MALAM YANG TIDAK DIHARAPKAN

MALAM YANG TIDAK DIHARAPKAN

Dengan berbekal keyakinan, didukung ilmu yang aku peroleh selama pendidikan Diploma Agribisnis, aku memberanikan diri membuka Kafe Kopi dan Singkong di Simpang Lima Semarang. Kafe ini terinspirasi bisnis yang dilakukan Mas Kaesang Pangarep, anaknya Pak Jokowi. Kaesang dengan pisangnya telah mengubah pisang dari biasa-biasa saja menjadi pisang yang luar biasa luar biasa. Kalau pisang bisa, mestinya singkong juga bisa. Bukankah masih banyak masyarakat yang menyukai singkong? Apalagi dari singkong dapat diolah menjadi aneka     makanan: singkong rebus, singkong goreng, singkong bakar, keripik singkong, getuk, tape, tape goreng, tiwul dan masih banyak lagi makanan singkong-singkong lainnya.

Sejak tahun ketiga Mawar dan Agus membantuku. Mawar lulusan SMK Tata Boga dan Agus lulusan SMK bidang Informasi dan Teknologi. Mungkin cari kerjaan di instansi pemerintah sulit, formasi yang disediakan terlalu  sedikit dan saingannya sangat banyak. Keduanya masih relatif muda, kira-kira lima tahun dibawah usiaku. Atas saran mereka berdua kafe harus dikelola mengikuti konsep swalayan jaman now.  Puluhan stoples yang berisi bubuk kopi dari berbagai daerah berbaris rapi di meja, di bagian  ujung meja disediakan dua tempat pemanas air elektrik. Pada meja sebelah disediakan tumpukan gelas dan piring sekali pakai dan deretan kudapan singkong.

Setiap akhir bulan, bertiga selalu melakukan evaluasi dengan melihat grafik pengujung setiap harinya. Hal yang menggembirakan grafik pengunjung selalu naik, hanya pada hari-hari hujan, grafik agak landai. Suatu hal sangat wajar, orang malas keluar rumah. Ide-ide baru harus selalu dikembangkan. Saat kuliah, aku selalu ingat topik persaingan usaha dalam mata kuliah ekonomi. Menurut Philip Kotler, embahnya ekonomi dalam berbagai buku eknomi yang dikarangnya selalu ditekankan bahwa tanpa ada pengembangan produk (baca : kafe), maka kafe tersebut akan mengalami kematian, kalah sama pesaingnya.

“ Mas Juno, sebaiknya kafenya dua shift, shift pagi, dari jam 06.00 sampai 13.30 dan shift malam 18.30 sampai jam 22.00. Pagi saya yang bertanggung jawab dan malam Agus yang mengelolanya.”

 “Ide yang bagus Mawar.”

“Mas Juno, perlu ada door price setiap malamnya. Nanti diundi untuk 10 pemenang. Hadiahnya cukup sederhana, pulsa seharga Rp. 100. ribu. Dijamin setiap malam terutama menjelang pengundian, pengunjungnya akan semakin bertambah.”

“Ide keren Gus.”

“Mawar dan Agus, bagaimana kalau ada organ tunggal pada malam hari. Nanti aku atau Agus  yang memainkannya, bernyanyi atau mengiringi pengunjung yang bersedia nyanyi. Atau lebih bagus lagi kalau warga setempat ada yang bisa main organ dan nyanyi, nanti kita beri uang ala kadarnya. Sedangkan untuk siang hari cukup lagu-lagu ndangdut atau lagu populer yang diperdengarkan.”

“Bagus Mas.” Jawab Mawar dan Agus secara serentak.

Cukup banyak ide dari Agus, namun ide yang spektakuler, melayani pembeli secara online dengan gratis  ongkos kirimnya. Dengan keahliannya dalam bidang IT., Agus mengembangkan aplikasi Jualan Singkong. Ada tiga paket yang ditawarkan :  paket 1, Rp 25.000,- berisi singkong goreng dan singkong rebus saja, paket 2, Rp. 50.000,- berisi singkong goreng, singkong rebus, tape dan tape goreng dan paket 3 Rp. 100,000,-. Berisi singkong goreng, singkong rebus, tape, tape goreng, tiwul dan keripik singkong.

Ide yang tidak kalah cemerlang disampaikan oleh Mawar.

“Mas Juno, sebaiknya kegiatan masak singkong di sini sekedarnya saja. Mas Juno  tinggal kerja sama dengan warga desa setempat, mereka diminta untuk merebus atau menggoreng singkong. Kita siapkan minyak gorengnya saja. Penggorengannya menggunakan kayu bakar. Saya jamin rasanya pasti mak nyuuus.”

Akhirnya, setelah lima tahun jungkir balik, kini uang datang sendiri. Penggemar kopi dan singkong di Semarang ternyata bukan cukup banyak, tetapi sangat banyak. Penjualan secara online di luar dugaan, sangat menggembirakan, hasilnya  relatif sama dengan penjualan  offline. Pagi sampai siang hari, pengunjung didominasi tukang becak, tukang ojeg, sopir truk,  pegawai yang belum sempat sarapan, sementara pada malam hari pengunjungnya didominasi muda-mudi dan tukang ojek. Murah, meriah dan enak plus suasana kafe yang nyaman merupakan daya tariknya.

 Pada saat kafe tutup sudah langsung diketahui berapa penghasilannya pada hari itu, sebesar 2 ½ % disisihkan untuk warga sekitarnya yang tidak mampu, tukang ojeg yang mangkal di kafeku, satpam atau sumbangan ke masjid. Sementara singkong yang masih ada dibagikan kepada tukang ojeg dan satpam.

Dari kuliner kopi dan singkong, kehidupanku menjadi  mapan. Rumah di perumahan elite, mobil Mitsubishi Xpander selalu menemani kemana pun aku pergi. Namun, untuk berkeluarga, aku masih belum berminat. Ingin menikmati masa lajang, masa kebebasan dengan uang yang berkecukupan. Lagi pula memang belum ketemu gadis yang wajahnya mirip Dewi.

Ya…. Dewi, cinta pertamaku selalu terbayang diingatanku. Padahal, dia telah berselingkuh dengan laki-laki lain. Tentu lelaki  itu lebih gagah dimatanya, atau lebih tebal dompetnya atau mahasiswa dari universitas terbesar di Semarang, atau yang lainnya, aku tidak tahu. Kata orang, cinta pertama itu sulit dilupakan dan itu memang benar. Aku merasakan sendiri. Di memoriku masih tertempel demikian jelas jejak digital kala memadu kasih.  Jalan berdua sepanjang rel kereta menuju bioskop Sasana Budaya atau mbakso bareng di Suryani apalagi ciuman pertama di bawah pohon mangga di samping rumahnya. Kalau ingat itu, aku tersenyum sendiri. Dengan ketergesaan ditopang kaki yang gemetaran, gigiku bertemu dengan giginya. He…., he…., he…. Beberapa foto kenangan bersamanya masih aku simpan, foto berdua kala berjalan diatas rel kereta selalu ada di dompetku.

—————

Seperti biasa, malam Minggu setelah selesai undian dan pembagian pulsa bagi pemenang, aku dan Agus ngobrol berdua.

“Mas Juno, Agus tiga bulan lagi akan nikah.”

“Selamat ya…, gadis mana yang beruntung.”

“Gadis Kendal, Mas. Mas Juno masih senang sendirian?”

“Sampai sekarang aku belum berminat mencari gadis untuk teman dekat.”

“Mas Juno, kalau hanya ingin cari wajah yang mirip gadis yang diinginkan gampang sekali. Apakah yang seperti  mantan atau yang seperti penyanyi atau bintang iklan, timggal pilih. Mas Juno beli HP satu lagi yang kapasitasnya cukup besar, khusus untuk melihat gadis-gadis cantik. Gadis yang membuat status di instagram dipastikan sangat terbuka untuk kenalan, atau malahan untuk diajak nikah. Nanti saya akan unduh foto-fotonya berikut alamat dan nomor HP nya. Satu minggu kemudian, Agus menyerahkan kembali HP yang aku berikan. Sebagai orang IT sepertinya sangat gampang bagi Agus.

“Mas Juno, saya terangkan sedikit ya…., di HP ini, ada foto 201 gadis yang berasal dari Semarang, Kendal, Demak, Kudus dan Salatiga, berikut nomor HP dan alamatnya. Untuk mencarinya, bisa sesuai abjad, bisa juga per daerah, misal Mas Juno kepengin lihat gadis Kendal tinggal ketik Kendal, nanti akan muncul foto-fotonya.  Mas Juno tinggal pilih, kalau cocok tinggal kenalan, bisa di kafe ini atau tempat lainnya.“

Sejak saat itu, kala di kafe, kerjaku hanya melihat gadis-gadis cantik di HP. Sungguh sangat menyenangkan, gadis-gadis cantik yang nilainya 80 ke atas, aku beri tanda untuk aku ajak kenalan. Ada Susi, Endang, Ayu, Ratih, Retno, Ida dan masih banyak lagi.

 “Susi, datang yaaa, ke  “Kafe Kopi Singkong di Simpang Lima,” jam 19.00. Aku pakai baju kotak-kotak dengan topi Pak Tino.”

“Oke, aku pakai celana jean dan baju hijau.”

Benar, gadis celana jean dan baju hijau, datang dan duduk seperti apa yang aku tulis di WA. Dari tempat dudukku, dengan jelas terlihat gadis tersebut tidak secantik fotonya. Segera, melalui WA aku kirim pesan.

“Susi, silahkan dinikmati kopi dan singkongnya. Maaf, saya tidak jadi ke kafe singkong, ada keperluan mendadak. Kopi dan singkongnya, nanti saya yang membereskan.”

Lain hari.

“Desy, kita kopi darat yuuk di Kafe Kopi dan Singkong Simpang Lima. Aku pakai celana jean, kaos warna merah maron, pakai topi Pak Tino. Kita jumpa jam 19.30, setuju?”

“Oke Mas Juno, sampai ketemu nanti. Oh…ya…., aku pakai celana warna hitam, kaos warna biru laut dibalut dengan jaket warna coklat.”

Wajah Desy sama seperti yang ada di fotonya. Paling tidak Desy jujur soal wajah atau Desy sangat yakin akan kecantikannya. Aku dan Desy ngobrol apa saja tanpa arah sambil ngopi dan makan singkong. Asyik juga ngobrol dengannya. Tentu saja Desy tidak tahu bahwa aku pemilik kafenya.

“Desy, apa yang menarik dari kafe ini?”

“Bagus Mas, suasananya, bisa ngobrol santai, dapat mendengar lagu yang kita pesan. Penyanyinya pun suaranya lumayan.  Juga aku lihat harganya relatif murah.”

“Desy mau nyanyi?”

“Untuk sementara, Desy pengin dengerin dulu. Nanti kalau ke sini lagi, Desy akan siapkan beberapa lagu, tapi Mas Juno yang main organnya kan..?”

Cukup banyak  gadis cantik yang datang ke kafeku atas undanganku.  Dengan cara sederhana, aku bisa mengetahui tingkat kepuasan para pelanggan.

—————

Malam Minggu itu, aku kaget kedatangan teman yang tidak terduga, Wawan, teman yang cukup akrab kala menempuh pendidikan diploma. Orangnya gagah, play boy kampus. Kalau kuliah pakai sepeda motor moge, maklum ortu nya kaya, anak tunggal lagi. Info yang aku peroleh Wawan sudah nikah dengan Wiwid, ratu kecantikan kampus dan sudah punya dua anak. Kami bukan hanya salaman, tapi juga berpelukan.

“Juno…, hebat kamu, nggak nyangka. Kafenya laris manis. Sudah keluarga belum?”

“Masih cari.”

“Gimana carinya, tiap hari hanya nongkrong di kafe.”

“Aku lagi seneng lihat gadis cantik di HP, mau lihat?”

Wawan melihatnya  dengan penuh antusias, sangat penasaran, maklum mantan play boy.

“Juno, bisa nggak di copikan ke HP ku?”

“Ya…, bisa saja. Nanti biar Agus yang akan mengkopikan.”

“Juno, Minggu depan aku ke sini lagi sambil nggandeng gadis instagram yang ada di HP mu. Tapi janji ya…, kita nggak saling kenal.”

Janji Wawan ditepati, dia datang bersama gadis baju coklat, entah dari mana dapatnya. Hebat benar Wawan.

Cling…, aku lihat layar HP, ternyata  dari Wawan.

“Juno, aku masih dengan gadis baju coklat, sekarang lagi santai di Wisma Blue Vally Bandungan. He…, he…, he… Juno sekali-kali ajak gadis yang ada di HP kamu, bawa ke Bandungan, nanti pasti mereka ketagihan.”

Aku lihat jam sudah menunjukkan 23.40. “Edan tenan Wawan, sudah punya istri cantik masih kepengin dengan gadis lain, ngajak-ngajak yang nggak bener lagi.”

Suatu malam, aku undang gadis yang bernama Wulan. Aku agak terkesima melihat pakaian yang dikenakan cukup berani, langsung menuju tempat duduk di pojok belakang.

“Hai Wulan.”

“Hai Mas Juno.”

Kami berkenalan dan seperti biasa ngobrol tanpa arah.

“Ayoo, Juno, kapan lagi, gadis secantik Wulan sudah  ada di depanmu,  engkau ajak kencan pasti mau,” hati kiriku mulai memprovokasi. Melihat pakaian dan make up nya,  memang benar, sepertinya memberikan sinyal sesuatu kepada lelaki.

“Juno, sekali saja seperti kata Wawan, uangmu lebih dari cukup kalau hanya untuk cinta kilat,” hati kiriku kembali membujuk.

“Juno, lihat wajahnya, dia mengharapkanmu. Mungkin dia perlu uang karena  ibunya sakit, atau anaknya sakit?” Bertubi-tubi  hati kiriku membujukku. Akhirnya, pertahananku runtuh.

“Wulan bagaimana kalau kita jalan-jalan ke luar.”

Wulan mengangguk.

Wulan, bagaimana kalau kita ke Bandungan?

Kembali Wulan mengangguk.

Terjadilah cinta kilat, mempertemukan dua raga tanpa jiwa. Pengalaman pertama, mendebarkan, sekaligus  menyenangkan.   Kenikmatan sesaat itu pun datang, berulang dan berulang. Paling tidak, dalam satu minggu, satu kali aku melakukan cinta kilat. Gadis dengan wajah melankolis, selalu jadi pilihanku, garang di tempat tidur.  Warna kulit selain hitam tidak jadi masalah, apakah  putih, sawo matang atau kuning langsat.  Lembaran uang merah yang aku tawarkan membuatnya mereka takluk. Namun, aku masih berbelas kasih kalau ada gadis yang  betul-betul gadis. Aku tidak tega melakukannya.

“Ida, jadi engkau rela memberikan kegadismu demi sebuah HP?”

Gadis yang mangaku bernama Ida mengangguk dengan wajah terduduk. Aku masih gagal paham, gadis secantik Ida rela  menjajakan tubuhnya demi sebuah HP.

“Ida, Mas Juno beri uang yang cukup untuk beli HP. Jangan sekali-kali menjajakan tubuhmu ya…”

Kalau aku rela membelikan HP baru bukan berarti aku sok moralis. Cinta kilat hanya aku lakukan dengan wanita yang memang menjajakan tubuhnya untuk mencari uang. Yaa.., ibarat dagang, ada penjual  ada pembeli. Sederhana bukan? Itulah pembenaran yang selalu aku pegang.

Hampir satu tahun aku terjebak dengan  cinta kilat. Padahal rasanya hanya gitu-gitu aja. Tapi entah mengapa aku selalu mengalami kesulitan untuk  menghindarinya. Berkali-kali aku mencobanya, berpuluh kali pula hati kiriku membujuk dan membujuknya dan aku selalu jadi pecundang.

 “Juno, kalau ingin selamat dunia dan akhirat, jangan sekali kali melakukan lima M,  mo limo :  maling, madat, madon, mabok, dan main. Itu, nasehat ibu, salah satunya, madon, sudah aku langgar.

—————

Sampai pada suatu ketika, aku lihat di istagram foto gadis mahasiswi. Wajahnya mirip Dewi. Putri, namanya. Jantungku berdebar. Padahal hanya lihat fotonya saja. Aku kontak yang bersangkutan via WA. Sekali tidak ada respon, dua kali tidak ada respon, setelah tiga kali, baru ada respon.

“Hallo, Putri, kita kopdar yuuk, ngobrol di “Kafe Kopi Singkong Simpang Lima.”

“Baik, Mas.”

“Aku pakai celana jean, kaos maron dan pakai topi Pak Tino, jam 19.00

yaa, jangan lupa.”

“Putri juga pakai celana jean hitam dengan baju warna hijau.”

Malam Minggu yang spesial itupun  datang. Jam 18.15 aku sudah sampai di kafe. Agus dan pelayan lain heran dengan kedatangaku, biasanya aku datang sekitar jam 19.30. Aku lihat secara teliti keadaan kafe. Aku ingin kafe dalam kondisi sempurna bukan hanya masalah minuman dan kudapan yang disajikan tetapi juga kebersihan, sound sistem, organ, jaringan internet dan yang lainnya.

Aku menunggu duduk di pojok kanan dekat jendela, tempat duduk spesial  untuk menerima gadis-gadis undanganku. Pengunjung mulai berdatangan maklum malam Minggu, tanggal muda ditambah  cuaca cerah. Para pegawai  melayani pengunjung dengan ramah. Sementara, mata elangku fokus pada kedatangan wanita dengan celana jean hitam dan baju warna hijau

Sekitar jam 19.00 lebih sedikit, gadis itupun datang. Dheg, jantungku berhenti sejenak. Wajah gadis itu memang  mirip  Dewi. Apakah Dewi? Jantungku masih sedikit berdebar.

“Hallo Putri.”

“Haiii Mas Juno.”

Ternyata bukan Dewi. Dewi punya tembong kecil di pipinya, sementara Putri  tidak ada. Kami berdua ngobrol sambil menikmati kopi dan aneka singkong. Aku senang dengan kopi pahit tanpa gula, sementara Putri pilih capucino.

“Putri, dulu sewaktu aku sekolah di SMA Kendal punya teman namanya Dewi. Wajahnya kok bisa mirip Putri yaa, apakah ada hubungan keluarga?”

“Iyaa, benar Mas. Dewi itu kakakku, beda emat tahun. Sejak kecil aku ikut kakek di Semarang. Mbak Dewi sudah berkeluarga, nikah sama Mas Edy. Sekarang anaknya sudah dua, tinggal di Jakarta.”

—————

Sejak ketemu Putri, ajakan hati kiriku sudah tidak terdengar lagi. Sungguh, hari-hari  menjadi lebih menyenangkan. Apalagi hari Sabtu, hari yang selalu aku nantikan. Ketemu Dewi dalam bentuk lain, Putri, adiknya.

“Selamat Mas Juno, akhirnya bisa juga ketemu dengan gadis idamannya, wajahnya mirip Roosa, pelantun lagu “Ayat Ayat Cinta”.”

“Terima kasih Gus, ini berkat bantuanmu dengan mengunduh foto-foto gadis instagram.”

“Mas Juno, Mawar ngiri sama Putri, sebenarnya Mawar berharap Mas Juno menggandeng Mawar.”

“Terima kasih Mawar, sebentar lagi pasti ada pemuda gagah yang akan menggandeng Mawar. Sudah pasang status belum?”

Pertemuanku dengan Putri tidak hanya malam Minggu saja, tetapi juga hari-hari lainnya, hari-hari dimana Putri tidak kuliah dan tidak mempunyai kegiatan.

“Putri , kita jalan-jalan yuuk, ke Bandungan.”

“Tapi, Putri  sering muntah, tidak kuat hawa dingin dan  juga bau bensin.”

Bergandengan tangan, berkejaran, main petak umpet layaknya anak SMA berpacaran. Tapi yaa, tidak apa apa. Bukankah lebih baik terlambat dari pada tidak? Memang aku berencana pacarannya tidak terlalu lama. Aku dan Putri  bukan lagi anak-anak, sudah matang fisik dan jiwanya. Apalagi finansialku jauh lebih dari cukup. Masih ditambah permintaan ibu . “Juno, kapan kamu nikah? Ibu sudah kepengin ngendong cucu darimu.”

Benar, ketika sedang duduk berdua  menikmati indahnya Gunung Ungaran, tiba-tiba. “Houeeek, houeeek, houeeek.”

Hawa dingin pegunungan rupanya tidak cocok untuk Putri. Cepat-cepat aku ambil minyak kayu putih, aku gosokkan  dibadannya, aku selimutkan jacketku. Sejenak, Putri  tiduran di pangkuanku. Aku pandang wajahnya, aku cium rambutnya, aku cium keningnya, tidak lebih. Aku  tidak mempunyai keberanian  memperlakukannya seperti halnya  yang sering aku lakukan terhadap gadis-gadis yang ada di HP ku.

“Putri , bagaimana kalau dua bulan lagi kita menikah.”

Putri  mengangguk, senyum tipis ditebarkan, memandangku dengan mata setengah terpejam, tangannya memelukku dengan erat.

—————

Satu bulan sebelum acara pernikahan, aku telah pesan kamar VVIP  di salah satu hotel bintang lima, hotel terbaik di Semarang.  Kepada manajer hotel aku minta kamar di tata dengan nuasa melati, ruang kamar beraroma melati, taburan bunga melati di tempat tidur dan juga kamar mandi. Bahkan untuk malam pertama  aku juga telah pesan spray putih dan kotak khusus untuk menyimpan lukisan abstrak yang akan terjadi pada malam pertama.

Akhirnya, hari yang selalu aku nantikan datang juga, hari pernikahan. Pernikahanku dengan Putri  dilakukan sangat sederhana. Hanya di diliput keluarga kedua belah pihak dan teman-teman dekatku : Wawan, Agus, Mawar dan pegawai di kafeku. Bagiku, itu lebih dari cukup. Gadis idamanku telah aku peroleh.

Dewi malam menyambut dengan suka cita. Bulan purnama, memancarkan cahayanya dengan sempurna. Bintang-bintang sembunyi, mengalah memberikan kesempatan  keindahan sinar rembulan. Binatang malam bernyanyi dengan riangnya, sepertinya mereka tahu ada  dua insan yang akan memadu kasih.

Putri  dengan baju tidur pengantin transparan yang aku pesan secara khusus, bak bidadari turun dari langit menghampiriku.  Kedua mataku tidak berkedip memandang lekuk tubuhnya. Begitu sempurnanya. Debaran jantungku semakin kencang. Sebelum hati dan jiwa ragaku bertemu dengan jiwa dan raganya, tiba-tiba Putri  berlari ke kamar mandi.  “Houeeek, houeeek, houeeek.”

Aku sangat terkejut, sesuatu yang sangat tidak aku harapkan. Aku ambilkan minuman hangat. Aku peluk dengan kasih. Bayangan muntah saat  berpacaran di Bandungan kembali berputar.

“Putri, apakah engkau sakit?”

Putri hanya diam saja, air mata mengalir, kepalanya menunduk ke bawah.

“Putri, maukah engkau jujur?”

Putri  menangis tanpa suara, sambil menutupi wajahnya.

“Putri, maukah engkau jujur?” Pertanyaan itu aku ulangi lagi dengan suara yang jauh lebih keras. Kedua bahu Putri aku cengkeram. Kemarahanku sudah memuncak.

“Iyaa, Mas. Putri  hamil.” Suara itu bagai halilintar disiang hari. Untuk beberapa saat aku tidak dapat bernafas. Begitu marahnya.

“Janin siapa yang ada di perutmu.”

“Tidak tahu Mas.”

Tulang-tulangku copot. Lemas. Putri  yang aku kira bidadari ternyata sama saja dengan gadis-gadis istagram yang pernah aku kencani. Suatu tak terkira pedihnya, sembilu menyayat hatiku yang paling dalam.

“Haa…, haa…, haa…,  Juno, apa Putri  mau engkau ceraikan? Bisa jadi Putri  hanya memadu kasih dengan satu orang saja,  pacarnya, terus ditinggal pergi. Lihat dirimu, berapa banyak wanita  yang telah engkau taburi benihmu. Coba  jawab dengan jujur Juno…, jangan sekali-kali bicara kesucian!“ Yaa…., itu suara hatiku. Aku dekap Putri  tanpa jiwa, mata kosongku menatap dinding.

—————

Di dinding, terlihat sepasang cicak berkejaran, cicak yang besar menangkap cicak yang kecil, menggigitnya, ditindihnya cicak yang kecil dengan cukup lama sambil matanya melotot melihat sepasang manusia. Mereka sepertinya ingin memamerkan bagaimana memadu kasih.

Awan hitam dengan ketergesaan berlari menutupi penghuni langit. Malam berubah menjadi gelap, sesekali kilat memberi seberkas cahaya disusul dengan gelegar halilintar yang memekakkan telinga sekaligus menakutkan. Hujan pun turun demikian deras. Binatang malam  seketika berhenti bernyanyi, bersembunyi di balik rerimbunan pohon. Senandung kesedihan alam menghampiri, menutupi aib dua insan yang akan memadu kasih di malam pertama.

—————

Kebun Raya Residence BOGOR 15 Juli 2021

Ditulis oleh:

Alumni 1973

BAMBANG WINARTO dilahirkan di Magelang pada tanggal 15 Juni 1954. Selesai mengikuti Pendidikan di SMA N Kendal 1973, ia melanjutka di Fahutan di IPB (1978). Karir di pemerintahan mulai berkembang setelah memperoleh gelar Magister Manjemen (MM). Karier tertinggi sebagai ASN sebagai Kepala Kanwil Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara (2000). Pernah sebagai penulis non fiksi tentang kehutanan. KAMUS KEHUTANAN merupakan karya fenomenalnya yang menjadi pegangan para rimbawan. Saat ini menekuni penulisan cerita pendek (cerpen) dan puisi. Cerpen – cerpen yang ditulisnya di unggah pada web CERPENMU dan selalu menjadi nominasi cerpen terbaik setiap bulannya.

Tinggalkan Komentar

LANGGANAN

BULETIN KAMI