Wanita Tanpa Wajah
Wanita Tanpa Wajah

Wanita Tanpa Wajah

Mobil kuarahkan ke Glodok,  sesuai pesanan via  WA yang aku terima. Pasar Glodok merupakan pusat eletronik terbesar di Asia Tenggara. Sehingga dapat dimengerti mengapa orang membeli produk elektronik di sini. Banyak pilihan dan harganya juga relative murah. Mobil melaju bagai bekicot. Sangat lama sampai di depan pintu mall. Seorang wanita memakai cadar, kaca mata hitam, topi, syal leher serta face shield gelap berdiri menunggu.  Cadarnya kotak-kotak, hanya dua warna, hitam putih. Sepintas, mirip wanita pejuang Palestina. Perlindungan sempurna dari serangan Covid-19, “wanita tanpa wajah.” Disamping kakinya, terlihat cukup banyak-barang yang menyertainya. Bergegas barang-barang yang dibelinya aku masukkan dalam bagasi.

“Ke gedung perkantoran Kuningan,” perintahnya. Tegas bak militer.

Kembali dengan ketergesaan, aku bukakan pintu belakang mobil. Mobil pun aku arahkan ke Kuningan, sekitar setengah jam, mobil sudah sampai di perkantoran Kuningan.

“Juno, taruh barang-barangnya di dekat meja yaa….”

Dheg. Aku agak kaget. “Dari mana tahu namaku?”

“Jangan pikir macam-macam, nama Juno kan tertulis di belakang kursi sopir.”

Sepertinya, “wanita tanpa wajah” bisa menebak apa yang ada di otakku.

Sejak itu, “wanita tanpa wajah” selalu menggunakan jasaku. Bukan hanya  route Kuningan – Glodok atau sebaliknya, tetapi juga tempat lainnya. Padahal, pelayananku tidak istimewa, biasa-biasa saja. Pernah aku tanyakan sama office boy di kantornya.

“Ooh, itu kan Ibu Direktur.”

Aneh. Ibu direktur, tidak pakai mobil sendiri? Tapi, kenapa mesti dipikirin? Bukankan  aku harus berterima kasih, dapat uang secara pasti? Pernah, aku mengantar ke rumahnya di Kelapa Gading. Biasa saja. Tidak menunjukkan rumah sebagai ibu direktur. Hanya ada Satpam yang menjaganya.

“Juno, ayo kita makan dulu.”

“Baik, Bu.”

“Kok panggilnya Bu siih, emangnya Aku sudah tua.”

“Jadi apa sebaiknya?”

“Yaa, terserah, asal jangan panggil Bu, rasanya kok sudah tua gitu.”

“Bagaimana kalau saya panggil Mbak?”

“Ya…., itu lebih baik.”

Sejak itu, aku selalu memanggil dengan sebutkan Mbak. Aku merasa bahwa “Wanita tanpa wajah” terlalu baik padaku. Kalau waktu makan selalu mengajakku makan bersama. Pernah, sekelabat aku lihat matanya ketika face shield gelap dan kacamata hitamnya di copot. Dheg. Jantungku berhenti sejenak. Matanya, sangat familiar. Siapa yaa?

“Juno, ayam gorengnya untuk makan malam.” Lain waktu. “Juno, ini baju untukmu.” 

Kucoba telusuri jejak digital yang masih menempel di otakku. Aku pernah dekat dengan tiga gadis ketika di SMA:  Putri, Dewi dan Puspa. Apakah “wanita tanpa wajah” itu salah satunya? Jika yaa, maka sejak awal, Puspa sudah tereliminasi, posturnya berbeda. Tinggal  Putri atau Dewi. Postur tubuhnya hampir sama dengannya. 

—————

Pikiranku menerawang semasa sekolah di SMA Cepiring, kota kecamatan yang sedikit ramai karena adanya Pabrik Gula Cepiring.

“Mau kenalan? Nyanyi dulu yaa?” kata senior kelas dua.

Putri pun menyanyi dengan suara  lumayan merdu. Aku mendengarkan dari sebelahnya. Sekali-kali kulihat kakak kelas memploco Putri. “Mau kenalan? bilang dulu, Aku cinta Kakak,” katanya.

Putri diam saja. Kakak kelas aku pelototin. Rupanya takut, pergi meninggalkannya. Di kotaku, aku dikenal jago karate dan berantem.

“Juno, nanti malam kita belajar bersama, yaa….”

Yaa, belajar bersamanya sejak kelas tiga SMP. Kala hatiku mulai  ser, ser, seran dan jantungku dheg dheg dhegan, aku sampaikan perasannku. “Putri, tanganku akan selalu memegang  tangan kecilmu, siapa pun tidak boleh melepaskannya.”

Kegiatan ko-kurikuler terutama wayang wong, paling menyenangkan. Berdua rajin berlatih, aku memerankan Arjuno dan Putri memerankan Sumbodro. Untuk lebih menjiwai wayang wong, kami ikut latihan di Sanggar Tarian Tradisonal.

“Juno, kenapa yaa, banyak kakak kelas ngajak kenalan sama Putri. Mereka ngajak nonton film, tapi Putri nggak mau. Putri maunya nonton film sama Juno.”

Pertanyaan Putri baru terjawab ketika aku kelas dua. Setiap tahun ajaran baru selalu diadakan sayembara memperebutkan gadis kelas satu. Para pejantaanya, kelas dua dan kelas tiga. Gadis yang diperebutkannya, wajahnya mirip Widyawati. Gadis itu namanya Dewi. Pemenangnya,  mereka yang bisa mengajaknya nonton film.

“Ayoo, Juno ikuti sayembaranya, masa kalah sama pejantan lainnya,” kata hati kiriku.

“Bagaimana dengan Putri?”

“Putri? tidak usah khawatir, banyak pejantan lain yang akan mendekatinya.”

Pada sayembara itu, akulah pemenangnya. Bisa ngajak Dewi nonton film. Dewi menjadi milikku. Putri aku campakkan. Ego kejantananku mengalahkan kebersamaan  yang telah terpupuk selama dua tahun. Aku berlaku kejam ketika Putri minta belas kasihan kepadaku.

“Juno, apa salahku?” matanya lembab, habis menangis.

“Engkau tidak salah Putri. Aku hanya  ingin membuktikan bahwa aku penjantan unggul. Ma’afkanku.”

Ketika kelas tiga, kembali ikut sayembara. Memperebutkan Puspa.  Lagi-lagi aku  jadi pemenangnya. Dewi nasibnya sama seperti Putri. Aku menggandeng tangan Puspa.  Begitu bangganya sebagai pejantan nomor satu. “Seeng ada lawaan,” kata orang Ambon.

SMA pun berlalu. Masing-masing mencari jalan kehidupan sendiri-sendiri. Jejak-jejak kejantananku semakin lama semakin kabur. Memasuki perguruan tinggi kejantannku tinggal cerita tanpa makna. Banyak pejantan lain yang lebih unggul. Apalagi, setelah lulus. Kejantananku terkubur. Ijazah sarjana yang aku peroleh dengan susah payah tidak bisa membeli secangkir kopi dan sebatang rokok. Malahan, SIM yang aku peroleh dengan cara menembak, memberikan sedikit nafas kehidupan.

—————

Tiga bulan lebih sedikit aku menjadi “sopir pribadi” nya. Pendapatanku lumayan besar. Berani berkhayal  untuk berumah tangga  dengan Desy, sales promotion girl perusahaan rokok. Sudah enam bulan aku bergandengan tangan dengannya. Membelikan baju di Pasar Tanah Abang, nonton film, makan di Warteg dan rekreasi di tempat-tempat yang murah meriah.

“Juno, putar lagu yang ada di flash disk.” Perintahnya.

Sepanjang jalan Kuningan-Glodok, lagu-lagu Chriye diperdengarkan : “Kisah Kasih di Sekolah,” “Kisah Cintaku,”  “Kala Cinta Menggoda,” “Damai Bersamamu,” Sepanjang Jalan Kenangan,” “Setangkai Anggrek Bulan.”  Lagu-lagu tersebut sangat familiar bagiku.  Sepertinya, “Wanita tanpa wajah” ingin menegaskan siapa dirinya.

“Juno sudah keluarga?”

“Belum Mbak, mungkin tiga bulan lagi.”

Suara itu begitu dekat, menempel di telingaku. Sudah ada tiga  clue : mata, suara serta lagu-lagu. Yakin 99%,  “wanita tanpa wajah” itu, Putri. Tapi mengapa mesti sembunyi? Permainan apa yang sedang dilakukan?

“Apakah Mbak pernah sekolah di SMA Cepiring?”

“Cepiring? Cepiring itu dimana yaa?”

Jawaban yang tidak kuharapkan. Suatu permainan sedang dinikmatinya. Aku bagai  bidak dalam gemgamannya, tidak berdaya.

————–

Hari dan tanggal yang tidak kuharapkan datang yang mengubah hidupku tanpa tanya. Hisapan rokok dan sruputan ngopi di warung kaki lima, belum selesai. Lima orang  berbadan kekar dengan rambut gondrong menangkapku. Satu diantaranya menunjukkan kartu identitasnya. Polisi.  Belum hilang rasa kaget, kedua tanganku langsung diborgol. Dari dalam Glodok, muncul Boss Glodok, orang yang selalu memberi perintah kemana bubuk putih harus kukirim, juga di borgol. “Wanita tanpa wajah” tidak kelihatan. Muncul polisi wanita,  wajahnya tertutup masker dan memakai  kacamata hitam.

“Geledah mobilnya!” perintahnya.

Polisi menemukan bubuk putih yang aku sembunyikan di dalam mobil.

Di kantor polisi, “wanita tanpa wajah”, masuk ke ruang interogasi. Satu persatu penutup wajahnya di lepas : topi,  face shield,  syal leher, kacamata hitam dan yang terakhir cadar.

“Putri…?!” seperti dugaanku.

Putri hanya sebentar di ruangan kemudian keluar lagi. Sepertinya, Putri menyakinkan kepadaku bahwa “wanita tanpa wajah” adalah dirinya. Tidak berapa lama masuk polisi wanita yang jadi komandan di Glodok. Dibukanya masker dan kacamata hitamnya.

“Putri?!” aku betul-betul syok. Tidak terpikirkan sama sekali.

“Yaa, Putri. Kaget!?” kartu identitasnya ditunjukkannya. Reserse Polisi.

Aku tidak berani menatap wajahnya. Pandangan matanya baru pertama kali kulihat..  Putri yang dulu selalu minta perlindunganku, kini berbalik 180 derajat.

“Juno,  engkau memang pernah menggandeng tanganku. Tapi, cintaku pada negeri ini, melebihi segalanya. Aku tidak ingin anak remaja dicekoki barang haram. Ketika aku diperintahkan untuk menangkapmu,  Aku terima dengan senang hati.”

“Juno, aku tidak akan  memeriksamu, takut ada conflik of interest. Nanti kolegaku akan memeriksa. Hanya ada dua  pilihan : ’Balikpapan’ atau Nusa Kambangan.”

—————

PoV.

Di aula markas besar polisi, ada upacara sederhana, pemberian kenaikan pangkat bagi anggota polisi yang dianggap telah berjasa bagi negara.

“Selamat untuk Putri Winarti, atas keberhasilan membongkar sindikat narkotika jaringan besar. Kepada  yang bersangkutan diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi dari Ajun Komisaris Besar Polisi menjadi Komisaris Besar.”

“Terima kasih Juno, karenamu, aku naik pangkat istimewa. Kenangan masa lalu sudah kubuang di Samudra Hindia dan wajahmu sudah terhapus dari memoriku. Juno, ma’afkanku.” Putri menghapus air mata yang sempat mengalir di pipinya.

Sementara, di  Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya,  Juno sedang  belajar hidup di ruang sempit dibalik jeruji. Mimpi menempuh hidup bersama Desy musnah.

“Juno, ma’afkan Desy. Hubungan kita tidak bisa dilanjutkan.”

—————

PoV

Kebrutalan para napi di Nusa Kambangan terbayang. Sangat menakutkan. Ditanganya tergemgam racun tikus.

Di keheningan malam, dari dinding sel, Juno mendengar suara tokek yang cukup nyaring.

“Tookek! – Nusa Kambangan!

“Tookek! – Balikpapan!

“Tookek! – Nusa Kambangan!…,

Juno menyerahkan palu hakim kepada tokek yang sedang bernyanyi. Apakah di akhir nyayiannya akan jatuh di  Nusa Kambangan atau “Balikpapan.”

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI