
KUPU KUPU PEMBAWA FIRASAT
“Mas Juno, binatang apa yang paling disukainya?” tanya Putri.
“Apa, yaa….?” belum sempat aku menjawabnya.
“Kupu-kupu!” sambil mengejar kupu-kupu yang terbang mencari bunga.
Kupu-kupu, makhluk kecil, dengan sayap warna-warni, suka terbang dan hinggap di bunga yang berwarna-warni pula. Keindahan sayapnya sangat dikagumi orang, terutama para gadis dan juga anak-anak.
Putri, sebenarnya adalah keponakanku. Anak dari Mbak Dewi, kakakku yang kedua. Tetapi karena sejak kecil mengikuti ibu, dia memanggilku Mas Juno. Ibu sangat memanjakannya, melebihi anaknya sendiri. Saat ini ia kelas lima SD.
“Mas Juno, tahu nggak, asal muasal kupu-kupu?”
“Nggak, nggak tahu.”
“Mas Juno, itu payah. Apa-apa nggak tahu! “
“Dahulu kala, tidak ada kupu-kupu. Yang ada hanya ulat. Tubuhnya berwarna gelap, bulunya beracun, jalannya merayap, suka makan daun dan buah. Banyak musuhnya, bukan saja sesama binatang tetapi lebih-lebih manusia.”
Putri diam sebentar, sepertinya sedang mengingat-ingat kelanjutannya.
“Maka ulat berdoa. Yaaa…, Tuhan, jadikanlah kami menjadi makhluk yang berguna dan disenangi manusia. Kami rela menderita dan juga rela umurnya dikurangi.“ Tuhan mengabulkan permintaannya. Dijadikanlah ulat menjadi kupu-kupu dalam kehidupan selanjutnya. Namun, penderitaan cukup panjang yang harus dialaminya, sebagai kepompong.” Ceritanya.
“Dari mana cerita itu.”
“Pak Guru.”
Memang anak SD perlu diberikan cerita- cerita yang dapat memberikan imajinasi, tidak melulu pelajaran saja yang dijejalkannya. Nanti pada waktunya, mereka akan tahu bahwa cerita Pak Guru itu hanya sekedar dongengan.
——————-
Sejak ayahku meninggal lima tahun yang lalu, ibu kesepian sendirian. Aku sebagai driver ojek online jarang dirumah. Sementara kedua kakakku, Mas Pandu dan Mbak Dewi sudah berumah tangga dan memilih Jakarta sebagai lapangan kehidupannya.
“Dewi, anakmu kan tiga, yang kecil biar menemani Ibu.”
Tadinya, Mbak Dewi keberatan, tapi karena tidak tega terhadap kesendirian ibu, akhirnya, Putri, anak terkecil diberikannya. Lagi pula, ibu di rumah sebenarnya tidak sendirian, masih ada aku. Mungkin itu juga salah satu pertimbangannya. Putri ada yang menamaninya.
Kakakku membelikan rumah Tipe 36 di Kendal. Kata orang, tipe 36 termasuk RSS, rumah sesak sekali. Lingkungannya tertata rapi. Beli rumah di kompleks itu beli lingkungan. Dengan uang yang jumlahnya sama dapat dibelikan rumah yang jauh lebih besar di pedesaan.
Di depan rumah ada sebidang lahan, ukuran sekitar 300 m2 yang tidak dimanfaatkan pemiliknya. Atas izin Pak RT, tanah tersebut aku jadikan kebun, separuh untuk sayuran dan separuhnya lagi untuk tanaman bunga. Tanaman sayurannya untuk kebutuhan dapur. Lumayan. Kalau ibu masak, sebagian sayur dapat dipenuhi dari kebun. Apalagi kalau pas panen “besar” sayuran dibagikan kepada tetangga. Kantong plastik kecil sudah disiapkan, berisi satu ikat kangkung, satu ikat sawi, lima cabe, dua buah terong ungu dan lima tomat. Ibu keliling ke tetangga, yang jumlahnya hanya tiga belas rumah. Masing-masing diberi satu plastik.
Aku lihat ibu begitu gembira. Itu tanda bahwa ibu sehat. Sudah agak lama ibu menderita beberapa penyakit : diabetes, asam urat dan jantung. Nasehat dokter selain menjaga pola makan sehat, pola hidup sehat juga suasana hatinya.
“Dik, Ibu tidak boleh terlalu sedih dan juga tidak boleh terlalu gembira,” kata dokter sewaktu aku mengantar ibu check kesehatan.
Sementara, tanaman bunga-bungaan, hanya untuk dilihat keindahan bunganya dan untuk mendatangkan kupu-kupu yang senang akan madu yang terdapat di dalamnya.
“Juno, ada dua pasang kupu-kupu. Hitam dan coklat. Tanaman berbunganya ditambah lagi, yaa.”
Duduk berjemur menikmati hangatnya mentari pagi sambil melihat kupu-kupu berterbangan di antara bunga bunga merupakan kesenangan ibu. Begitu damaiannya. Memang ada dua pasang kupu-kupu. Satu pasang sayapnya berwarna hitam dengan dua lingkaran di sayapnya yang menyerupai mata dan satu pasang lagi berwarna coklat dengan garis-garis hitam.
“Baik Buu.”
Permintaan ibu segera aku penuhi. Beberapa tanaman berbunga : putri malu, pukul sembilan, pukul empat, kembang sepatu, lantana dan mawar, menambah koleksi kebunku.
Minggu itu, aku dan Putri, sepagian sudah berada di kebun : menyiram, membersihan gulma, memupuk, mendangir, menambah tanaman bunga.
“Mas, lihat kupu-kupunya. Ada tiga pasang. Satu pasang, warnanya hitam, hinggap di bunga mawar, satu pasang, warnanya kekuningan, di bunga matahari dan satu pasang, warnanya kebiruan, di bunga nusa indah.”
“Mana?”
“Itu!” adikku mununjuk pada ketiga bunga : mawar, matahari dan nusa indah.
“Mana, yaa?”
“Ituu!”
“Ooh, yaa, yaa, tiga pasang kupu-kupu,” aku sebenarnya tidak melihatnya. Aku hanya tidak mau mengecewakan adikku yang demikian semangat dan yakinnya melihat tiga pasang kupu-kupu. Rasanya aku masih normal. Buktinya ketika ibu melihat dua pasang kupu-kupu, aku juga melihat hal yang sama.
“Mas Juno, kalau adik lihat kupu-kupu, pasti ada tamu yang akan datang.”
“Ooh, yaa. Siapa yang akan datang?”
“Yaa, nggak tahu. Mungkin Ibu, tunggu sampai besok.”
Ada-ada saja adikku. Tidak ada kupu-kupu bilanganya melihat. Memang ada mitos di daerahku, kalau ada kupu-kupu masuk rumah, maka esoknya akan kedatangan tamu.
Esoknya, sore hari ketika sedang bersama teman-teman seprofesi di pangkalan ojek.
“Bliiing.” Satu pesan WA masuk dari Mas Pandu.
“Juno, Mas Pandu akan ke rumah. Jemput yaa di terminal.”
“Wooow.” Adikku benar. Kakakku, Mas Pandu datang. Bergegas aku menjemputnya. Tumben. Biasanya hanya hari raya saja datangnya. Mungkin ada urusan yang begitu penting di Kendal yang tidak bisa diwakilkan.
Mas Pandu mencium tangan ibu. Mata ibu basah. Diciumnya kepala Mas Pandu.
“Kenapa nggak bilang-bilang. Ibu belum masak.”
“Nggak usah repot-repot Buu.”
Sudah menjadi kebiasaan ibu jika anaknya datang pasti masak sayur brongkos. Masakan andalannya. “Seeng ada lawaan,” kata orang Ambon. Nikmatnya masakan tersebut belum ada yang mewarisinya. Tadinya ibu berharap mbak Dewi. Ternyata, mbak Dewi tidak terlalu berbakat dalam hal masak memasak.
Selang tiga bulan, kejadian serupa berulang. Kala itu hari Sabtu.
“Mas, lihat, ada lima pasang kupu-kupu. Satu pasang, hinggap di bunga mawar, satu pasang di bunga matahari, satu pasang di bunga pukul sembilan, satu pasang di bunga kembang sepatu dan satu pasang di bunga nusa indah.”
“Mana?”
“Itu!” adikku mununjuk pada kelima bunga.
“Ooh, yaa, yaa, lima pasang kupu-kupu.” Kembali, aku mengiyakan yang sebenarnya aku tidak melihat. Siapa yang datang, yaa? Apakah Mbak Dewi atau Mas Pandu lagi?
Esoknya, hari Minggu, para tetangga berdatangan. Ada sebelas ibu-ibu. Mereka memang diundang ibu untuk panen sayuran. Mereka mengambil sayurannya sendiri-sendiri. Ibu hanya menyediakan kantong platik yang tidak seberapa besar.
“Waah sayurnya banyak dan segar-segar, bunganya indah-indah,” kata tetangga.
“Asyiik yaa, kalau tiap minggu bisa panen.”
Ramai, kalau ibu-ibu kumpul. Banyak cerita : sembako, arisan, keamanan dan masih banyak lagi. Memang panennya tidak seberapa, kalau beli di tukang sayur mungkin tidak lebih dari lima ribu, tapi kebersamaan dalam satu RT itulah yang penting.
Seharian mbak Dewi di tunggu tidak datang. Hari berikutnya juga tidak datang.
“Mana Putri, kok nggak ada tamu, Ibu kok nggak datang.”
“Tamunya lhaa itu, para tetangga kita. Banyak kan!”
Yaa, betul juga. Aku tidak bisa mendebatnya. Tamu kan tidak harus dari tempat jauh. Tidak harus juga keluarga. Para tetangga juga tamu.
Ketika Putri memasuki kelas satu SMP, ada kejadian aneh yang tidak terlupakan hingga kini. Kala itu aku, ibu dan Putri di kebun.
“Mas Juno, kupu-kupunya banyak sekali.”
Aku sungguh penasaran. Sudah berapa kali Putri melihat kupu-kupu, tapi aku tidak melihatnya.
“Ibu, apakah melihat kupu-kupu?”
“Iyaa, banyak sekali. Terima kasih Juno, engkau telah memberikan makanan, tempat berteduh, tempat bermain kepada kupu-kupu. Mereka berterbangan kesana-kemari. Berpindah dari satu bunga ke bunga lainnya.” Ibu tersenyum. Terlihat deretan gigi putinya yang sudah tidak utuh lagi. Ibu berjalan dari satu bunga ke bunga lainnya.
Putri melihat kupu-kupu, demikian pula ibu. Apa yang salah mataku? Aku betul-betul tidak melihatnya. Apakah aku gila? Rasanya tidak. Aku baik baik saja.
“Mas Juno, ada kakek di sudut kebun. Kakek tersebut selalu lihat ibu.”
Kembali, aku hampiri ibu, “Ibu, apakah melihat kakek di kebun?”
“Tidak, ibu tidak lihat siapa-siapa. Ibu hanya lihat kupu-kupu.”
Kali ini, mataku benar. Mata Putri tidak benar. Bisa jadi Putri terlalu sering berkhayal tentang kupu-kupu. Buku gambar yang aku belikan, isinya hanya gambar kupu-kupu saja. Berbagai kupu-kupu yang aku tidak tahu namanya. Kadang-kadang terselip gambar pangeran dan putri.
Hari itu, hari yang menggembirakan. Malahan, kegembiraan ibu berlebih. Malamnya, jantung ibu kambuh. Ketika kubawa ke rumah sakit, jiwanya tidak tertolong. Ibu meninggal dengan wajah tersenyum. Ayah telah menjemput ibu menuju ke tempat yang lebih baik, surga.
Esoknya, tamu demikian banyak. Selain kedua kakakku bersama anak-anaknya, paklik dan bulik, pakde dan bude, para tetangga dan juga para sahabatku, sesama driver ojek.
Apa yang dikatakan Putri bahwa kupu-kupu memberikan firasat akan kedatangan tamu ternyata benar. Kini, aku sendirian.
——————-
Kebun Raya Residence – Bogor , 11 Mei 2024
Jam 21.15
——————-