya gemuk, baru melahirkan juga. Makanan dan minuman sama seperti yang aku makan ditambah susu sapi segar setiap hari. Dari ASI Ginah,  Bayu tumbuh dengan sehat, badannya ideal untuk ukuran anak, tidak terlalu gemuk dan juga tidak terlalu kurus.

Kala malam tiba menjemput, sangat terasa sekali aku kehilangan istri yang aku cintai. Tidak ada lagi cengkerama, makan bersama, jalan-jalan keliling kota, jalan-jalan menuju Taman Firdaus. Sering aku merenung, dua orang yang aku kasihi telah meninggalkanku dengan cara berbeda. Apakah aku tidak boleh mencintai seseorang?

———————

Cukup lama aku bertugas di Batam. Karena prestasiku, aku dipromosikan menjadi salah satu direktur BUMN di Jakarta. Tugas yang lebih berat, pikiran dan tenaga dan aku curahkan sepenuhnya.  Aku lebih sering di kantor, kecanduan bekerja, menjadi workaholic.

Kehilangan Dewi dan Putri membuatku hatiku beku, tidak ada keinginan untuk berumah tangga lagi.  Padahal, dengan usia yang semakin matang dan materi yang berkecukupan, kalau aku mau tinggal memilih wanita yang aku inginkan.

Sementara, Bayu telah tumbuh menjadi laki-laki dewasa gagah yang sudah matang untuk berumah tangga. Dengan latar pendidikan IT dari Amrik, kariernya sangat membanggakan, menjadi  pimpinan perusahaan di bidang IT yang didirikannya.

Aku dan Bayu, meski satu rumah, jarang ketemu.  Masing-masing punya kesibukan sendiri. Malam yang aku harapkan bisa makan bersama itupun jarang terjadi. Kepulang dari kantor tidak bisa ditentukan.

Sebagai orang tua tunggal, tugasku tinggal menunggu Bayu  menikah dengan gadis pilihannya.

“Bayu, kapan ayah bisa berkenalan dengan pacarmu?”

“Minggu depan ayah, sehabis olah raga.”

Minggu pagi nan cerah, aku berjemur dihalaman rumah menikmati hangatnya sang surya sambil baca koran Kompas, Di meja, tersedia kopi pahit panas dan pisang kepok kuning goreng yang disediakan Mbok Iyem. Minuman dan kudapan kesukaanku.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah,  diikuti dengan kemunculan Bayu dan gadis kenalannya.

“Ayah…, ini Desy, Desy Yuniati teman dekat Bayu.”

“Selamat pagi Om…”

Jantungku berhentik berdetak sejenak diikuti detak jantung yang cukup keras, dheg…., dheg…., dheg….. Wajah gadis tersebut mengingatkanku akan seseorang,  apalagi Desy  memakai celana jean, kaos warna putih motif bunga melati, pakai topi baseball cap dan mamakai sepatu kets. Aroma melati   menempel di tubuhnya, persis sama seperti yang di pakai Dewi saat wisata di Candi Gedong Songo. Wajahnya mirip, sangat mirip, ya….., ya….., ya….., wajah Dewi. Wajah yang sudah aku lupakan sejak pernikahanku dengan Putri kini muncul kembali. Detak jantungku semakin keras. Apakah ada hubungan antara Dewi  dengan Desy?

“Desy, sudah lama bekerja dengan Bayu?”

“Sudah satu tahun Om?”

“Tinggal dimana? apakah ayah dan ibu masih ada?”

“Ayah dan ibu sudah lama berpisah Om. Desy  tinggal bersama ibu, di daerah Depok.”

“Kalau boleh tahu siapa nama ibumu.”

“Dewi, Om.”

Dheg… Dheg… Dheg…, kembali jantungku berdebar. Dewi? Apakah Dewi cinta pertamaku.

“Ayo Desy, ini ada pisang goreng, kesukaan Om.  Bayu   ambilkan minuman untuk Desy . Desy mau minum apa?” Aku sengaja mengalihkan pembicaraan sejenak, detak jantungku semakin kencang.

“Air putih saja, Om.”

Perkenalan pertama dengan Desy  membuatkanku bertanya-tanya. Jangan-jangan Desy  itu anaknya Dewi. Mungkinkah?

———————

Hari Minggu berikutnya, Bayu membawaku ke Depok untuk diperkenalkan dengan ibu Desy. Pikiranku di penuhi dengan wajah Dewi. Ketika memasuki perumahan, jantung semakin berdebar-debar. Desy  sudah menunggu di depan rumah.

“Mari Om, masuk.”

Ketika masuk rumah…., aku tertegum melihat ibu Desy yang berdiri tidak terlalu jauh,  berdiri  bagai patung juga memandangku tanpa kedip. Hanya hitungan kurang dari satu detik ibu Desy setengah berlari memelukku.

“Mas Juno!” Kembali, jantungku berdetak dengan cepat. Dheg… Dheg… Dheg…

“Dewi .” Aku dekap Dewi.

Ketika kesadaran Dewi sudah pulih, Dewi  melepaskan pelukannya.

“Mas Juno, ma’af  ya…, tadi  Dewi   secara spontan memeluk Mas Juno. Bayu, ma’afkan tante.”

Bayu   dan Desy  masih bingung dengan kejadian yang tidak terduga, mereka  saling berpandangan, dengan wajah keheranan.

“Bayu dan Desy. Ayah akan cerita singkat hubungan ayah dengan Dewi. Dulu ayah pernah menjalin cinta kasih  dengan Dewi.  Kala itu, ayah dan Dewi   bertemu di kereta api “Bintang Malam”,  Ayah dari Weleri dan Dewi   dari Kaliwungu, sama-sama menuju Semarang. Ayah kuliah di UNDIP dan Dewi   sekolah di SMA 1. Ketika ayah sudah lulus, ayah ditugaskan di Batam. Hubungan dengan Dewi   putus, jarak menjadi penyebabnya. Batam – Kaliwungu sangat jauh. Surat-surat yang tadinya lancar semakin lama semakin jarang dan akhirnya tidak ada lagi. Ketika ayah cari di Kaliwungu, Dewi   sudah pindah entah kemana. Ayah akhirnya menikah dengan ibu Bayu, pilihan Ibu.”

Aku memandang Dewi,  dan sepertinya Dewi tahu apa yang ada di pikiranku.

“Bayu   dan Desy, ketika surat-surat dari Mas Juno   sudah tidak datang lagi, Ayah menerima pinangan dari Kepala Kantor Pos Kaliwungu yang sudah sejak lama naksir ibu. Belakangan Ibu tahu, bahwa ayah Desy  lah yang menyembuyikan surat-surat dari Mas Juno. Ibu merasa dikhianati, ayah Desy  tidak jujur,  Ibu minta cerai.” Air matanya menggenang di matanya.

Bayu   dan Desy  kembali berpandangan. Nampaknya mereka sudah mulai mengerti  hubunganku dengan Dewi .

“Dewi, tadinya aku  ke sini sebenarnya untuk berkenalan dengan ibunya Desy, ternyata aku  sudah mengenalnya. Bulan depan, aku  akan kesini lagi bermaksud melamar Desy untuk Bayu, mereka sudah sepakat untuk hidup bersama menjalin rumah tangga. Demikian pula aku  akan melamar  Dewi   untuk jadi istriku.”

Kembali, Dewi memelukku tidak malu-malu lagi.

”Terima kasih Mas.”

———————

PoV

Tiga bulan kemudian, dilangsungkan acara resepsi pernikahan di gedung yang cukup megah  di Jakarta.  Resepi pernikahan sangat meriah  yang   jarang terjadi, pernikahan dua pasang pengantin :  duda nikah dengan janda, Arjuno   dengan Dewi Lestari dan anaknya duda nikah dengan anaknya  janda,  Bayu   Prakosa dengan  Desy  Yuniati.

Para tamu undangan demikian banyaknya, gedung yang demikian besar tidak mampu menampung undangan,  para kolega dan stafnya Arjuno dan juga para kolega stafnya Bayu. Ucapan selamat memenuhi halaman gedung pernikahan. Koran lokal pun ikut meliputnya dengan judul yang bombantis. “Duda dan Anaknya Kompak Menikahi Janda dan Anaknya.”

———————

“Dewi, kita bulan madu kemana?”

“Kita Ke Candi Gedong Songo, bukankan kita sudah sepakat akan melihat pohon mahoni yang ada gambar hati dan tulisan Juno + Dewi.” Candi Gedong Songo tempat yang selalu mengingatkanku. Di tempat itu lah aku mencium gadis yang aku cintai pertama kali.

Dari Jakarta menuju Semarang naik kereta api. Tadinya kepengin naik  kereta api “Bintang Malam” untuk mengingatkan masa kuliah,  rupanya kereta tersebut sudah masuk museum dan sebagai gantinya aku pilih kereta “Biru Malam”, kereta eksekutif yang berjalan di malam hari. Gerbong tiga dengan tempat duduk 5A dan 5B selalu menjadi pilihanku. Sepanjang perjalanan Dewi menggandeng tanganku, bahkan saat tidur di kereta pun tanganku dipegang dengan eratnya. Sepertinya Dewi takut kehilanganku. Aku dekap dengan penuh kasih.

Candi Gedong Songo semakin indah, bukan hanya candi, tapi juga berbagai taman rekreasi di jumpai. Cottage dengan layanan prima tinggal pilih.

“Mas Juno, lihat gambar hati di pohon mahoni ini, masih jelas dan semakin besar.”

Ya…., gambar hati semakin besar,  seperti hatiku dan hati Dewi. Dewi mengeluarkan kalung berbentuk hati yang ada tulisannya Juno + Dewi, hadiah yang aku berikan ketika ulang tahunnya ke tujuh belas. Dewi ingin menunjukkan bahwa cintanya kepadaku sejak dulu tidak luntur.

Aku pandang wajahnya, kulit wajahnya tidak semulus kala remaja, tapi Dewi tetap  cantik. Aku cium kening, aku cium bibir, aku bisikan. “Dewi…, aku cinta padamu sampai kapanpun.”

Untuk sejenak, Dewi terlena, matanya terpejam sambil berbisik.

“Mas Juno, Dewi juga cinta sampai maut memisahkan kita.”

Waktu satu hari sepertinya berlari dengan cepat.

“Mas Juno  …., kejar Aku..,  Mas Juno  …., cari  Aku.. Mas Juno, Mas Juno, makan bakso ya….. Begitulah Dewi   kalau di Candi Gedong Songo, lupa kalau sudah jadi ibu bahkan tidak berapa lama akan meminang cucu. Jika Tuhan mengizinkan, tahun depan aku akan menjadi ayah dari benih yang aku taburkan ke rahim Dewi dan juga sekaligus menjadi kakek dari perkawinan Bayu Prakoso dengan Desy Yuniati. Semoga Cinta yang tertunda itu tumbuh dengan subur sampai akhir hayat.

Malam yang dingin, bulan tertutup kabut, cahaya beberapa bintang mencoba menerangi cottage yang sinar lampunya hanya tiga watt.

“Mas Juno, Dewi   ingin segera  melahirkan benih dari Mas Juno . Peluk aku…. Mas Juno …., peluk aku yang erat.”

Malam penganten kedua bagi keduanya, malam yang sangat indah. Malam bertemunya jiwa raga ku dengan  jiwa raga Dewi.  

Binatang malam pun ikut bersuka cita.

Krik… krik… krik…

Kung kong –  kung kong – kung kong,

Huuuhk…, huuuhk…, huuuhk…,

CINTA YANG TERTUNDA puluhan tahun itu  pun bersemi.

———————

Kebun Raya Residence BOGOR 15 Juni 2020

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI