
MALING BEDA KELAS
“Ayah, nanti Tini belikan baju baru ya…..”
“Iya nanti Ayah belikan. Belajar yang rajin ya supaya pintar.”
Ya…, sebentar lagi hari raya, hari yang dinantikan anak-anak. Bagi anak-anak hari raya sama dengan baju baru. Tini anak satu-satunya yang duduk di kelas 1 SD selalu minta baju baru kala hari raya menjemput. Baginya bukan hanya memikirkan baju Tini, tetapi ia juga baju untuk istrinya, Gina. Ia menyadari istrinya telah banyak berkorban. Perhiasan yang dulu menempel di tubuhnya sudah tidak ada lagi. Gelang, kalung, anting dan entah apa lagi telah dijual untuk keperluan hidupnya. Kini, untuk makan sehari-hari Gina sering ngutang ke tetangga atau tukang sayur. Ia merasa sangat berdosa tidak mampu memberikan kehidupan yang layak kepada kedua orang yang dicintainya.
Gina anaknya Haji Komar, orang terpandang di desanya. Seorang amtenar yang bekerja di salah satu kantor yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan. Berangkat ke kantor selalu memakai baju dinas lengkap dengan berbagai atributnya. Kendaraan roda empat berkelas mengantarkannya ke kantor dan tempat-tempat lainnya yang diinginkan.
“Gina apa yang kamu harapkan dari Juno, pemuda pengangguran.”
Gina memang pernah cerita kepadanya kalau ayahnya kurang suka kepadanya karena tidak mempunyai pekerjaan tetap.
“Mas Juno, ayah hanya menghendaki menantunya mempunyai pekerjaan tetap.”
Bersama Bowo teman satu desa, ia melamar sebagai satpam suatu kompleks pertokoan. Berkat badanya yang tegap dan ilmu bela diri yang dimiliki ia diterimanya. Bowo pun juga di terima. Sejak itu, mereka menjadi sahabat karib.
Ia sebenarnya heran, Gina yang merupakan kembang desa, lebih memilihnya. Ia merasa tidak ada yang istimewa. Wajahnya biasa-biasa saja, apalagi soal materi. Banyak pemuda desa yang cukup gagah dengan pekerjaan yang layak, ditolaknya.
Pernah ia tanyakan kepada Hasan, ustads muda yang ilmu agamanya jauh lebih tinggi darinya.
“Hasan, aku heran kenapa Gina memilihku ketimbang pemuda lainnya yang jauh lebih mapan.”
“Juno, tidak usah dipikir panjang lebar. Jodoh, rezeki dan kematian itu sudah ditentukan oleh Allah Swt.”
“Kamu wajib mensyukurinya.”
Sebagai kepala keluarga, ia sangat malu penghasilannya tidak cukup untuk hidup selama satu bulan. Padahal, ia juga menjadi satpam di salah satu komplek perumah mewah. Waktu luangnya pun digunakan untuk mencari tambahan sebagai pengendara ojeg pangkalan. Meski demikian, pendapatannya tetap saja masih kurang.
Ia heran melihat kehidupan Bowo jauh lebih baik. Jam bermerk menempel di tangannya, kalung emas di lehernya, HP kelas atas di genggamannya dan atribut lainnya yang menunjukkan kekayaannya. Pernah ia melihat Bowo jalan-jalan bersama anak dan istrinya di suatu mall yang cukup terkenal. Pakaian dan perhiasan yang dikenakan istrinya menunjukkan ia seperti bukan istri satpam.
Sebagai sahabat, Bowo sangat baik kepadanya. Jika ia mengalami kesulitan keuangan, sahabatnya itu satu-satu solusi.
“Bowo aku pinjam uangnya.”
“Berapa?’
“Satu juta saja untuk beli baju baru anak dan istriku.”
Lain waktu.
“Bowo, aku belum punya uang untuk membayar utangku.”
“Juno nggak usah dipikir. Kita kan sahabat. Kalau kamu mengalami kesusahan aku juga turut prihatin.”
“Terima kasih Bowo.”
“Bowo, kehidupanmu kelihatannya sangat menyenangkan.”
“Ya…., begitulah.”
“Apa rahasianya, bukankah kita sama-sama satpam dengan penghasilan yang sama pula.”
“Betul pekerjaan kita sama sebagai satpam, tapi rezeki kita berbeda.”
“Lha ya .. itu yang ingin aku belajar darimu.”
“Sebaiknya jangan.”
“Kenapa?”
“Juno, kamu tahu kan yang disebut nyandu?”
Ia mengangguk.
“Ya…, itu yang aku alami. Aku sudah terlanjur nyandu. Aku telah terjebak dalam suatu pekerjaan yang aku tidak memungkinkan berbalik. Kalau boleh memilih aku ingin seperti kamu saja, meski dengan segala kekurangan.”
“Aku kurang paham.”
“Baik sebagai sahabat aku akan cerita. Tapi cerita ini tidak boleh keluar, hanya kita berdua saja, setuju?”
Ia pun mengangguk.
“Baiklah. Juno aku tidak sebaik yang kamu duga. Aku terjebak dalam suatu permainan bersama teman-temanku. Singkatnya aku menjadi salah satu geng pencuri.”
Ia memandang sahabatnya agak lama. Antara percaya dan tidak.
“Juno, kamu sudah lihat jam yang aku pakai, HP yang aku miliki dan kemewahan lainnya. Demikian pula kamu telah melihat bagaimana pakaian dan perhiasan yang dipakai istriku yang sebenarnya tidak mungkin ia miliki sebagai istri satpam. Semuanya, aku peroleh dengan cara mencuri bersama geng teman-temanku.
“Juno, aku merasa suatu saat geng pencuri akan tertangkap polisi. Ketangkap satu yang lain pasti akan tertangkap juga.”
“Bukankah sepandai-pandainya tupai melompat sekali jatuh juga?” katanya menambahkan.
“Apakah istrimu mengetahuinya?”
“Tidak. Aku tidak tega menceritakannya. Aku tidak ingin jika terjadi sesuatu terhadapku istriku terbawa-bawa. “
“Juno kamu tahu, saat membahagiakan bagiku kala aku melihat istriku dan anakku memakai baju bagus. Mata mereka berbinar, mereka memamerkan kepadaku. Rasanya kebahagiaan sesaat itu tidak bisa dibeli dengan uang, meski aku menyadari kebahagiaan itu suatu saat akan berakhir. “
“Juno, aku tidak berharap tertangkap polisi, tapi seandainya terjadi, aku minta bantuanmu. Sejumlah uang dan perhiasan yang aku simpan, pada saatnya nanti aku titipkan kepadamu.”
Cerita sahabatnya menjadi pikirannya, mencuri ya…mencuri, meski ada resiko tertangkap oleh polisi. Namun jika dilakukan secara hati-hati dan penuh perhitungan tentu akan selamat. Lagi pula pencuriannya hanya akan dilakukan pada waktu – waktu tertentu saja. Bisikan setan itu marasuk dalam pikirannya.
“Juno, mana tanggungjawabmu sebagai kepala keluarga? Membelikan baju anaknya saja tidak bisa? Apalagi membelikan perhiasan untuk istrimu.” Suara itu berulang-ulang masuk ke telinganya.
Ia mulai menyusun suatu skenario. Tahap awal akan mencuri yang gampang dengan resiko yang paling kecil, mencuri HP. Ya…, mencuri HP, cara gampang untuk memperoleh uang. Sebelumnya ia melakukan survei harga HP seken di pasar loak. Harganya bervariasi antara Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu, sementara di toko yang menjual HP seken harganya lebih mahal antara Rp 500 ribu sampai Rp. 1500 ribu. Dengan mencuri dua HP, dapat dibelikan 2 pasang pakaian untuk Tini dan satu pasang untuk Gina .
“Tini, ayah belikan baju baru, dicoba dulu ya….”
“Terima kasih ayah.”
Tini mengambil baju dan segera berlari ke kamar.
“Lihat ayah, baju barunya bagus.”
“Gina , Mas Juno dapat rezeki sedikit langsung beli baju untuk Gina .”
“Terima Mas, terus Mas Juno sudah beli juga?”
“Baju Mas Juno sementara cukup.”
Air matanya menggenang melihat kegembiraan anak dan istrinya, ia merasakan kebahagian sesaat sebagai seorang ayah yang mampu membelikan baju baru. Sudah tiga kali hari raya, ia melakukan pencurian kecil hanya sekedar untuk membelikan baju baru anaknya dan istri.
“Ya… Allah, ma’afkan aku, telah melakukan pencurian untuk membelikan baju baru anak dan istriku. Aku ingin membahagiakan mereka. Aku tahu itu salah. Ya.. Allah aku bertobat.”
Menjelang hari raya, bisikan setan selalu memenangkan pertempuran dalam hatinya. Ia lupa akan tobatnya. Dengan mempelajari berbagai modus pencurian melalui berbagai video dan film ia ingin meningkatkan status pencuriannya dengan mencuri di rumah-rumah berkelas yang tidak ada penghuninya. Sudah dua kali ia berhasil. Ia pun istirahat untuk tidak mencuri selagi uangnya cukup.
——————-
Untuk menyakinkan rumah kosong yang diincarnya, survei beberapa kali selalu dilakukan. Tandanya, lampu di depan rumah selalu menyala, pagar selalu tertutup. Ia juga mencari informasi mengenai pemilik rumah dan informasi lain yang diperlukan.
Malam itu, malam Selasa Kliwon yang dipercayanya sebagai malam yang aman untuk melakukan pencurian. Target sudah ditetapkan, rumah dua tingkat yang menurut masyarakat disekitarnya dihuni orang kaya yang tinggal sendiri. Berbagai perlengkapan sudah dipersiapan dalam sebuah ransel.
Ia sangat kaget ketika dapat masuk rumah melalui jendela, telah ditunggu pemilik rumah dengan menodongkan pistol.
“Hai maling, aku nggak mau ribut-ribut. Lepaskan ransel dan senjata yang kamu bawa, taruh di ujung sana.”
“Duduk baik-baik. Sekali lagi aku tidak mau ada keributan di rumah ini. Kompleks ini telah dilengkapi dengan alarm. Kalau tombol di bawah meja ini aku tekan, dalam waktu sekejap rumah ini akan dikepung oleh satpam.”
“Kamu saya anggap sebagai tamu malam yang tidak diundang. Jika kamu mencurigakan pistol ini siap meledakkan kepalamu. Paham?”
Ia hanya diam dan menundukan kepalanya.
“Kita ngobrol baik baik saja.”
“Coba ceritakan siapa namamu, kenapa kamu melakukan pencurian.”
“Nama saya Juno. Saya sudah berkeluarga dengan anak satu. Saya sebenarnya satpam disalah satu kompleks pertokoan dan kompleks perumahan. Saya juga mengkais rezeki dari ojeg pangkalan. Meski demikian panghasilan tersebut tetap saja kurang. Saat hari raya, anak saya selalu minta baju baru. Saya tak kuasa menolaknya. Saya tahu baju yang diminta juga tidak mahal, yang penting baru. Juga kalau melihat istri saya, saya merasa berdosa, perhiasan yang pernah menghiasi tibuhnya telah habis untuk kebutuhan sehari-hari.”
Ia berhenti sejenak.
“Saya sangat terpengaruh teman saya, Bowo namanya. Sama-sama sebagai satpam tetapi kehidupannya cukup mapan. Ternyata Bowo cerita kalau kemewahannya diperoleh dari hasil mencuri bersama gengnya.”
“Tadinya saja menjambret HP dari wanita yang sendirian. Saya jual di pasar loak dengan harga yang tidak seberapa kemudian saya belikan baju baru di Tanah Abang.”
“Saat saya melihat anak saya mencoba baju baru dan memamerkan kepada saya dengan mata berbinar, rasanya saya kebahagiaan sekali. Saat itulah saya merasakan sebagai ayah. Saya paham kebagiaan itu hanya sesaat.”
“Saya tahu bahwa pekerjaan saya itu berdosa. Sehabis menjambret segera saya minta ampun kepada Tuhan untuk tidak mengulang lagi. Tapi bisikan setan selalu mengalahkan hati saya. Dari menjambret saya beralih mencuri di rumah kosong. Hasilnya tentu jauh lebih banyak. Paling tidak selama satu tahun saya tidak menjambret.”
“Sebelum mencuri, saya pelajari primbon Jawa, saya menyakini malam Selasa Kliwon atau Jum’at Kliwon saat yang tepat untuk melancarkan aksinya. Juga, saya selalu memanjatkan doa sebelum melakukan aksinya.”
“Ya… Tuhan, mudahkanlah saya dalam melaksanakan pencurian, lindungilah, jangan sampai saya tertangkap, sebesar 2.5 % dari hasil yang saya peroleh akan saya sumbangkan kepada masjid atau yayasan yatim.”
“Baru kali ini saya tertangkap setelah beberapa kali melakukan pencurian. Saya pasrah, terserah Bapak, saya mau diapakan.”
“Terus hasil pencurianmu dikemanakan?”
“Semua saya simpan untuk berjaga-jaga jika suatu saat ketangkap.”
“Banyak?”
“Tidak juga. Hanya beberapa juta.”
“Oh…ya. Panggil saya Pak Darma.”
————-
PoV
Pak Darma menerawang perjalanan hidupnya yang dipenuhi dengan kekelaman. Kariernya di ASN sangat moncer. Sebagai ASN yang sudah puluhan tahun bekerja di pemerintahan, dia tahu persis bagaimana suatu karier dibangun. Bukan kepandaian dan juga bukan kejujuran, tetapi harus pandai melayani atasan dan istrinya.
Sejak menjadi ASN, ia sudah dipercaya menjadi pemimpin proyek. Kepercayaan pimpinan kepadanya semakin besar kala proyek-proyek yang dikerjakan berjalan dengan baik, secara fisik maupun administrasinya.
“Darma, apakah proyek sudah selesai?”
“Sudah Pak, nanti malam saya ke rumah Bapak.”
Ia sudah paham makna pertanyaan pimpinannya. Malamnya, Ia ke rumahnya dengan membawa satu koper uang warna merah.
“Terima kasih Darma, tahun depan kamu pegang proyek yang lebih besar lagi.”
“Siap Pak.”
Sebenarnya mengelola proyek tidak terlalu sulit, semuanya sudah ada aturan. Ia sangat senang kala dipercaya sebagai pejabat pemberi izin. Proses perizinan ia yang mengatur semuanya, mulai dari surat permohonan, proposal dan persyaratan lainnya melalui jasa konsultan perizinan miliknya. Proses perizinannya cepat keluar.
“Pak izinnya sudah keluar.” Katanya kepada pemohon izin.
Di ruang VVIP restoran hotel bintang lima yang terkenal, ia menyerahkan surat izin kepada pengusaha yang bersangkutan dan sekaligus menerima selembar check dengan nominal nol sepuluh.
“Terima kasih Pak Juno atas pelayanan primanya.”
Malamnya, seperti biasa ia menghadap atasannya dengan membawa satu koper uang warna merah seperti yang sudah biasa dilakukannya.
“Darma, ini aman.”
“Aman Pak.”
“Apakah anak buah sudah dapat bagian?”
“Sudah Pak.”
Tentu, uang bagiannya yang jauh lebih besar. Esoknya, ia ke Singapura untuk menyimpan uanganya. Sebagian, dikonversi menjadi batangan emas. Ia tahu bahwa uang yang diterimanya bisa dilacak bila disimpan di salah satu bank di Indonesia.
Selain menjabat sebagai pemberi izin dan jasa konsultan, ia pun mempunyai berbagai perusahaan : pertambangan, perkebunan, pertanian, peternakan dan juga perikanan. Bukan itu saja, ia pun memiliki berbagai saham perusahaan yang memberikan kepastian keuntungan. Uangnya mengalir cukup deras bagai aliran sungai.
Sayang, kehidupan keluarganya berbanding terbalik dengan kekayaan yang dimilikinya. Ia sudah lama bercerai dengan istrinya kala istrinya mengetahui ia selingkuh dengan beberapa wanita. Memang dengan wajah yang cukup tampan ditambah dengan uang yang tidak terbatas tidak sulit mendapatkan wanita yang diinginkan. Sementara, kedua anaknya lebih nyaman berada di luar negeri. Ya…., itulah masa kelamnya.
————-
Kini kehidupannya berubah 180 derajat. Berbagai proyek pembangunan di desa ia bantu sepenuhnya. Bukan hanya itu, setiap permintaan sumbangan dari masyarakat selalu diberikan, apakah sumbangan masjid, perbaikan kantor desa, perbaikan jalan, untuk ormas dan berbagai sumbangan lainnya. Karena kedermawanannya, oleh kepala desa ia diangkat sebagai warga kehormatan. Setiap ada acara di desa, ia selalu duduk di kursi paling depan bersama dengan tamu undangan termormat lainnya.
————-
“Baiklah Juno, kini sudah malam, kamu tidur di kamar belakang. Jika malam ini kamu pulang pasti dicurigai dan ditangkap satpam. “
Esoknya, Pak Darma mengajaknya sarapan bersama.
“Juno, bagaimana dengan temanmu Bowo?”
“Bowo tertangkap polisi dan sudah mendekam di penjara. Hampir setiap bulan saya ke istrinya untuk menyampaikan titipan dari Bowo.”
“Juno, nanti kamu pulang diantar oleh sopir saya. Bawa koper ini untuk anak dan istri kamu. Berhentilah menjadi pencuri.”
Ia hampir pingsan ketika membuka koper yang berisi uang warna merah memenuhi kopernya. Dipandanginya, antara percaya dan tidak. Dicubitnya tangannya dengan keras. Sakit. Jadi bukan fatamorgana.
Alangkah baiknya Pak Darma. Jangan-jangan Pak Darma itu bukan manusia tetapi malaikat yang menyamar sebagai manusia.
“Ya Allah…, terima kasih atas rezeki yang Engkau berikan kepadaku melalui Pak Darma. Kiranya Engkau memberikan pahala kepadanya.”
————-
PoV
Kedua orang tersebut profesinya sama sebagai MALING, hanya beda kelas, yang satu maling kelas teri dengan hasil pas-pasan, yang satunya maling kelas kakap dengan hasil yang luar biasa besarnya. Mereka juga PAHLAWAN, yang satu pahlawan keluarga, yang satu pahlawan masyarakat desa. Mereka juga selalu didoakan, yang satu oleh anak dan istri dan yang satu oleh masyarakat desa. Entah mana yang lebih berat timbangannya sebagai MALING atau sebagai PAHLAWAN.
————-
Kebun Raya Residence, Ciomas BOGOR , 09 Maret 2024
Ilustrasi gambar oleh<a href=”https://www.freepik.com/free-vector/hand-drawn-flat-anti-corruption-day-illustration_20549812.htm”>Freepik</a>