
AMTENAR
Waktu masih menunjukkan sekitar jam 05.30. Seperti biasa, Abimanyu sudah berangkat ke kantor dengan ketergesaan. Satu cangkir kopi setengah manis panas selalu diseruputnya untuk memberikan energi. Celana hitam dan baju putih selalu dikenakan. Dasi yang sudah melilit dilehernya dicopotnya, dimasukkan kembali kedalam tas yang dibawanya. Sebelumnya, ia memakainya. Namu, saat naik angkot, dua gadis pelajar SMA yang satu angkot dengannya berbisik-bisik dengan suara yang masih bisa di dengarnya.
“Lihat nggak cowok yang pakai dasi, gagah sich gagah tapi naiknya angkot.”
“Lue naksir ya…”
“Ya… nggak lah. Masa pakai dasi naik angkot .”
Ayahnya begitu bangganya kala melihat Abimayu berangkat ke kantor dengan dasi yang menghiasi baju putihnya. Abimanyu telah menjadi amtenar yang tidak bisa diraih kala ia berkeinginannya. Setiap kali bertemu dengan teman sesama petani di desanya selalu diceritakan akan keberhasilan anaknya.
“Pak Jasman, Abimanyu sudah jadi amtenar.”
Abimanyu malu setiap kali mendengar ayahnya bercerita kepada tetangganya tentang pekerjaannya sebagai amtenar. Ia menyadari bahwa menjadi amtenar tidak segampang yang dipikirkan ayahnya. Apalagi, ia hanya lulusan SPMA. Test yang diselenggarakan oleh pemerintah cukup sulit masih ditambah dengan banyaknya saingan. Formasi lulusan setingkat SMA semakin sedikit. Ia tidak paham kebijakan pemerintah tentang hal ini. Dari informasi yang diperolehnya, lulusan SPMA nantinya diterima hanya sebagai tenaga lapangan. Baginya, tidak menjadi masalah, yang penting diterima. Di tempakan dimana saja ia akan terima.
“Abi, kamu harus jadi amtenar.”
Abimayu diam saja, mau membantah tidak berani. Keinginan ayahnya agar dia menjadi amtenar begitu besarnya. Setiap pembicaraan, selalu berakhir dengan kalimat yang ia tidak senangi.
“Abi, kamu harus jadi amtenar.”
Setiap berangkat ke kantor ia selalu melewati sepetak sawah ayahnya yang sudah tidak terurus. Padi yang seharusnya tumbuh di situ telah berganti dengan rerumputan. Tenaga ayah sudah tidak mampu lagi untuk mengurusnya. Keinginan Abimanyu sebenarnya sangat sederhana, ia ingin mengelola sepetak lahan ayahnya. Namun ayahnya tidak memperbolehkannya.
“Abi, kamu harus jadi amtenar.”
Ia sangat yakin dari lahan yang tidak seberapa luas, apabila dikelola dengan memilih tanaman yang cocok akan memberikan pendapatan yang cukup untuk kehidupannya. Ia sudah punyai angan-angan, lahan yang ada tidak akan ditanami dengan padi lagi, tapi akan dikelola dengan berbagai tanaman hias. Temannya Parjo, sama sama lulusan SPMA kehidupannya sudah mapan dengan hanya menjadi penjual tanaman hias di kota. Dari jualan tanaman hias, kini sudah merambah menjadi desain taman di berbagai perumahan. Bukan hanya melayani perorangan tetapi juga kompleks perumahan yang sedang dibangun. Mobil pickup dan minibus serta rumah lumayan mewah sudah dimiliki. Seandainya ia jadi pemasok tanaman hias kepada temannya, ia yakin dapat hidup berkecukupan. Ia sudah bosan dengan seragam hitam putih dengan dasi yang semakin menjerat lehernya.
“Abi, kamu kan punya lahan yang lumayan luas, bisa diusahakan dengan berbagai tanaman hias. Nanti hasilnya aku yang tampung.” Kata Parjo.
Seperti biasa, ia berangkat ke kantor dengan keterpaksaan. Berjalan sampai gang depan, dilanjutkan dengan naik angkot atau bis kota. Itu pun harus pindah satu kali untuk mencapai kantor. Baju yang dipakainya basah dari keringat yang membasahinya. Itu kalau musim kemarau. Lain lagi kalau musim hujan, baju yang dikenakan pasti basah meski tidak seluruhnya. Pekerjaan yang menjengkelkan. Pagi berangkat dan sore atau malahan setelah maghrib baru sampai rumah.
“Abi, bagaimana pekerjaanmu?”
“Baik Ayah.”
Hanya itu jawaban satu-satunya. Ia tidak berani melanjutkan pembicaraan, takut kalau pembicarannya akan melebar kemana-mana.
“Abi, kamu kan sudah bekerja 7 tahun sebagai amtenar, bagaimana kalau Ayah nikahkan dengan Endang, anaknya Pak Jayus. Bagaimana pendapatmu?”
“Ayah, Abi belum berminat untuk berumahtangga.”
“Tunggu apa lagi, usia sudah cukup, lagi pula kamu sudah menjadi amtenar.”
Ayah itu ada-ada saja. Gajinya saja masih kurang untuk keperluan sendiri, kok malah disuruh nikah. Setiap mendengar kata amtenar dari ayahnya, telinganya terasa sakit. Ia sangat khawatir rasa sakit itu akan merembet ke otaknya. Ia selalu menghidar dari ayahnya, takut mendengar kata amtenar. Kini, selain kata amtenar tambah satu kata lagi yang membuat telinganya sakit, nikah.
Ia sudah tahu tentang Endang yang tinggal satu kampung dengannya. Dia adik kelas di SMP, beda 2 tahun. Namun, setelah itu pisah sekolah. Ia melanjutkan ke SPMA, sementara Endang melanjutkan ke SMEA. Anaknya tergolong cantik untuk ukuran desa.
Sudah 7 tahun Abimanyu memakai seragam hitam putih disertai dasi yang melilit di leharnya. Kahidupannya tidak mengalami perubahan, pendapatannya juga tidak seberapa digeroti dengan biaya transportasi dan kenaikan berbagai harga barang pokok.
Dipandanginya sepatu satu-satunya yang telah setia selama 6 bulan melindungi kakinya dari teriknya panas jalan yang dilalui dan juga melindungi kala hujan turun. Biasanya ia mengganti sepatu setelah berumur 3 bulan. Kini garis-garis sobekan kulit semakin jelas. Tumpukan semir yang selalu digosokan seminggu sekali tidak mampu menyembunyikan kerutan-kerutan yang ada. Sudah beberapa kali berkeinginan untuk membeli sepatu baru, namun keinginannya selalu batal ada keperluan yang lebih penting. Akhirnya ia mengambil solusi dengan membeli sepatu di pasar loak. Pada awalnya ia merasa terhina membeli barang bekas, namun pada akhirnya, ia menyerah kepada keadaan. Bukan hanya sepatu, tetapi juga celana, baju, tas dan berbagai keperluan lainnya. Pasar loak sudah menjadi langganannya. Penjualnya sampai hafal dengannya.
“Mas Abi, ada sepatu masih cukup bagus, murah lagi.”
Lain tempat
“Mas Abi tinggal pilih celana atau baju yang baru datang dari Singapura.”
Setiap kali akan terus terang kepada ayahnya tentang amtenar, selalu saja tidak ada keberanian. Ia takut ayahnya akan kecewa yang akan mengakibatkan sakitnya bertambah parah. Kini kesehatan ayah semakin menurun, sering sakit-sakitan sejak ibu meninggal 2 tahun yang lalu. Ditambah faktor usia dan juga asupan makanan yang kurang teratur atau malahan kurang asupan gizi. Aku yang seharusnya memperkaya ragam gizi, ternyata pendapatanku untuk diriku sendiri saja masih kurang mencukupi.
“Abi, ayah semakin tua, sebelum meninggal, ayah ikut menggendong cucu darimu.”
“Abi, Pak Jayus menunggu jawabanmu. Endang sangat mengharapkan kamu jadi suaminya.”
Apakah Endang sudah mengetahui apa pekerjaanku yang sebenarnya? Amtenar? Mungkin aku lebih baik berterus terang kepada Endang daripada kepada ayahku.
“Endang, apakah kamu sudah mengetahui apa pekerjaan Mas Abi?”
“Mas Abi, Endang tidak peduli apa pekerjaan Mas Abi. Umur Endang sudah lebih dari 23 tahun. Sekarang saja sudah menjadi bahan gunjingan perempuan di desa sini. Teman teman Endang usia 15 tahun sudah kawin, mereka paling tidak sudah punya anak dua. Endang tidak mau jadi perawan tua, lebih baik jadi janda.”
“Endang darimana Mas Abi membiayai keluarga yang akan kita bangun?”
“Mas Abi, kalau rezeki sudah ada yang mengatur.” Kata Endang sambil menunjuk tangannya ke atas.
Hari itu, Abimanyu berangkat seperti biasa, seperti yang dilakukan selama 7 tahun. Yang sedikit membedakan ia mengenakan sepatu, celana, baju yang serba baru. Toko loak telah memberikan kebahagian semu kepadanya. Dipandanginya sebidang lahan yang telah ditumbuhi rerumputan dengan tatapan kosong. Ayahnya lebih bahagia lahannya ditumbuhi rerumputan ketimbang diserahkan kepadanya. Tawaran ayahnya untuk segera menikah dengan Endang tidak ditanggapinya. Juga tanggapan Endang yang tidak mempersoalkan pekerjaannya.
Kala ayahnya meninggal, ia tidak tahu apakah ia bahagia atau sedih. Namun ia yakin telah membahagiakan ayahnya selama 7 tahun. Meski selama itu pula, ia tidak pernah tersentum. Kini senyuman yang pernah hilang telah kembali. Senyum itu pernah menawan beberapa gadis kala sekolah di SPMA.
“Denok, lihat itu senyuman Abimanyu. Gagah kan?”
“Kamu naksis ya….?”
Memang Abimanyu cukup ngganteng, beberapa gadis tertarik akan kenggantengannya. Namun ia menyadari akan kehidupannya yang serba terbatas. Ia lebih memilih belajar dan menjauhi para gadis.
Dilihatnya dasi – dasi yang pernah menghiasi lehernya. Demikian pula tumpukan sepatu bekas yang telah melindungi kakinya selama menjadi amtenar. Keduanya, dasi-dasi dan tumpukan sepatu, dibuangnya. Plong. Ia merasa bebas.
Duduk berdua dengan Endang ditepi hamparan lahan yang tidak terlalu luas. Lebih dari 10 tahun ia menantikannya. Kini lahan itu sudah menjadi miliknya sepenuhnya.
Perjalanan hidup yang lumayan panjang sebagai amtenar. Bagi ayahnya, amtenar adalah dasi yang melilit di lehernya. Bagi dirinya, amtenar adalah berjalan dari toko ke toko menawarkan produk dari perusahaan tempat ia bekerja, sementara bagi Endang, amtenar tidak ada artinya.
“Endang, masa depan kita ada di sebidang lahan yang tidak terlalu luas ini.”
“Iya Mas. Bagi Endang, Mas Abi masa depan Endang. Kapan Mas Abi melamar Endang? Ayah selalu menunggunya.”
“Ya…, ya…., besok Mas Abi ke rumah Endang untuk melamarnya.”
Digenggamnya tangannya, ditatapnya wajahnya. Alangkah cantiknya.
Dpandanginya hamparan lahan yang tidak terlalu luas, senyum yang pernah hilang selama 10 tahun kembali ditebarkan.
“Endang lahan ini masa depan kita berdua. Apakah Endang siap.”
“Mas Abi, Endang selalu siap berdua dengan Mas Abi.”
Endang pun tidur dipelukan Abimanyu.
—————————