
CINTA YANG TIDAK PERNAH PADAM
Baru saja aku keluar dari pintu maal, terlihat sebuah dompet tergeletak di tepi jalan. Secara naluri aku mengambilnya, bukan untuk dimiliki tetapi aku ingin mengembalikan kepada pemiliknya. Aku tidak ingin memberikan ke polisi atau security mall, khawatir tidak disampaikan kepada pemiliknya. Dompetnya sudah tua, beberapa bagian kulitnya sudah mengelupas. Aku kembali ke mall, mencari tempat duduk yang relatif sepi. Dompet aku buka untuk mengetahui siapa gerangan pemiliknya. Sayangnya, identitas pemilik seperti KTP, SIM atau lainnya tidak diketemukan. Aku agak bingung juga kemana harus mengembalikannya. Di dalamnya hanya terdapat beberapa lembar uang warna merah, biru, hijau dan coklat masing masing satu lembar serta beberapa lembar uang ribuan. Selain itu, terdapat foto hitam putih seorang gadis dan satu lembar kertas yang dilipat menjadi bagian 4 bagian. Gadis tersebut aku taksir usianya sekitar 17 tahun. Wajahnya mengingatanku akan bintang film WIDYAWATI kala remaja, bintang film favoritetku. Aku buka lipatan kertas yang warnanya putih kecoklatan, yang menunjukkan bahwa kertas tersebut sudah cukup lama berada di dompet. Aku perhatikan sejenak, tulisannya rapi dan bagus serta masih sangat jelas untuk dibaca. Perlahan aku baca.
“Sayang…, surat ini merupakan surat terakhir dariku. Malam Minggu kemarin merupakan malam terindah dalam hidupku. Kita nonton film “Cintaku di Kampus Biru. Di dalam gedung itu kamu menciumku. Badanku gemetar bagai kena strum 5 watt. Itu merupakan ciuman pertama dan sekaligus ciuman terakhir. Aku tidak akan pernah melupakannya. Seandainya ciuman itu bisa terulang….”
“Sayang…, aku tidak pernah mengerti ketika keluargaku tidak merestui hubungan kita hanya karena engkau keturunan orang Jawa, sementara aku keturunan Sunda.”
“Sayang…, maafkan aku. Juga maafkan keluargaku. Ternyata aku tidak mempunyai keberanian melawan restu dari kedua orangtuaku.”
“Sayang …, carilah gadis lain yang mencintaimu, lupakan diriku. Aku akan mencoba melupakanmu, meski aku tidak yakin untuk itu. “
Cococnut Garden – Bogor, 15 Juni 1976
Love you
Euis Yuliyati.
Air mataku menggenang membacanya. Euis sangat mencintai lelaki yang dipanggil “sayang”. Aku yakin pula kalau lelaki yang dipanggil “sayang” itu pun sangat mencintai Euis. Buktinya, surat dan foto Euis selalu menyertainya kemana ia pergi. Aku membayangkan, betapa bingung dan sedihnya lelaki tersebut ketika mengetahui dompetnya hilang. Foto Euis dan selembar surat tersebut tentu sangat berharga sekali baginya.
Aku coba telusuri alamat Euis. Ada dua kata kunci dalam surat tersebut. Pertama, Euis pernah tinggal di Coconut Garden – Bogor dan kedua, surat tertanggal 15 Juni 1976. Peristiwa yang sudh cukup lama. Tidak terlalu sulit mencari Coconut Garden, tapi dari mana harus memulainya, Peristiwa itu terjadi sudah lebih dari 47 tahun. Jadi Euis sekarang berusia dikisaran 68 tahun. Jujur, aku agak pesemis. Apakah ada warga Cococnut Garden yang masih mengenalinya? Warga Coconut Garden tentu sudah berubah. Namun aku sudah berjanji untuk mencarinya. Tanpa mengenal lelah aku tanya warga daerah tersebut terutama warga lansia. Akhirnya alamat tersebut dapat aku temukan. Rumahnya sudah cukup tua, yang tinggal keluarga muda, mungkin anaknya atau malahan orang lain yang membeli rumah tersebut.
“Mas, kenalkan saya Wawan, saya sedang mencari informasi Ibu Euis Yuliyati. Saya mendengar bahwa Ibu Euis Yuliyati dulu pernah tinggal di rumah ini.”
“Waduh…, mohon ma’af, saya tidak mengenalnya. Apalagi itu terjadi 47 tahun yang lalu. Saya sendiri belum lahir. Mungkin Bapak sebelah lebih mengenalnya.”
Beralih ke tetangganya yang usianya sudah lanjut.
“Apakah Bapak mengenal keluarga Euis Yuliyati disini sekitar tahun 1970 an.”
“Mohon maaf saya tidak mengenalnya.”
Beberapa kali aku bertanya kepada orang lansia, sampai pada akhirnya ada satu warga yang memberikan informasi cukup menggembirakan.
“Ibu, saya Wawan, saya sedang mencari Ibu Euis Yuliyati, informasi sementara yang saya peroleh beliau tinggal di Coconut Garden, apakah Ibu mengenalnya?”
“Euis Yuliyati? Rasanya nama itu sangat familiar.”
Ibu itu tersebut mencoba mengingat – ingatnya.
“Ya…., ya…., saya mengenalnya. Malahan dulu Euis itu teman satu SMA di Bogor, meski beda jurusan. Ia mengambil jurusan IPA sementara saya mengambil jurusan Sosial.”
“Ya…., saat SMA, Euis cukup dekat dengan salah satu mahasiswa dari IPB. Mahasiswa tersebut memberikan bimbingan belajar kepada siswa SMA Bogor dan Euis salah satu bimbingannya. Setelah lulus SMA, Euis melanjutkan ke IPB. Hubungan keduanya berlanjut saat mahasiswa. Setelah itu saya kurang tahu perkembangannya. Hanya dengar – dengar hubungan dengan pacarnya tidak disetujui orangtuanya.” Kata ibu itu menambahkan.
“Jadi sekarang keberdaan Ibu Euis dimana?”
“Mohon ma’af, saya tidak tahu secara pasti. Namun di Cibubur, ada suatu panti jompo. Mudah-mudahan Ibu Euis berada di sana.”
“Baik Ibu, terima kasih banyak informasinya.”
Informasi yang aku peroleh semakin jelas. Esok harinya, aku langsung meluncur ke panti jompo di Cibubur. Bentuknya tidak seperti panti jompo pada umumnya, lebih menyerupai rumah susun. Terdapat 2 blok yang bentuk bangunannya sama persis. Ketika memasuki rumah susun blok A , terlihat beberapa lansia : ada yang membaca koran, ada yang menyiram tanaman, ada yang sedang berjalan-jalan, dan kegiatan lainnya.
Aku menghampiri resepsionis.
“Mbak, saya Wawan. Saya sedang mencari ibu yang bernama Euis Yuliyati. Menurut informasi yang saya terima beliau tinggal di panti jompo sini. Tapi kalau melihat sepintas sepertinya disini bukan panti jompo tetapi rumah susun.”
“Ya…., betul disini memang rumah jompo, hanya konsepnya berbeda. Disini ada 2 blok, blok A khusus wanita dan blok B khusus laki-laki. Masing-masing blok terdiri dari 3 lantai dan masing – masing lantai terdapat 100 kamar. Penghuni di rusun memiliki kamar sendiri, satu kamar satu orang. Setiap 3 orang dilayani satu perawat. Penghuni bebas melakukan aktivitas sehari-hari, namun hari – hari tertentu dilakukan acara secara bersama, seperti olahraga, bercerita dan sebagainya.Harapannya, penghuni merasa bukan tinggal di panti jompo.”
“Begini Mbak, saya menemukan dompet yang tidak diketahui siapa pemiliknya, hanya ada sepotong surat, penulisnya Ibu Euis Yuliyati. Barangkali Ibu Euis tinggal disini.”
“Baik Mas, tunggu sebentar ya….”
Resepsionis itu menggunakan komputer yang berada di depannya dan dalam hitungan detik, nama Euis Yuliyati sudah diketemukan.
“ Mas Wawan, betul Ibu Euis Yuliyati berada di rumah susun sini, beliau berada di kamar 205, lantai 2.”
Resepsionis itu memanggil Satpam.
“Pak Satpam, tolong Pak Wawan diantar ke Ibu Euis Yuliyati, kamar 205, lantai 2.”
“Siap Bu.”
Aku mengikuti Pak Satpam menuju kamar 205 lantai 2. Pak Satpam mengetuk kamarnya, dari kamarnya keluar wanita lansia. Aku perhatikan sepintas Ibu Euis, kesehatannya masih prima, rambutnya sebagian berwarna putih, namun sisa – sisa kecantikannya masih terlihat.
“Ibu Euis, Bapak Wawan ingin bertemu dengan Ibu.” Kata Satpam.
“Oh…, Mas Wawan, mari masuk.”
Kamar tamunya tidak seberapa luas, terlihat beberapa foto hitam putih. Foto Ibu Euis kala masih remaja dan juga foto bersama lelaki yang cukuh gagah, wajahnya mirip SOPHAN SOPIAN. Aku yakin lelaki tersebut yang dipanggil “sayang” di dalam sepotong surat itu.
“Ada apa Mas Wawan, sepertinya ada berita penting.”
“Ibu, saya menemukan sebuah dompet. Saya akan menyerahkan kepada pemiliknya, tetapi tidak tahu siapa pemiliknya. Namun ada sepotong surat di dalamnya yang ditulis oleh Ibu.”
Aku serahkan surat tersebut. Sejenak dilihatnya surat tersebut, dibukanya. Matanya menjadi merah dan tidak berapa lama keluar air matanya. Aku hanya diam, menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ibu Euis.
“Mas Wawan, benar itu tulisan saya. Dari sepotong surat tersebut, tersembunyi kisah yang panjang. Sebenarnya, kisah itu sudah saya pendam puluhan tahun, namun hari ini akan saya buka kembali.”
——————
PoV
“Cerita bermula, ketika aku kelas 3 SMA Bogor. Aku merasa kesulitan dalam pelajaran kimia, fisika dan matematika. Kebetulan ada bimbingan belajar dengan pembimbing tunggal, namanya ARJUNO, panggilannya Mas Juno, mahasiswa tingkat akhir IPB. Berkat bimbingannya, pelajaran kimia, fisika dan matematika yang tadinya terasa sukar menjadi mudah.”
“Mas Juno, orangnya gagah, wajahnya mirip SOPHAN SOPIAN, suaminya Widyawati. Dia tertarik kepadaku demikian pula aku tertarik kepadanya. Setelah beberapa bulan aku menjadi bimbingannya, Mas Juno berkunjung ke rumah. Orangtuaku menyambutnya dengan ramah. Tentu saja aku sangat gembira.”
“Oh…, ini Nak Juno ya…, terima kasih atas bimbingannya kepada Euis. Tahun depan Euis kepengin kuliah di IPB juga.”
“Ya…, itulah awal perkenalan Mas Juno dengan orangtuaku. Sepertinya, orangtuaku tidak melarang aku menjalin kasih dengan Mas Juno.”
Ibu Euis berhenti sejenak. Diambilnya gelas yang berisi air mineral, diminumnya satu teguk. Setelah menghela sejenak, Ibu Euis melanjutkan ceritanya.
“ Aku melanjutkan kuliah di IPB, seperti cita-cita sejak awal. Bahagia sekali rasanya, selalu bertemu dengan Mas Juno. Kalau aku mengalami kesulitan pelajaran dasar apakah kimia, fisika atau matematika, tinggal tanya kepada Mas Juno.”
“Euis, bagaiman kalau malam Minggu nanti kita nonton film “Cintaku di Kampus Biru.” Dari resensi yang aku baca, film tersebut dapat bintang 5, bintang filmnya, Roy Marten, Rae Sita dan Yati Octavia.” Kata Mas Juno.
“ Hatiku mekar. Itulah pertama kali Mas Juno mengajak nonton bioskop. Aku tidak sabar menunggu datangnya malam Minggu. Sejak sore aku sudah sibuk mencari pakaian apa yang cocok untuk dikenakan. Akhirnya aku putuskan untuk memakai celana jean, kaos warna putih motif bunga melati dibalut dengan jaket warna coklat muda, pakai topi baseball cap dan sepatu kets. Parfum aroma melati aku pilih, parfum kesukaanku dan juga disukai Mas Juno.”
“ Kala itu hujan rintik-rintik, kami bergandengan tangan menyusuri Jalan Pajajaran di bawah naungan pohon kenari. Sebuah bemo, menepi. Sepertinya sang sopir tahu kalau kami akan menuju gedung bioskop Sukasari, bioskop terbaik di kota Bogor.”
“Sukasari?” Tanya sopir bemo.
“Bang, saya charter ke bioskop Sukasari.” Kata Mas Juno.
“Duduk berdua, berhadapan, lututku beradu dengan lututnya, maklum tempat duduk bemo sempit. Mas Juno menggemgam kedua tanganku.”
“Iiih….., kenapa Mas Juno pandang wajah Euis terus.”
“ Euis, kamu cantik sekali, bagai bidadari tanpa sayap yang diturunkan Tuhan untukku. Ini kesempatan Mas Juno memandang Euis sepuasnya.” Katanya
Mas Juno menggandengku memasuki gedung bioskop yang suasananya gelap. Kursi penonton penuh, full fouse. Selama film berputar, Mas Juno memegang tanganku. Ketika ada adegan yang romantis, Mas Juno mencekeram tanganku dengan kuat, mencium keningku, mencium rambutku dan berakhir mencium bibirku. Ah…, badanku bergetar, sengatan setrum 5 watt itu mengalir ke seluruh tubuhku. Mataku terpejam, terbang tinggi ke angkasa.
Aku catat dalam buku harianku, 15 Juni 1974.
——————–
Hari yang tidak aku harapkan datang tanpa diundang.
“Euis…, Bapak dan Ibu bersama saudara-saudara sudah merundingkan hubunganmu dengan Mas Juno. Kesimpulannya jika hubungan itu tetap dilanjutkan, tidak akan langgeng. Mas Juno orang Jawa dan Euis orang Sunda. Tidak baik bagi Euis, tidak baik juga bagi Mas Juno. Leluhur kita melarang keluarga kita untuk nikah dengan orang Jawa. Ini sudah suratan takdir.”
Bunga-bunga cinta yang telah tumbuh dan bersemi di hati, rontok dalam sekejab. Aku bagai jatuh kedalam jurang tanpa dasar.
—————-
Dengan segenap keberanian, aku menulis secarik kertas.
“Mas Juno, kita jumpa di kafe Mahatani jam 13.10.”
Sekitar jam 13.15, kuliah baru selesai, bergegas aku keluar dari ruang kuliah dan langsung menuju ke kafe. Suasana kafe sepi, hanya aku dan Mas Juno.
“Euis mau minum apa?”
“Teh manis hangat saja Mas.”
“Untuk sejenak aku diam, tidak tahu apa yang harus aku sampaikan. Mataku agak sembab.”
“Mas Juno, hubungan kita sampai di sini saja.”
“Air mataku yang menggenang, akhirnya tumpah. Aku menangis tanpa suara, wajahku aku tutup dengan sapu tangan.”
“Maksud Euis, hubungan kita putus? Memangnya kenapa?”
“Kalau kita berlanjut ke jenjang perkawinan, tidak akan langgeng. Mas Juno orang Jawa dan saya orang Sunda.”
“Aku tidak paham. Tapi kenapa orangtuamu membiarkan kita menjalin kasih selama ini?”
“Ini…, sudah menjadi keputusan orangtuaku. Mumpung hubungan kita belum terlalu jauh.”
“Malamnya Mas Juno ke rumah minta penjelasan kepada orangtuaku.”
“Nak Juno, mohon ma’af hubungannya dengan Euis tidak bisa dilanjutkan. Leluhur kami sudah mengamanatkan tidak memperbolehkan keluarga kami nikah dengan orang Jawa. Perang Bubat masih membekas hingga kini, bagaimana Raja Majapahit dari Jawa membunuh seluruh Maharaja Linggabuana dari Sunda, beserta para pengawalnya. Dyah Pitaloka yang semestinya menjadi permaisuri Raja Majapahit bunuh diri. Nanti Nak Juno silahkan baca tentang Perang Bubat”
——————-
“Sejak hubunganku dengan Mas Juno putus, aku tidak ada minat menjalin kasih dengan lelaki lain. Perasaan hatiku sudah beku, hatiku hanya untuk Mas Juno. Beberapa kali orangtuaku menjodohkan dengan lelaki pilihannya, tetapi aku menolaknya.”
“Perkembangan Mas Juno tetap aku ikuti. Aku sangat prihatin mengetahui kelulusan Mas Juno tertunda. Padahal Mas Juno tinggal menyusun skripsi. Bahkan jika dalam satu tahun tidak dapat menyelesaikan skripsinya akan kena DO. Semua itu kesalahan keluargaku. Akhirnya Mas Juno lulus juga dan setelah itu aku tidak mengetahui keberadaannya.”
——————-
PoV
“Itulah sekelumit percintaan saya dengan Mas Juno. Saya selalu berdoa agar bisa dipertemukan dengannya meski hanya satu hari saja. Saya masih mau minta ma’af lagi.”
“Ibu Euis, cerita yang mengharukan.”
“Apakah Ibu Euis pernah mencari keberadaan Mas Juno?”
“Ya…, sudah melalui teman-temannya. Tetapi tidak ada yang mengetahuinya.”
“Ibu Euis, saya sangat gembira dapat menemukan Ibu. Saya juga berharap dapat menemukan Bapak Juno, semoga ada muzijat yang memberitahu keberadaannya.“
Aku meninggalkan Ibu Euis dengan berbagai perasaan, terharu, sedih, kasihan dan entah apa lagi. Mencari keberadaan Arjuno bagai mencari jarum di tumpukan jerami, tidak ada clue sama sekali. Turun ke lantai dasar menjumpai resepsionis lagi, untuk mengucapkan terima kasih dan iseng iseng aku akan menanyakan apakah ada penghuni yang bernama Arjuno di rusun sini.
“ Mbak, terima kasih. Tadi saya sudah berjumpa dengan Ibu Euis. Dompet dan surat saya perlihatkan. Beliau senang sekali, orang yang dicintanya bernama Arjuno masih hidup. Bahkan beliau bercerita masa lalunya, percintaan dengannya. Cerita yang sangat menyedihkan.”
“Tugas saya sekarang mencari Bapak Arjuno, coba Mbak lihat di komputer, siapa tahu yang bersangkutan berada dipanti sini.”
“Baik Mas.”
“Mas Wawan, Bapak Arjuno ya… Betul beliau ada disini, beliau tinggal di Rusun B, kamar 305, lantai 3.”
“Alhamdulillah…, saya kesana Mbak.”
Kembali aku diantar oleh Pak Satpam yang mengantarku ke Ibu Euis. Rusun B hanya berjarak sekitar 50 meter dari rusun A. Keduanya dipisahkan halaman dan taman. Ketika sampai kamar 305, beliau sedang duduk di teras membaca sebuah buku, mungkin novel.
“Bapak Arjuno?” Saya Wawan.
“Ya…, saya sendiri.”
“Saya baru saja dari Ibu Euis Yuliyati. Beliau cerita banyak tentang Bapak.”
“Apa? Euis Yuliyati? Apakah saya tidak salah dengar?”
“Bapak tidak salah mendengar. Senang rasanya bisa jumpa dengan Bapak. Tugas saya selesai. “
“Tugas apa Nak?”
“Pertama menemukan Ibu Euis Yuliyati dan yang kedua mengembalikan dompat Bapak yang saya ketemukan di depan mall.”
“Oh.., terima kasih banyak. Dompet ini sudah saya cari dimana-mana. Maklum sudah tua, sudah sering lupa. Bukan masalah dompetnya dan juga bukan masalah uangnya, tetapi di dalam dompet itu terdapat foto Euis, foto satu-satu yang saya miliki. Juga terdapat surat darinya.”
“Tadi Nak Wawan jumpa dengan Ibu Euis Yuliyati, dimana?”
“Ya …, di panti sini, hanya berbeda blok. Bapak di Blok B dan Ibu Euis di blok A.
Bapak Juno menerawang ke depan, matanya tertuju ke pepohonan yang rimbun di samping rusun.
“ Dik Wawan saya juga akan cerita sedikt tentang kisah saya ya…”
——————
PoV
Sejak pisah dengan Euis, beberapa bulan aku mengalami shock. Skripsi yang sedang aku susun terbengkelai. Nasehat ibuku ternyata benar. Sebelum berangkat ke Bogor, ibu sudah wanti-wanti.
“Ingat Juno, di Bogor kamu hanya belajar untuk menjadi insinyur pertanian. Jangan dulu pacaran. “
Nasehat itu aku langgar, dan aku harus menerima akibatnya.
“Juno, aku perhatikan selama beberapa bulan, kamu murung. Apa ada masalah?” Kata Agus ketika berada di ruang makan asrama. Dia sahabatku dari kota yang sama.
“Agus …, hubunganku dengan Eruis putus untuk suatu alasan yang tidak masuk akal. Orangtua Euis tidak menyetujui gara-gara aku orang Jawa dan Euis orang Sunda.”
“Juno, pernah dengar perang Bubat?”
Aku menggelengkan kepala. Memang dari dahulu, Aku tidak tertarik dengan pelajaran sejarah.
“Ini, cerita singkatnya. Bermula dari utusan Majapahit yang mengantarkan surat lamaran kepada Maharaja Linggabuana, Kerajaan Sunda, untuk menyunting putri mahkota Dyah Pitaloka. Lamaran diterima dengan suka cita. Majapahit adalah kerajaan besar, menguasasi hampir seluruh wilayah Nusantara kecuali daerah Pasundan. Maharaja Linggabuana dan rombongan membawa Dyah Pitaloka ke Majapahit. Rombongan tiba di Bubat, tidak jauh dari ibu kota Kerajaan Majapahit. Gajah Mada, patih Majapahit yang terikat dengan Sumpah Palapa meminta Maharaja Linggabuana takluk kepada Majapahit dan menyerahkan putrinya sebagai upeti, untuk dijadikan selir. Sementara Maharaja Linggabuana, hanya mau menyerahkan putrinya sebagai permaisuri. Maka, terjadilah pertempuran yang tidak seimbang. Maharaja Linggabuana, beserta para pengawalnya gugur. Dyah Pitaloka bunuh diri.”
“Prabu Niskalawastu Kencana, putra Maharaja Linggabuana menggantikan ayahnya sebagai raja. Dia memerintahkan rakyatnya untuk tidak menikah dengan orang Majapahit, orang Jawa. Inilah, larangan pernikahan antara orang Jawa dan Sunda yang masih berkembang hingga sekarang.“
Meski terlambat hampir satu tahun, aku dapat meraih gelar insinyur pertanian, aku peroleh juga. Bujukan ibu untuk menikahkanku dengan gadis pilihannya di desaku aku tolak. Hatiku sudah beku. Aku merantau ke luar Jawa, bekerja membantu pemerintah daerah mengembangkan pertanian di berbagi daerah.
——————-
PoV
“Ya…., itulah cerita tentang diri saya secara sepintas. Dik Wawan, saya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Euis.”
“Baik Pak, mari saya antar.”
Berjalan bersama menuju blok A, lantai 2 kamar 205. Aku ketok pintunya. Untuk sesaat keduanya saling bertatapan.
“Mas Juno?”
“Euis?”
Keduanya berteriak hampir bersamaan. Setelah itu Ibu Euis mendekap Pak Juno dengan erat. Dilepaskan sejenak, dipandangi wajahnya, seolah kurang yakin lelaki yang didekapnya adalah Mas Juno.
“Mas Juno? Apakah ini mimpi? Mas Juno doaku dikabulkan Allah Swt. Mas Juno dekap aku yang erat!” Jangan lepaskan!”
Kembali Pak Juno mendekap dengan erat Ibu Euis. Bahagia rasanya melihat mereka berpelukan, dapat mempertemukan sepasang kekasih yang puluhan tahun berpisah karena alasan Perang Bubat yang tidak diketahuinya.
——————-
Tiga bulan kemudian, aku menerima undangan pernikahan Ibu Euis dengan Bapak Juno bertempat di panti jompo Cibubur. Sepertinya hanya aku satu-satunya undangan yang paling muda, yang lainnya dari para penghuni panti jompo.
“Ibu Euis, Bapak Juno, selamat atas pernikahannya. Bahagia rasanya melihat Ibu dan Bapak bisa bersatu, menjadi suami istri.”
“Terima kasih Nak Juno. Berkat dompet yang hilang, kami dipertemukan oleh Nak Juno.”
Air mataku menggenang melihat mereka memakai pakaian pengantin. Bapak Juno dengan pakaian adat Jawa dan Ibu Euis dengan pakaian adat Sunda. Aku yakin bahwa larangan perkawinan antara Jawa dan Sunda hanya mitos saja.
Aku kagum kepada mereka berdua yang mampu memelihara cintanya, CINTA YANG TIDAK PERNAH PUDAR oleh waktu. Aku sendiri kurang yakin apakah cintaku kepada Dewi akan langgeng seperti hal cintanya mereka berdua.
——————-